“Anda tidak dapat memiliki kapitalisme tanpa rasisme !” – Malcolm X
KAPITALISASI AGAMA
Kapitalisasi agama merupakan praktik yang mengarah pada komersialisasi nilai-nilai keagamaan untuk keuntungan materi. Agama dijadikan KOMODITAS. Dan hal tersebut tidak akan bisa berjalan tanpa doktrin spiritual, dan dikhawatirkan muaranya berujung pada perbudakan spiritual. Sementara itu, perbudakan spiritual merujuk pada pengekangan atau penyalahgunaan agama untuk mengontrol atau memanipulasi individu secara spiritual. Keduanya, baik KAPITALISASI AGAMA dan PERBUDAKAN SPIRITUAL, merupakan fenomena yang menimbulkan bahaya serius terhadap masyarakat.
Fenomena terkini, segala hal yang terkait dengan agama semakin laris manis di pasar. Pakaian, kitab suci, musik, ritual, ziarah, dan lain-lain menjadi komoditas yang menarik. Konon, omzet yang didapatkan dari komoditas agama mencapai triliunan. Contohnya, haji dan umrah saja setiap tahunnya bisa mencapai Rp.30 triliun. Belum lagi penjualan buku-buku, hijab, tasbih, dan lain-lain, yang angkanya sangat fantastis. Pada akhirnya Agama yang membawa nilai-nilai suci sangat rentan dibelokkan. Dimana sebagai komoditas telah menjadi identitas yang bisa dikonversi sebagai instrumen untuk mendulang dukungan POLITIK. (https://mediaindonesia.com/kolom-pakar/97202/menakar-bahaya-kapitalisasi-agama)
KOMODITAS AGAMA BA’ALWI
Apalagi akhir-akhir ini sangat memprihatinkan. Dimana mayoritas oknum Klan Ba’alawi Indonesia yang mengaku sebagai keturunan dari Nabi Muhammad SAW telah terindikasi kuat melakukan perbuatan tersebut. Dalam berbagai bentuknya bisa disebutkan contohnya sebagai berikut :
- Berjualan komoditas barang yang berkaitan dengan peribadatan seperti sarung, gamis, surban, tasbih, minyak wangi, sajadah, siwak, terompa, mukena dan songkok. Tentu saja sering dijual dengan harga berkali lipat dari pasaran, dengan dalih barokah membeli dari cucu Nabi.
- Komoditi untuk keperluan harian terkait kesehatan atau rutinitas lainnya. Seperti jamu, obat kuat lelaki, obat herbal, baju syar’i, dan lain sebagainya.
- Komoditas metafisik, semacam ajimat, rajah, rompi keselamatan, stiker tolak bala’, hingga kitab-kitab wirid. Semuanya diembel-embeli lebih mustajab karena dari cucu Nabi.
- Paket wisata religius, seperti Umroh dan Ziarah baik ke tanah suci atau ke makam-makam wali. Baik di dalam atau luar negeri. Modusnya sama, akan lebih afdhol dan maqbul karena bersama cucu Nabi.
- Komoditas acara keagamaan, seperti Majelis Ta’lim dan tentu saja sekarang yang sedang marak KONSER SHOLAWATAN.
- Tak kalah pula, modus menikahi gadis pribumi. Baik untuk pernikahan sembunyi-sembunyi (sirri) sesaat, atau mencari putri bangsawan, putri ulama besar atau putri hartawan. Yang ditawarkan juga tiada lain, keberuntungan bagi keluarga mempelai karena bakal punya anggota keluarga Cucu Nabi. Padahal sejatinya keturunan Yahudi Khazari.
- Yang terakhir tentu saja adalah KOMODITAS POLITIK. Dimana target akhir dari semua Kapitalisasi Agama adalah kekuasaan di suatu negeri. Karena dari situlah akan bisa menguasai seluruh infrastruktur, aparatur hingga sumber daya alam dari negeri tersebut.
Pendeknya, pabila Kaidah Fiqih menyebutkan : “Pabila tidak bisa diambil seluruhnya, maka jangan dibuang seluruhnya !”
Namun bagi Kaum Durjana dan Serakah diputarbalikkan : “Pabila bisa diambil seluruhnya, maka jangan diambil sebagian !”
IMPLIKASI DAN BAHAYA
Bahaya kapitalisasi agama sangat nyata dalam bentuk DISTORSI ajaran agama dan penyalahgunaan KEPERCAYAAN UMAT. Ketika agama dijadikan komoditas untuk dijual, risiko terjadinya pemaknaan yang dangkal atau bahkan penyalahgunaan demi keuntungan finansial menjadi lebih besar. Ini dapat merusak esensi dari ajaran agama tersebut dan menimbulkan kesan bahwa agama hanya menjadi alat untuk mencapai kepentingan dunia semata.
