Telingaku sering mendengar kata “Wukuf Arafah” di setiap tanggal 9 bulan Dzulhijjah yang menjadi saksi sejarah pertemuan pertama kali Bapak Adam dan Ibu Hawa di dunia. Kata “Wukuf” memiliki arti berdiam diri atau berhenti, sedangkan arti kata “Arafah”, yaitu “mengenal” atau “mengakui.”
Orang yang tak mampu diam untuk mengenali diri adalah orang yang tak mengenali diri. Jika ia tak mengenali diri, maka tak akan mengenali kehadiran Tuhan di dalam diri. Penampakan kehebatan semesta diri dapat terlihat jika ia mengenal utuh tentang siapa dirinya. Jika ia belum mengenal siapa dirinya, maka tanda-tanda kehebatan Tuhan akan tertutup darinya.
Kutipan bahasa guru semesta ini membuatku tercengang dan memunculkan pertanyaan dalam benakku: “Aku ini siapa?”, “Apa hakikat sejati aku?”, “Dari mana asalku?” “Untuk apa aku berada disini?”.
Aku terdiam saat akan menjawab beberapa pertanyaan itu. Diamku karena aku bingung dengan diriku tentang siapa sejatinya aku. Ternyata selama ini pengenalanku tentang aku hanyalah sisi lahiriyah saja; seperti ini tanganku, kakiku, kepalaku dan tubuhku, sedangkan aku belum mengenali aku sejatiku. Urusanku hanya bertengkar jika aku marah, bersetubuh jika libidoku memuncak, menyantap makanan jika aku lapar, dan meminum air jika aku haus. Tanpa aku sadari, ternyata hewan serupa denganku. Tidak ada yang lebih dekat dari rangkaian aku kecuali aku. Aku belum mengerti tentang sejatinya aku, lalu bagaimana aku mengenal kehebatan diriku dan keistimewaan semesta di sekitarku?
Wukuf Arafah ini mengajarkanku untuk berdiam diri merenungi siapa sebenarnya aku. Aku bersama tamu Tuhan lainnya berkumpul, berdiam, dan berhenti dari kegiatan apapun dari berbagai status sosial, ras, warna kulit, dan lintas negara dengan kesamaan gaya berpakaian di tanggal 9 Dzulhijjah dimulai sejak matahari tergelincir hingga terbitnya fajar di 10 Dzulhijjah. Nabiku bersabda : “al-Hajj ‘Arafah” artinya Haji adalah ‘Arafah.
Dari perenungan ritual ini membuatku sadar bahwa aku hanyalah objek dari Subjek Pemiliki Semesta, begitu pun semua makhluk beposisi sama denganku. Aku tidak boleh merasa menjadi subjek terhadap makhluk semesta selain diriku karena aku dan semua makhluk adalah keluarga dalam jalinan persahabatan antar objek. Aku harus memposisikan mereka semua sebagai subjek yang setara dalam jalinan kemitraanku, meskipun secara kasat mata mereka berposisi sebagai objekku, karena makhluk semesta selain aku adalah mitra keberlangsungan hidupku di dunia.
Sungguh perkumpulan itu memberi kontemplasi perenungan sunyi dalam benakku bahwa apapun latar belakang setiap individu memiliki posisi yang sama di sisi Tuhan, si kaya sama dengan si miskin, dan rakyat jelata serupa dengan penguasa. Faktor yang menjadi pembeda di antara aku dan mereka adalah tingkat ketakwaan yang sesuai dengan tugas dan fungsi dirinya, karena Sang Maha Pencipta tidak melihat status sosial dari semua ciptaan-Nya. Itulah makna berdiam diri dalam perenungan sunyi dalam ritual wukuf di Arafah.
Oleh: Dr. KH. Mohamad Mahrusillah, MA
Ketua RMI PCNU Kab. Tangerang dan Rais Syuriyah MWC NU Kec. Teluknaga
Dr. Sugeng Sugiharto di-Demosi oleh BRIN karena Bicara Nasab Klan Habib Baalwi?
Penulis: Kgm. Rifky ZulkarnaenPenulis memperoleh informasi bahwa Dr. Sugeng Sugiharto di-demosi (penurunan jabatan dan tunjangan kinerja) oleh kantor tempat beliau...
Read more