Oleh: M. Hamdan Suhaemi
Penyebutan gelar ulama dalam keseharian orang Indonesia adalah kiai, ajengan, tuan guru, dan tengku atau abuya. Sementara di Timur Tengah dikenal sebagai syaikh atau imam. Panggilan kiai berlaku bagi orang yang berpengetahuan yang mendalam tentang agama Islam. Meski banyak penyebutan yang berbeda, ini tidak berarti beda arti dari pemaknaan yang sebenarnya terhadap orang yang mengerti tentang agama Islam. Kiai akan selalu berada di keseharian umat yang dibina dan dibimbingnya, satu peran yang menjadi pokok sebagai penganjur agama sekaligus pembimbing umat.
Kini, ketika kiai melihat kondisi kebangsaan, relasi antara kenegaraan dan keagamaan tidak lagi dilihat secara kaku dari kaca mata agama semata tapi kiai mampu maju untuk ikut berperan dalam wilayah negara (wilayatu al-daulah) secara praktis.
Ada yang bisa kita lihat dari fenomena itu, apakah karena negara dalam kondisinya yang mengkhawatirkan karena benturan simbolisme agama dan negara ataukah karena kiai sebagai lokomotif pemikiran keagamaan yang ingin menyentuh konstitusi negara, dan bisa jadi kiai ingin hadir sebagai “genuine character“ dalam upaya menata negara yang berlandaskan nilai-nilai Islam. Pertanyaan-pertanyaan tersebut menjadi kewajaran dari dinamika umat yang secara politis tengah memasuki kompetisi di ruang demokrasi yang kebetulan kiai atau ulama juga punya hak politik sebagai bagian dari warga negara.
Nata Agama Untuk Negara
Hadirya kiai dalam menata negara adalah juga merupakan pengamalan dari sikap dan prinsip hubbul wathon minal iman yang telah menjadi falsafah hidup berbangsa dan bernegara, kiai juga hadir dengan fungsinya sebagai pemberi jalan dan penawar solusi atas problematika negara relasinya dengan rakyat. Kehadiran kiai (ulama) dalam menegara pun perlu mewujudkan mabadi’ khoiro ummat dengan landasan “tashorrufu al-imami ‘ala al-ra’yati manuthun bi al-mashlahat” (seluruh kebijakan dan tindakan pemimpin terhadap rakyat haruslah selalu berdasarkan kepentingan mereka), pertama perlindungan hidup dan keselamatan jiwa raga. Kedua perlindungan hak meyakini dan menjalankan agamanya, ketiga perlindungan keselamatan, perkembangan dan pendayagunaan akal budi, keempat perlindungan hak atas harta atau kekayaan yang diperoleh secara sah, kelima perlindungan hak keturunan.
Disamping secara prinsipil kiai berperan pada ranah konstitusional dalam mengatur negara, ia juga berfungsi dalam upaya menghadirkan negara dalam posisi menjaga serta menyelamatkan dari gerakan-gerakan (al-harakat) seperti 1. Penyesatan teologis (al-tadlil) dari kelompok-kelompok yang terus melakukan rongrongan secara sistematis. 2. Perpecahan dan disintegrasi bangsa (al-tafriq), 3. Tuduhan pengkafiran sesama bangsa (al-takfir), 4. Merusak tatanan sosial budaya bangsa (al-ifsad), 5. Pemurtadan yang sistemik terhadap yang sudah beragama (al-irtiyad), 6. Pelemahan spiritualitas bangsa (al-tadl’if). Kehadiran negara yang di dalamnya kiai untuk bisa menguatkan sendi-sendi kebangsaan adalah juga komitmen dalam upaya menguatkan konsensus nasional sebagai negara Pancasila.
Nata Negara Untuk Agama
Oleh karena negara kita adalah negara bangsa dengan Pancasila sebagai dasarnya, maka negara tidak lagi mengambil posisi menjauh dari agama dan bukan pula negara mengatur agama, sementara prinsip nasionalisme sebagai roh berbangsa dan bernegara tidak juga alergi terhadap sikap puritanisme yang terkadang bisa mengganggu keajegan konstitusi UUD 45. Negara selalu hadir untuk mengayomi melindungi serta mesejahterakan rakyat keseluruhan.
Dalam pasal 29 ayat 1 dan 2 UUD 45 tersebut negara menjamin kebebasan dalam memilih agama dan kepercayaan, tanpa ada perselisihan, namun juga negara harus mampu meredam konflik antar umat beragama.
Agama sebagai ajaran yang memberikan petunjuk (hudan li al-annas), anjuran, perintah dan larangan serta secara inheren ada nilai-nilai, norma-norma yang telah ada di bangsa Indonesia sebagai kesadaran kognitif atau collective minds tentu harus dijaga oleh tatanan negara yang memegang teguh kebhinekaan. Artinya negara harus hadir dalam upaya menghidupakan ajaran agama, fungi beragama, serta sikap beragama.
Nata Negara Untuk Umat
Kiai, yang tengah dalam pusaran kekuasaan negara bisa dipahami sebgai titik awal kembalinya Islam moderat ke ring kekuasaan negara. Point yang kedua kembalinya negara mengakui dan meghargai ulama, karena melalui peran ulama NKRI bisa terwujud menjadi negara merdeka dan berdaulat. Sementara langkah yang ketiga dipahami sebagai telah kembali bersatunya satu pemahaman antara Islam dan negara dalam proses pembangunan manusia Indonesia menuju tewujudnya civil society (masyarakat madani).
Sebagaimana firman Allah SWT dalam al-Quran surat al-Nisa ayat 59 yang artinya: “Sesungguhnya Allah menyuruh kalian menyampaikan amanat kepada yang berhak dan apabila kalain memerintah maka memerintahlah berdasarkan dengan keadilan” ( QS al-Nisaa : 59 ).
Terkait di atas, negara harus terus memupuk wawasan kebangsaan dan pengembangan nilai-nilai kemerdekan yang hakiki dan demokratis, mendidik kedewasaan bangsa untuk menyadari hak dan kewajiban serta tanggung jawab untuk mencapai kemaslahatan bersama ( mashlahat al-‘ammah ).
Daftar Pustaka
Dahlan, Abdurrahman, Ushul Fiqih, ( Jakarta : Penerbit Amzah, 2014 )
Departemen Agama RI, Al-Quran dan Terjemahan, ( Jakarta : PT Syaamil Cipta
Media, 2007 )
Madjid, Nurcholish, Islam Kemodernan dan Keindonesiaan, ( Bandung : Penerbit
Mizan, 1992 )
Tim Perumus PBNU, Seri Madrasah Kader Nahdlatul Ulama, ( Jakarta : PBNU,
2019 )