Pada akhirnya rentan terjadi koreksi besar-besaran pada agama. Sebagaimana yang terjadi di Eropa pasca Abad Pertengahan. Ketika di era abad kegelapan tersebut, dominasi Gereja sangat kuat mencengkeram. Relasi antara kaum Monarkhi yang mandul dan Agamawan yang korup, ditambah kaum Borjuase sebagai anteknya yang bersifat Vampir. Ketiganya berkolaborasi menghisap darah dan keringat umat dan rakyatnya. Koreksi tersebut bersifat Revolusioner dan penuh dendam. Kaum Monarkhinya sampai ada dipenggal di Guillotine. Sementara kaum Agamawan ditelanjangi dan agamanya pun dianggap candu yang menindas. Untuk kaum Borjuisnya menghadapi teror dan tantangan dari Revolusi Proletariat yang siap ‘menguburnya hidup-hidup’. (Digambarkan dengan satire pada Novel Notre-Dame de Paris karya Victor Hugo, https://g.co/kgs/8nXW7wW)
Agama yang luhur menjadi hancur, ajur-muwur, hancur lebur. Dan Nabinya yang suci menjadi sosok hina, dituduh sebagai sumber penderitaan dan penindasan. Sekali lagi semua berawal dari KAPITALISASI AGAMA.
Sementara itu, PERBUDAKAN SPIRITUAL mengancam kemerdekaan individu dalam mencari dan mempraktekkan keyakinan agamanya dengan bebas. Ketika agama digunakan sebagai alat untuk mengontrol pikiran dan tindakan seseorang, hal itu dapat menyebabkan penindasan, ketidakseimbangan kekuasaan, dan pelanggaran terhadap hak asasi manusia.
Perbudakan spiritual juga mengancam kesejahteraan mental dan emosional individu. Mereka yang terjebak dalam situasi semacam itu mungkin mengalami tekanan psikologis, kebingungan identitas, dan ketidakstabilan emosional karena terus-menerus dipengaruhi dan dikendalikan oleh otoritas agama yang tidak etis.
BISNIS MAJELIS SHOLAWATAN
Mari kita fokuskan menyoroti salah satunya dari sekian contoh diatas, yaitu maraknya Majelis Sholawatan. Bisnis Sholawat yang dilakukan oleh para Habaib yang mengaku memiliki silsilah biologis garis lurus laki-laki kepada Nabi Muhammad SAW melalui Imam Husein bin Ali. Seringkali menjadi perdebatan yang kompleks terkait etika, moralitas, dan dampak sosialnya. Fenomena ini menimbulkan pertanyaan apakah praktik ini sesuai dengan prinsip-prinsip agama ataukah hanya mengkapitalisasi agama untuk keuntungan materi. Dalam esai ini, kita akan menjelajahi dinamika bisnis Sholawat para Habaib yang bersifat mengkapitalisasi agama.
Pertama-tama, perlu dipahami bahwa Sholawat merupakan doa atau pujian kepada Nabi Muhammad SAW yang memiliki makna spiritual dan keagamaan yang dalam bagi umat Islam. Namun, ketika Sholawat dijadikan sebagai objek bisnis, muncul pertanyaan mengenai kemurniannya. Apakah tujuan sejati dari Sholawat ini adalah mendekatkan diri kepada Tuhan, ataukah hanya sekadar sebagai alat untuk mencapai keuntungan finansial?
Para habaib yang menjalankan bisnis Shalawat seringkali memiliki alasan tersendiri. Mereka mungkin melihatnya sebagai cara untuk memperluas dakwah mereka atau sebagai sumber pendapatan yang sah. Namun, perlu dicatat bahwa dalam melakukan bisnis ini, mereka harus tetap memperhatikan prinsip-prinsip etika agama, seperti kejujuran, keadilan, dan penghargaan terhadap nilai-nilai spiritual. Walaupun sudah menjadi rahasia umum, bahwa tarif sekali manggung, ada yang nilainya puluhan bahkan hingga ratusan juta rupiah. Tergantung fasilitas paket yang lengkap atau paket hemat. Tergantung juga yang kelasnya senior-nasional, atau Habaib yang masih yunior-lokalan.
Argumen kritis menyatakan bahwa komersialisasi Sholawat cenderung mengarah pada distorsi makna dan nilai-nilai religius. Ketika Sholawat dijadikan sebagai produk komersial, risiko terjadinya pemaknaan yang dangkal atau bahkan penyalahgunaan demi keuntungan finansial menjadi lebih besar. Hal ini dapat merusak esensi dari ibadah tersebut dan menimbulkan kesan bahwa agama hanya menjadi alat untuk mencapai kepentingan dunia semata.
