Alkisah, menurut legenda yang berkembang, dahulu kala, di suatu negeri yang tandus dan gersang, berlatar abad ke-7 Hijriah, hiduplah seorang wali bernama Faqih Muqoddam. Dalam legenda itu, dikisahkan bahwa ia dapat melakukan apa-apa yang tidak bisa dilakukan orang biasa. Legenda itu ditulis pertama kali di abad ke-9 H. oleh Ali al-Sakran, seorang penulis yang mengaku keturunan tokoh legenda tersebut.
Dalam legenda tersebut dikisahkan, Faqih Muqoddam telah mencapai derajat kewalian yang mengalahkan seluruh para wali di dunia, ia hanya bisa dikalahkan oleh para sahabat Nabi saja atau oleh orang yang disebutkan oleh Nabi Muhammad SAW akan keunggulannya seperti Uwes Al-Qarni (h.102). dikisahkan pula bahwa Faqih Muqaddam berkata “Bandinganku dengan kalian sama seperti bandingan Nabi Muhmamad SAW dengan kaumnya” (h. 102).
Dalam legenda yang berkembang itu, dikisahkan pula bahwa Faqih Muqoddam setelah wafatnya selalu datang menshalati jenazah orang yang meninggal (h.104). Dikisahkan pula, ketika gurunya yang bernama Bamarwan meninggal dunia, Faqih Muqoddam sedang berada di luar kota, ketika ia datang gurunya telah dikubur, lalu ia bersemedi dan berjanji tidak akan berhenti dari semedinya kecuali gurunya telah datang kepadanya. Lalu gurunya datang dan mereka berdua berdialog. Dalam dialog itu Faqih Muqoddam bertanya kepada gurunya “Bagaimana kedudukanku menurut kalian para ahli barzakh?”, lalu gurunya menjawab “Mereka ahli barzakh merindukanmu seperti orang-orang merindukan musim gugur” (h.104).
Dikisahkan pula dalam legenda itu, ada seorang teman Faqih Muqoddam bernama Abu Khuraishah hilang di perjalanan, lalu datang seseorang mengatakan bahwa ia telah mati. Kemudian Faqih Muqoddam menundukan kepalanya lalu setelah beberapa saat kemudian ia berkata “Ia belum mati”, orang itu bertanya “Bagaimana engkau tahu bahwa ia belum mati?”, kemudian Faqih Muqoddam berkata “Aku telah mencarinya ke surga lalu aku tidak melihatnya, tidak mungkin ia akan masuk neraka” (h.104).
Dalam legenda itu disebutkan pula, bahwa kuburan Faqih Muqoddam adalah kuburan keramat. Orang yang ingin berziarah di pemakaman desa itu tidak boleh menziarahi orang lain sebelum kuburan Faqih Muqoddam, walaupun itu makam ibunya sendiri (h. 109). Dikisahkan pula ada seseorang yang ingin menziarahi kakeknya lalu datanglah dari angkasa dua orang lalu berkata “Jika engkau ingin berziarah kepada kakekmu atau yang lainnya maka mulailah dengan kuburan Faqih Muqoddam baru engkau menziarahi orang yang engkau mau. Jika engkau terburu-buru maka ucapkanlah salam kepada Faqih Muqoddam.” Lalu orang itu bertanya “Kalian berdua siapa?” lalu kedua orang itu menjawab “Kami adalah Abubakar dan Umar bin Khattab”, lalu kedua orang itu terbang seperti dua burung elang ke tengah angkasa (h.109).
Kisah-kisah legenda semacam itu, bagi sebagian orang disebut keramat. Padahal keramat sangat jauh berbeda dengan legenda atau khurafat. Keramat adalah kisah asli yang keluar dari seorang wali yang dapat disaksikan oleh manusia di masa ia hidup. Jika keramat keluar dari orang masa lalu, maka kisah keramat itu harus diceritakan dalam tulisan-tulisan orang yang hidup di masa lalu itu. Jika ada kisah-kisah keramat orang masa lalu, seperti Faqih Muqoddam, namun dikisahkan baru 332 tahun setelah wafatnya tanpa ada referensi dari sumber-sumber masa lalu, maka itu bukan keramat tetapi khurafat. Ia hanya legenda yang dikisahkan lalu dianggap sebagai benar-benar pernah terjadi.
