Keturunan Rasulullah Muhammad SAW itu banyak dan tersebar di seluruh dunia, tetapi tidak menunjukkan jati dirinya, mungkin khawatir perilaku dan akhlaknya tidak sama dengan datuknya tersebut. Lain halnya dengan Habaib yang merasa paling berhak sebagai keturunan Rasulullah, bahkan menghujat orang yang menggugat nasabnya tersebut, dan menganggapnya sebagai iblis.
Sikap habaib belakangan ini ada yang marah-marah dengan narasi kecaman, ada yang bicara halu, ada pula sikap dan kata-katanya berlebihan, begitu juga membangga-banggakan para leluhurnya hingga tidak ada hamba Allah yang setara dengan leluhurnya (Ba’Alwi) itu, baik nasab maupun ilmunya.
Diperparah dengan pernyataan-pernyataan dari beberapa habaib yang membelokkan dan mengaburkan sejarah Indonesia, sejarah NU sejarah Jatman. Tetapi ketika mengungkit fatwa mufti Betawi Usman bin Yahya atas peristiwa sebelum dan sesudahnya Geger Cilegon 1888 M, buru-buru reaktif dan emosional, padahal fatwa itu efeknya melemahkan perjuangan ulama Banten dalam melawan penjajah kolonial Belanda. Orang Banten dalam hal ini tidak akan lupa.
Karena itu sikap arogan dan pernyataan-pernyataan halu, ngawur dari mereka habaib justru akan memperjelas eksistensi nasab palsunya tersebut. Sebab nalar yang waras akan selalu menganalisanya mana yang benar dan mana yang salah, seperti mana emas dan mana loyang.
Semakin bersikap ekslusif atas umat Islam pribumi, maka mereka habaib akan semakin ditinggalkan, dan semakin mereka tidak rasional maka bangsa Indonesia akan melupakannya, cepet atau lambat. Sekali lagi nasab tidak akan bisa menolong, kecuali ilmu dan akhlak.
Nasab tidak perlu dibanggakan tetapi menjaga kemuliaan nasab itu harus, karena kita hidup dari jalur para leluhur yang telah mewariskan kebaikan. Itu artinya nasab mulia tidak perlu pengakuan karena ia akan tetap mulia meski tidak diakui.
Hentikan laku ucap yang halu, khurafat dan mengada-ada tersebut, sebab Islam tidak ajarkan dogma, baik dalam hal teologi maupun di luar teologi, Islam agama yang rasional tetapi juga konsisten sebagai agama Wahyu. Kita belajar tarekat dan tasawuf bukan untuk menggiring Islam sebagai agama dogmatis, tetapi belajar dan menerapkan tasawuf untuk mengikat kencang syariat Islam di pemahaman, keyakinan dan pengamalannya. Tasawuf itulah sikap mujahadah menjaga kesempurnaan Islam sebagai agama samawi.
Serang 14 April 2024
Oleh: Hamdan Suhaemi