Tujuan utama media sholawat yaitu menanamkan kecintaan kepada Nabi demi berwasilah agar dapat mentauladaninya. Seketika runtuh semata hanya untuk jualan nama Nabi, dan menjadi alat mencari nafkah dari mereka yang mengaku keturunan Nabi. Tanpa mengkapitalisasi nasabnya, siapapun berhak ragu bahwa Majelis Sholawat dari para Habib ini layak jual dan digandrungi umat.
Di sisi lain, ada juga pandangan bahwa bisnis Sholawat dapat membawa manfaat ekonomi bagi masyarakat, terutama bagi para penggiat seni dan budaya Islam. Melalui bisnis ini, mereka dapat mengembangkan kreativitas mereka dalam berkarya dan memperkenalkan keindahan seni Sholawat kepada masyarakat luas. Secara kebudayaan, siapa saja berhak membuat karya terbaik dan berkompetisi secara fair. Dan sebagai penggiat seni yang bergantung nafkahnya dari kesenian, maka masyarakat yang berhak menilai mana yang lebih layak jual. Walaupun kini penilaian itu menjadi bias dan tercemari oleh embel-embel lain. Misalnya dengan doktrin, Majelis Sholawat akan lebih afdhol bila dilantunkan oleh Cucu Nabi sendiri. Beda bila oleh orang ajam dan awam.
Penulis pernah mendengar doktrin, bahwa Cucu Nabi akan lebih cepat terkabul doanya, lebih besar pahalanya bila berbuat kebajikan, dan bila bersholawat lebih cepat dibalas salamnya oleh Nabi sendiri, dibandingkan oleh yang bukan keturunannya. Andai Nabi sepilihkasih itu, hanya melihat cover manusia, tidak melihat ketulusan hati dan derajad ketaqwaan, maka apakah masih pantas menyandang KEKASIH TUHAN? Pada akhirnya doktrin yang rasis akan membawa keburukan dari segala dimensi, termasuk stigma kepada Manusia Agung atau Ras yang dibanggakan tersebut. Yang asli Keturunan Nabi saja akan menjadi hina bila rasis, apalagi yang palsu dan imitasi.
SOLUSI
Dalam menghadapi fenomena bisnis Sholawat yang mengkapitalisasi agama, diperlukan pendekatan yang bijaksana dan seimbang antara kepentingan spiritual, moral, dan ekonomi. Yaitu antara lain :
- Autokritik dari Pelaku. Penting bagi para Habaib dan pelaku bisnis ini untuk senantiasa mengedepankan nilai-nilai keagamaan yang murni serta memastikan bahwa kegiatan bisnis mereka tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip agama yang mereka anut.
- Kewaspadaan Regulator. Selain itu, peran pemerintah dalam mengatur dan mengawasi praktik bisnis semacam ini juga sangat diperlukan, untuk mencegah penyalahgunaan dan distorsi makna agama demi keuntungan pribadi atau kelompok.
- Kesadaran Konsumen. Para penikmat Majelis Sholawatan yaitu masyarakat luas, wajib intropeksi. Memahami makna tujuan sholawatan adalah menjadi media mencintai dan mentauladani Rosulullah. Selain tontonan, substansi tuntunan harus diutamakan. Tanpa kesadaran itu Majelis Sholawatan hanya sekedar konser hura-hura semata.
KAPITALISASI AGAMA Vs KAPITALISME
Ada adagium kritis dan apatis, bahwa “Lebih baik para 9 Naga daripada Habaib !” Komparasi ini menggambarkan pandangan bahwa konglomerasi penguasa perekonomian Indonesia lebih dihargai daripada Habaib.
Konglomerasi penguasa perekonomian Indonesia memang memberikan kontribusi besar dalam pertumbuhan ekonomi negara ini. Mereka menciptakan lapangan kerja, meningkatkan infrastruktur, dan menggerakkan sektor-sektor industri utama. Namun, penting untuk diingat bahwa kekuatan ekonomi mereka juga harus diimbangi dengan tanggung jawab sosial dan kepedulian terhadap kesejahteraan masyarakat secara luas. Kapitalisme tanpa diiringi Sosialime, pertumbuhan tanpa pemerataan adalah eksploitasi yang juga tidak kalah kejamnya daripada Kapitalisasi Agama.
Harus diakui, para 9 Naga atau konglomerasi penguasa perekonomian memiliki peran penting dalam menggerakkan perekonomian Indonesia. Mereka menyumbang secara signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi negara melalui investasi besar dalam berbagai sektor industri, menciptakan lapangan kerja, dan meningkatkan infrastruktur.