Keramat para wali itu ada. penulis-pun beberapa kali melihat dan merasakan karomah para kiai. Suatu saat penulis mendatangi guru penulis, K.H. Mufti Asnawi, Banten, seorang kiai yang menulis kitab “Amtsilatul I’rab”, bermaksud memohon ijin dan memberitahu bahwa penulis telah didaftarkan oleh sebuah partai politik sebagai calon legislative, sebelum penulis mengutarakan maksud penulis, ketika baru saja duduk, guru penulis berkata “Kamu jangan ikut-ikutan nyalon-nyalon dewan ya !”, atau dengan susunan kalimat yang mendekati kalimat tersebut.
Gusdur radiyallahu ‘anhu adalah seorang wali yang keramatnya Syuhrah wa al-Istifadlah. Banyak orang yang bersaksi tentang keramat Gusdur yang dapat mengetahui suatu takdir di masa depan. Tidak tanggung-tanggung, keramatnya itu diceritakan oleh tokoh-tokoh penting Negara Indonesia seperti Mahfudz MD, Luhut Binsar Panjaitan, keduanya menceritakan Gusdur mengatakan dirinya akan menjadi presiden jauh sebelum ia menjadi presiden.
Keramat itu ada dan dapat disaksikan oleh orang yang semasanya lalu diceritakan dan ditulis. Sekali lagi penulis katakan, jika kisah keramat itu baru diceritakan 332 tahun setelah wafatnya, seperti kisah keramat Faqih Muqoddam, di mana keramat-keramatnya tidak pernah disaksikan oleh orang pada masanya, yaitu tahun 653 H. tetapi baru ditulis setelah 332 tahun oleh orang yang mengaku keturunannya, yaitu Ali al-Sakran pada tahun 895 H., maka yang demikian itu bukan keramat tetapi legenda atau khurafat.
Selain legenda-legenda Faqih Muqoddam dalam kitab Al-Burqat, legenda-legenda lain darinya juga ditulis dalam kitab Al-Jauhar al-Syafaf. Dalam kitab itu disebutkan bahwa Faqih Muqoddam melakukan surat-menyurat dengan Syekh Sa’ad al-Dzifari, dalam suratnya itu, Faqih Muqoddam mengaku telah melakukan Mi’raj ke Sidrat al-Muntaha sebanyak 70 kali (h.79).
Selain kisah legenda tentang Mi’raj itu tidak terkonfirmasi sumber perimer dan sumber sekunder eksternal, legenda itu dihukumi kafir oleh para ulama Islam. Orang yang mengaku melakukan Mi’raj menurut Qadli Iyadl dalam kitab Al-Syifa, termasuk dalam kategori kafir. Qadli Iyadl berkata:
وَكَذَلِك مَن ادّعى مِنْهُم أنَّه يوحى إليْه وإن لَم يدَّع النُّبُوَّة أَو أنَّه يَصْعَد إِلَى السَّمَاء وَيَدْخُل الْجنة وَيَأْكُل من ثِمَارِهَا وَيُعَانِق الْحور العين فهؤلاء كُلُّهُم كُفَّار مُكَذّبُون للنبي صَلَّى اللَّه عَلَيْه وَسَلَّم
“Begitu pula orang yang mengaku bahwa ia diberi wahyu, walau ia tidak mengaku menjadi Nabi, atau ia naik ke langit (Mi’raj) dan masuk ke dalam surga dan memakan buah-buahnya dan memeluk bidadari maka mereka itu semuanya adalah orang-orang kafir “ (Qadli ‘Iyadl, Al-Syifa bi Ta’rif al-Huquq al-Musthofa, Al-Maktabah al-Syamilah, Juz 2 h. 282).
Di tempat lain dalam kitabnya tersebut, Qadli Iyadl mengatakan:
فَذَلِك كُلُّه كُفْر بإجْماع الْمُسْلِمِين كَقَوْل الإلهيين مِن الْفَلاسِفَة والمُنَجّمِين وَالطّبَائِعِيّين وَكَذَلِك مَن ادّعى مُجَالسَة اللَّه وَالْعُرُوج اليه و مُكَالَمَتَه أَو حُلُوله فِي أَحَد الأشْخَاص…
“Maka semuanya termasuk kafir dengan Ijma’ kaum muslimin: seperti juga ucapan ahli telogi dari para filosof dan kaum Munajjimin dan kaum Thaba’iyyin. Begitu pula (kafir) orang yang mengaku duduk bersama Allah, Mi’raj kepadanya, berbicara dengannya, atau Hulul-nya Allah (masuk) kepada seseorang…” (Qadli ‘Iyadl, Al-Syifa bi Ta’rif al-Huquq al-Musthofa, Al-Maktabah al-Syamilah, Juz 2 h. 283).
