Oleh: Kyai Hamdan Suhaemi
Kesedihan dan derita kita adalah ujian, bukan berasal dari kebencian Tuhan pada makhluknya. Memahami musibah dan wabah adalah sikap tadabbur atas prilaku kita selama ini. Virus Corona adalah secuil ujian bagi manusia, meski kehadirannya menjadi repot seisi dunia. Seolah dunia dikepung oleh virus, dan ternyata makhluk tidak terlihat itu sisi lain dari rahasia Tuhan. Kini pun belum mampu diungkap apa sebenarnya Covid-19 tersebut. Tapi yang nyata virus itu tengah mengancam nyawa banyak orang dan itu ada.
Berbagai kalangan masyarakat, lintas agama dan lintas suku punya ikhtiar untuk terbebas dari wabah pandemi ini, tidak terkecuali pemerintah. Selama hampir satu tahun lebih ini wabah menghantam negeri kita, memenjarakan langkah hidup dan kreatifitas kita sebagai makhluk sosial. Bahkan yang menyakitkan untuk menghadap Tuhan saja di tempat-tempat ibadah justeru harus terhenti dan terkunci hanya karena ingin mencegah bahaya lebih luas. Mengingat mencegah lebih baik dari mengobati.
Pendidikan sebagai yang pokok dalam membangun sumber daya manusia, terseok-seok dalam pelaksanaan KBM, bimbingan dan pengawasan atas peserta didik. Anak-anak kita lebih rajin lihat game di Hp dari pada perintah dari gurunya mengerjakan PR atau tugas sekolah. Satu fenomena ketergantungan atas Hp tidak terelakkan. Kegelisahan ini lalu memperkeruh tenangnya batin, hingga kontrol batin terjungkal akibat fenomena era 4.0 ini yang tengah melabrak paralelitas kehidupan umat manusia yaitu hidup dan harapan.
Pelaksanaan ibadah, menjadi sorotan tajam, seolah bahwa masjid dan tempat ibadah lainnya ditutup adalah bentuk kemunafikan dan ketakutan, sementara mencegah adalah sisi lain dari menyelamatkan kehidupan manusia.
Ekonomi dan dinamisasinya, satu pokok menjadi pondasi keutuhan suatu negeri. Secara politik memang bukan mengabaikan, tapi fokus kita adalah kemanusiaan. Menyambung hidup tentu dengan keniscayaan, itu adalah sikap tanggung jawab atas tanggung jawab.
Fenomena di atas, tentu menarik langkah kongkrit kita untuk menyikapinya dengan benar, ikhtiar pencegahan harus massif di lakukan oleh semua pihak.
Deskripsi kematian orang adalah cucuran air mata, pilu dan samsara kita. Betapa pun mereka adalah bukan siapa-siapa kita, tapi mereka adalah manusia yang punya hak untuk dimuliakan. Berharap besar untuk dido’akan agar tenang di sisi Tuhannya.
Kita yang mewarisi perjuangan ulama, kini hadir melakukan ikhtiar dengan mengadakan istigosah untuk negeri, berharap membuka pintu langit dan mengetuknya agar Gusti Allah berkenan mengangkat wabah ini. Kita yakin hanya kuasa Tuhan lah apapun itu pasti diperuntukan demi kebaikan umat manusia. Lebih-lebih jika diantara hambanya adalah para kekasihnya, para hambanya yang soleh.
Ayat-ayat suci Al-Qur’an kita bacakan, istighfar dan tahlil kita ucapkan, membaca sholawat nariyah kita sanjungkan, dan air mata pun kita teteskan. Dengan khusyu’ dan takhollush hati, kita menyalakannya dengan khouf dan roja’ kepada Tuhan yang maha pengasih dan penyayang, agar bumi ini secepatnya dihilangkan dari wabah pandemi dan endemik virus Corona.
Menyalakan Hati dengan do’a, ini bukti bahwa kita adalah hamba yang lemah. Semangat untuk hidup adalah api yang terang. Kematian bukan yang kita takuti, tapi kehidupan yang tidak memiliki tujuan. Sungguh tujuan hidup itu adalah menyembah Allah SWT dengan segala totalitas kepasrahannya. Darinya, dengannya, dan kepadanya.
Maka, nyalakan api kehidupan ini dengan cinta dan doa.
Ciujung, 12-7-21
Wakil Ketua PW GP Ansor Banten
Ketua PW Rijalul Ansor Banten