Sementara itu, praktik Habaib yang mengkapitalisasi agama seringkali menimbulkan kontroversi. Penggunaan agama sebagai alat untuk mencapai keuntungan materi dapat merusak nilai-nilai spiritual dan moral dalam masyarakat. Hal ini juga dapat mempengaruhi persepsi terhadap keadilan dan kesejahteraan sosial. Singkatnya Habaib tidak memiliki kontribusi apapun kepada perekonomian Indonesia bahkan bisa dikatakan merugikan Muhibbinnya dan hanya menguntungkan diri beserta golongannya.
Ibaratnya, MUHIBBIN HABAIB yang bekerja sebagai buruh atau karyawan di sektor industri milik 9 NAGA, harus menyisihkan sekian penghasilannya demi berbakti kepada junjungannya yang mengaku CUCU NABI. Dengan imbalan di dunia rela hanya menjadi buruh namun berhak dapat TIKET SURGA dan SYAFA’AT NABI. Pada hakekatnya mereka tertindas dari 2 sisi, ikhlas dieksploitasi menjadi buruh oleh satu kelompok untuk penghasilannya disetor sebagian kepada kelompok lain. Negara telah mengatur regulasi kesejahteraan perburuhan tentang jaminan asuransi maupun upah minimum dan lembur. Namun negara seolah ABAI DAN ACUH mengatur kewaspadaan terkait PERBUDAKAN SPIRITUAL. Tentang siapa yang berhak menyandang STATUS CUCU NABI, karena dari sanalah HIPNOTERAPI dan DOKTRIN SESAT bermula.
REKOMENDASI KEPADA NEGARA
Negara harus segera hadir menjadi hakim yang tegas bahwa mengaku keturunan Nabi ada kaidahnya. Agar tidak ada lagi Perbudakan Spiritual dan Kapitalisasi Agama berdasarkan klaim sesat mengaku Cucu Nabi :
- Harus memiliki catatan nasab yang diakui ahlil balad atau keluarga besar. Maka Naqobah lokal dalam negeri harus disertifikasi dan diverifikasi kelayakannya. Berdayakanlah Departemen Dalam Negeri.
- Harus memiliki Isbat dari negara asal leluhurnya. Maka bangunlah kerjasama dengan Naqobah Internasional yang ada di setiap negara. Berdayakanlah Departemen Luar Negaeri dan Departemen Agama.
- Harus lolos secara Kajian Genetika. Bangunlah fasilitas Uji Tes DNA, untuk membuktikan apakah dia garis paternal, atau non paternal dengan Nabi SAW. Sesuai pemetaan genetik Keluarga Nabi yang sudah berjalan di seluruh dunia. Berdayakanlah Badan Riset dan Inovasi Nasional (Kemenristek).
Penulis meyakini apabila ketiga hal diatas bisa dilaksanakan dengan tegas dan sinergi, maka ketertiban akan lebih terjamin di kemudian hari. Walaupun ada beberapa implikasi yang kurang menguntungkan bagi beberapa pihak, terutama Klan Habaib Ba’alwi itu sendiri. Termasuk dapat mengakibatkan penurunan signifikan dalam pendapatan dan reputasi bisnis mereka. Bahkan mampu menghadirkan RESIKO KEMISKINAN seperti yang terjadi pada masa pasca kemerdekaan hingga sebelum tahun 2000. Bisnis kapitalisasi Habaib cenderung terhubung erat dengan identitas dan ajaran agama. Sehingga lunturnya kepercayaan masyarakat terhadap nasab mereka bisa menghancurkan pondasi bisnis mereka yaitu bisnis kapitalisasi keagamaan.
Demikian pentingnya nilai-nilai spiritual dan moral dalam membangun masyarakat yang adil dan berkelanjutan. Oleh karena itu, dalam kedua aspek ini perlu adanya keseimbangan antara kontribusi ekonomi dan nilai-nilai moral untuk mencapai pembangunan yang adil dan berkelanjutan bagi Indonesia sebagaimana Bani Walisongo. Selama ini para ulama dari Bani Walisongo selalu menjaga kestabilan antara kehidupan sosial-politik dan ekonomi tanpa harus mengkapitalisasi nasab dan agama untuk kepentingan pribadi dan golongan.
Selamat berpuasa, semoga menjadi hamba yang bertaqwa, bebas dari segala perbudakan dan penindasan, Wassalamu’alaikum wr.wb, Salam Sejahtera, Rahayu Nusantaraku !
Ngayogjakarta Hadiningrat, 27 Maret 2024
Oleh :
Al Haq Kamal
(Akademisi Ekonomi Syariah)
dan
KRAT. Faqih Wirahadiningrat
(Penggiat Budaya, Sejarah dan Genetika)