Sangat jelas dari redaksi kitab Al-Syifa tersebut, bahwa legenda adanya pengakuan Faqih Muqaddam bahwa ia telah ber-Mi’raj termasuk ke dalam kategori kafir menurut ulama.
Para pembela Ba’alwi membuat apologi aneh bahwa yang termasuk kafir itu jika melakukan semuanya yaitu: Mujalasah (duduk bersama Allah), Mi’raj dan Mukalamah (berbicara dengan Allah), kalau melakukan salah satunya saja maka tidak kafir, karena kalimat kitab Al-Syifa itu menggunakan Huruf Athaf wawu, kata mereka.
وَكَذَلِك مَن ادّعى مُجَالسَة اللَّه وَالْعُرُوج اليه و مُكَالَمَتَه
Para pembela nasab Ba’alwi itu tidak memahami istilah Ilmu Nahwu tentang “Mutlaqul jam’I wa ittifaqul fi’li” (huruf wau yang berfaidah kemutlakan bersama dan samanya pekerjaan). Artinya huruf wawu itu bermakna menyatukan dua komponen kalimat yang memiliki satu kesamaan tetapi ia tidak mesti bersamaan dilakukan. Contoh ayat Alqur’an:
وَلَقَدْ أَرْسَلْنا نُوْحاً وإبْراهِيْمَ
“Dan sungguh Kami telah mengutus Nuh dan Ibrahim”
Dalam ayat Al-Qur’an itu tidak berarti Nabi Nuh dan Nabi Ibrahim diutus bersama-sama dalam satu waktu. Mereka di utus berlainan waktu, bahkan jaraknya ribuan tahun. Nama Nuh dan Ibrahim di satukan dengan huruf athaf wawu karena ada “Ittifaqul fi’li” (persamaan pekerjaan yaitu diutus).
Jadi, kalimat dalam kitab Al-Syifa itu bermakna, jika seseorang telah mengaku melakukan salah satu dari tiga itu (duduk bersama Allah, Mi’raj kepad-Nya, dan berbicara dengan-Nya) maka ia telah kafir.
Ada juga pembela Ba’alwi yang mengatakan bahwa yang kafir itu adalah jika mengaku Mi’raj ke langit, sedangkan Faqih Muqoddam itu mengakunya Mi’raj ke Sidratul Muntaha, jadi ia tidak kafir. Kalimat ini juga menunjukan ia tidak faham ilmu agama. Karena dalam hadits-hadits sahih dikatakan bahwa Sidratul Muntaha itu berada di langit yang ke-enam. Jadi baik mengaku Mi’raj ke Sidratul Muntaha atau mengaku Mi’raj ke langit keduanya sama saja kafir. Karena mengaku naik ke Sidratul Muntaha itu ya sama saja mengaku naik ke langit. Silahkan fahami hadits dari Imam Muslim di bawah ini:
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ؛ قَالَ: لَمَّا أُسْرِيَ بِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ انْتُهِيَ بِهِ إِلَى سِدْرَةِ الْمُنْتَهَى. وَهِيَ فِي السَّمَاءِ السَّادِسَةِ.
“Diriwayatkan dari Abdillah ia berkata: ketika Rasulullah diperjalankan maka ia sampai ke Sidratul Muntaha, dan Sidratul Muntaha itu ada di langit yang keenam” (Sahih Muslim, Al-Maktabah al-Syamilah, Juz 1 H. 157).
Ada juga pembela Ba’alwi yang mengatakan: mengaku Mi’raj ke langit itu kafir menurut kitab Al-Syifa karena berarti menganggap Allah ada di arah atau tempat yaitu langit, sedangkan Allah itu suci dari jihhat (arah) dan mahal (tempat). Penulis menjawab: kitab Al-Syifa tidak sedang membicarakan tentang apakah Allah itu mempunyai jihhat atau mahal, tetapi ia sedang membicarakan tentang siapa orang yang mengaku Mi’raj seperti Nabi maka ia kufur, dan Faqih Muqoddam mengatakannya, maka ia kafir. Simpel.
Ibarat dalam kitab Al-Syifa itu dikutip pula oleh K.H. Hasyim Asy’ari dalam kitabnya Risalah Ahlisunnah Waljamaah. Penulis dalam ceramah pernah mengatakan “Bahkan kata Hadratusyaikh Hasyim Asy’ari:
من ادعى انه عرج الى السماء كفر
Siapa orang yang mengaku bahwa dirinya Mi’raj ke langit kufur”.
