Oleh : Kyai M. Hamdan Suhaemi
Kita sudah biasa dengar kata keramat dengan pahamnya angker, atau supranatural. Merujuk arti keramat itu sebenarnya adalah kemuliaan bukan keangkeran, atau mistis. Pandangan umum di tengah masyarakat kita sudah terbentuk bahwa keramat itu ya angker dan mistis, contoh makam keramat, kuburan keramat, rumah keramat, atau jembatan keramat, senjata keramat. Semua objek yang ada unsur mistis dan supranaturalnya selalu disebut keramat.
Lalu, apa maksud manusia langit itu. Manusia langit dimaksud adalah hamba Allah SWT yang dipuji oleh penduduk langit (para malaikat), dinanti oleh mereka, dan mereka hamba Allah SWT yang khusyuk membuka tirai langit di malam hari, dimana hamba tersebut khlawat dan dzikir memuja Tuhannya dengan roja’ dan khauf. Manusia langit identik sebagai kekasaih Allah atau aulia Allah, yang memiliki maqomatnya masing-masing, seperti muhsinin, mutawwabin, muhibbin, shiddiqin, dan muttaqin. Dalam pada itu mereka berkelompok dan manunggal yang kemudian disebut afrad, abdal,akhyar dan autad. Ada pula yang disebut nujaba, nuqoba dan malamitiyyah. Disamping ada yang kemudian disebut rijalullah atau manusia Tuhan (lelaki yang khusus ditugaskan oleh Allah SWT), dan yang tertinggi quthubul aqthab atau sultonul aulia.
Manusia langit atau manusia keramat dipahami secara sederhana sebagai hamba Allah yang dekat, hamba Allah yang dimuliakan (berkeramat). Manusia langit (wali) selalu memilki luberan berkah yang melimpah, seperti mata air yang tak pernah kering. Mendekati mereka adalah menadahi luberan berkah tersebut, baik yang masih hidup atau yang tenang di alam baqa.
Berkah, lalu kita mengenalinya sebagai ziyadatul khoir (bertambahnya kebaikan), dengan kebaikan yang diharapkan mengisi relung jiwa kita, bisa dilakukan sendiri, dan dari sumber berkahnya yaitu orang tua, dan kekasih Tuhan.
Manusia-manusia langit, banyak yang tiada. Tentunya keberkahan sedikit demi sedikit terangkat pula, bersamaan ilmu dan pahala pengabdiannya. Kita tentu tertunduk lesu ketika para orang tua, para sepuh telah meninggalkan kita untuk selamanya. Meneruskan warisan dan ajarannya tentu adalah menjadi kewajiban kita, tetapi mengkloning mereka para manusia langit adalah ” kemustahilan yang logis “. Yang bisa kita lakukan adalah Istiqomah. Istiqomah dalam pencerahan, istiqomah dalam ibadah, istiqomah dalam suluk dan tarekat, istiqomah dalam keikhlasan.
Suatu saat nanti, Nusantara kita adalah negeri baldatun toyyibatun wa Robbin ghofur yang berkah dan diberkahi selalu oleh para manusia langit yang kita kunjungi saat hidup dan mengunjungi yang telah tiada.
Puser, 27-9-21