Kata pembela Ba’alwi, penulis telah berdusta karena kalimat seperti itu tidak ada dalam kitab Risalah Ahlisunnah Waljamaah. Penulis tersenyum ketika melihat betapa gigihnya para pembela Ba’alwi membela tokoh legenda Faqih Muqoddam agar tidak dihukumi kafir, walau dengan fallacy (penyesatan) kepada para netizen. Apakah itu sengaja, atau memang karena keterbatasan ilmu. Jika mereka mengerti bahwa metode para ahli hadits dalam meriwayatkan hadits ada dua macam maka mereka tidak akan mengatakan penulis berdusta.
Para ahli hadits meriwayatkan hadits Nabi itu ada dua metode: pertama “Riwayat bil Lafdzi” (Lafadznya persis sama) yang kedua “Riwayat bil makna” (Lafadznya berbeda tetapi maknanya sama). Jika hadits Nabi saja dibolehkan diriwayatkan dengan maknanya, apalagi ucapan para ulama seperti Hadratusyaikh Hasyim Asy’ari. Coba pembaca perhatikan dalam kitab Hadratusyaikh itu, apakah makna narasi penulis bahwa orang yang mengaku Mi’raj itu kafir ada dalam kitab beliau atau tidak, tentu ada, walaupun lafadzya tidak persis sama, karena penulis sedang meriwayatkanya dengan metode para ahli hadits yang disebut “Riwayat bil makna” (Lafadznya berbeda tetapi maksudnya sama).
Ada lagi para pembela Ba’alwi yang mengatakan: penulis berdusta ketika mengatakan bahwa Hadratusyaikh mengatakan dalam kitab Risalah Ahlusunnah Waljamaah bahwa orang yang mengaku Mi’raj itu kafir, karena ucapan yang ada dalam kitab Hadratusyaikh itu bukan ucapannya tetapi ucapan Qadli Iyadl dalam kitab Al-Syifa, Hadratusyaikh hanya mengutip saja.
Penulis menjawab: penulis mengatakan yang demikian itu, agar para pendengar mudah mencari kalimat itu, bahwa narasi semacam itu ada dalam kitab Hadratusyaikh Hasyim Asy’ari. Dan Hadratusyaikh tidak membantahnya, artinya Hadratusyaikh setuju dengan narasi itu bahwa orang yang mengaku Mi’raj ke langit adalah kafir.
Kaidah yang sangat terkenal mengatakan:
من نقل كلام غيره ثم سكت عليه فقد ارتضاه
“Barangsiapa yang mengutip ucapan orang lain lalu ia diam (tidak menyatakan tidak setuju), itu menunjukan ia setuju dengan ucapan itu”.
Walau bagi para ulama Faqih Muqoddam kafir karena pengakuan Mi’raj-nya, bagi penulis Faqih Muqoddam tidak kafir. Kenapa? karena memang pengakuan Mi’raj itu tidak pernah ada; surat menyurat antara Faqih Muqoddam dengan Syekh Sa’ad itu juga tidak pernah terjadi. Legenda surat menyurat itu diciptakan pada abad sembilan dalam kitab Al-Burqat oleh Ali al-Sakran dengan sederhana. Ia mengaku kisah itu ada dalam sebuah kitab karya Batohan murid Syekh Sa’ad yang bernama kitab Tuhfatul Murid. Benarkah kitab itu pernah ada? tidak ada.
Salih al-Hamid Ba’alwi (w.1386 H.) enampuluh tahun lalu mengaku pernah melihat manuskrip kitab itu (lihat Tarikh Hadrmaut juz II h. 824). Menurut DR. Muhammad Yaslam Abd al-Nur, Salih al-Hamid mengaku pernah melihatnya di Perpustakaan Husen bin Abdurrahman Bin Sahl, kemudian di bawa ke Perpustakaan Al-Ahqaf Tarim, katanya ditulis tahun 978 H. oleh Umar bin Ibrahim Al-Hubani. Benarkah berita itu? DR. Muhamad Yaslam mengatakan, sekarang kitab itu sudah hilang (lihat Footnote Tarikh wa al-Muarrikhun al-Hadlarimah h.50).
Aneh, semua manuskrip eksternal yang sezaman yang diklaim katanya menyebut keluarga Ba’alwi setelah dikutip kemudian dinyatakan hilang. Bagi seorang peneliti ini adalah suatu pola yang mencurigakan. Dan bagi penulis, kitab itu kemungkinan besar, jika pun pernah ada, tidak pernah menyebut Faqih Muqaddam, itulah alasan kenapa manuskrip kitab itu harus “dilenyapkan”.
Penulis Imaduddin Utsman Al-Bantani