Penulis kira Gus Rumail tidak akan menggunakan sanad-sanad palsu itu sebagai hujjah lagi. Sekitar satu bulan lalu, ia menulis sebuah tulisan berjudul “Untuk Kiai Imadudin”. Di dalam tulisan itu memuat sanad-sanad hadits yang menyebut nama-nama silsilah Ba Alwi semacam Ubaidillah dan Faqih Muqoddam. Ia iangin mengatakan bahwa, selain Ubidillah ini sosok historis, lebih dari itu, ia juga seorang perawi hadits. Kemudian penulis membuat tulisan dengan judul “Manuskrip Halu dan Isnad palsu”.
Gus Rumail, ketika menyajikan isnad-isnad itu tidak melampirkan manuskrip apapun untuk menguatkannya, malah manuskrip tentang Imam Syafi’ yang ia sematkan. sebuah manuskrip yang tidak ada kaitan apapun dengan nasab Ba Alawi. Lagi-lagi “tipu-tipu” ala muhaqqiq Ba Alawi dilakukan Gus Rumail. Dalam tulisan jawaban itu, penulis tidak merinci substansi narasi halu dari isnad palsu itu. Penulis hanya mengatakan:
“Siapapun bisa menulis apapun tentang masa lalu yang diinginkannya. Banyak para penulis novel fiksi yang mampu membuat cerita berlatar belakang sebuah tahun tertentu di masa lalu. Atau berlatar belakang tokoh historis, lalu menyertakan tokoh fiksi itu sekan-akan ia hidup bersama tokoh historis tersebut.”
Dari sindiran itu, penulis mengira, Gus Rumail tidak akan menggunakan isnad-isnad palsu itu untuk hujjah (bahan dalil) lagi, tetapi ternyata tidak. Ia menggunakan salah satu isnad itu untuk sebuah tulisannya yang dimuat dalam sebuah website (rumail.medium.com. dengan judul artikel: Syarif, Alawi, dan Hasani-Husaini: benarkah memiliki Makna Genalogi?). Dari situ, penulis kira, wajib hukumnya untuk membongkar isnad-isnad palsu itu agar masyarakat mengetahui dan menyadarinya.
Ada yang husnuszon, katanya tidak disajikannya manuskrip itu sebuah strategi saja, agar para “penyawer” pada nyawer dulu, baru manuskrip aslinya dikeluarkan, agar modal beli manuskrip itu balik dulu. Itu hak Gus Rumail untuk buka saweran untuk penelitiannya, prinsip dan deliberasi orang beda-beda, tergantung asupan motivasi intrinsiknya masing-masing. Toh belinya harga berapa , di mana, siapa penjualnya, gak ada yang tahu. Demikian pula, laporan pertanggungjawaban pengumpulan dana masyarakat dengan dalih penelitian: berapa yang sudah terkumpul, digunakan untuk apa, juga gak ada yang tahu. Yang nyawer aja gak mempermasalahkan, kenapa kita harus kepo.
Yang penting, penulis kira, narasi “deliberately lie” (sengaja berbohong) dari nya atau dari yang ia kutip, wajib kita sanggah dan luruskan. Apalagi, terhadap hal yang sudah berhubungan dengan hadits Nabi Muhammad Saw., jangan sampai, sebuah hadits ternyata diriwayatkan hanya oleh sebuah wayang. Kebetulan, ijajah “master” penulis dalam bidang Ilmu Hadits dan Ilmu Tafsir, begitu juga Program Doktoral penulis yang, karena kesibukan, tidak diselesaikan.
Isnad hadits disampaikan Gus Rumail dalam tulisan itu, yang dengannya ia simpulkan bahwa Abdullah “bin Ahmad bin Isa” adalah sosok historis adalah:
حدثنا الحسن بن محمد العلال قال حدثنا جدي ابو الحسن علي بن محمد بن احمد بن عيسى العلال العلوى بالبصرة قال حدثنا عمي عبد الله بن احمد الابح بن عيسى العلوي نزيل اليمن قال حدثنا الحسين بن محمد بن عبيد بن العسكري ببغداد قال أنبأنا ابو جعفر محمد بن الحسبن الدقاق قال انبأنا القاسم بن بشر قال انبأنا الوليد بن مسلم قال حدثنا الاوزعي قال حدثني عبد الرحمن بن القاسم وحدثني القاسم بن محمد عن عائشة
Inilah sanad hadits yang katanya manuskripnya ditemukan atau dibeli Gus Rumail. Sanad itu menyebut nama Abdullah “bin Ahmad bin Isa” (ayah Alwi) yang katanya mendapat hadits dari al-Husain bin Muhammad bin Ubaid bin al-Askari. Penggalan sanad itu (katanya dari sebuah manuskrip), tidak menyertakan keterangan: dalam kitab apa, dalam manuskrip apa, karya siapa, manuskripnya tahun berapa, ada di mana, halaman berapa?
Sepertinya, rangkaian sanad itu sengaja diciptakan bukan untuk kepentingan periwayatan sebuah hadits, tetapi lebih untuk kepentingan disebutnya nama Abdullah, untuk dijadikan bukti bahwa sosoknya betul-betul ada, bahkan meriwayatkan sebuah hadits. Sayangnya creator sanad itu lupa, bahwa Ilmu Hadits lebih ketat dari ilmu nasab, nama-nama perawi sudah terkodifikasi rapih ditulis dalam kitab-kitab “ruwat” (para perawi). Untuk mengkonfirmasi seorang perawi, apakah ia merupakan sosok historis atau bukan (jangan-jangan ia sekedar nama yang sengaja disematkan tanpa ada sosoknya) bisa dilihat dalam kitab-kitab ruwat (para perawi hadits) yang sudah ditulis sejak abad ke tiga Hijriah.
Ibnu Khayyat (w. 240 H.) telah menulis kitab tentang perwai hadits dalam kitabnya “Tobaqot al-Ruwat”; Ibnu Sa’ad (w. 230 H) menulis kitab “al-Tobaqot al- Kabir”; al-Bukhari (w.256 H.) menulis kitab “al-Tarikh al-Kabir”; al-Ajali (w. 261 H.) menulis kitab “al-Tsiqat”; Ibnu Abi Hatim (w. 327 H.) menulis kitab al-Jarhu wa al-Ta’dil; Ibnu Hibban (w. 354 H.) menulis kitab “al-Tsiqot” dan “al-Dhu’afa”; Ibnu Syahin (w. 385 H.) menulis kitab “Tarikh Asma’ al-Tsiqot”; al-Dzahabi (w.748 H) menulis kitab “Mizan al-I’tidal” dan “Tadzkirat al-huffadz”; Ibnu hajar al-Asqolani (w. 852 H.) menulis kitab “Lisan al-Mizan”; dan masih banyak lagi kitab-kitab tentang para perawi hadits.
Dalam sanad hadits Gus Rumail itu, Abdullah “bin Ahmad bin Isa” katanya mendapat hadits dari al-Husain bin Muhammad Ibnu al-Askari. Ibnu al-Askari memang seorang perawi hadits, namanya ditulis dalam kitab-kitab ruwat hadits (kitab yang menyebut nama-nama para perawi hadits). Di dalam sanad itu disebut bahwa Ibnu al-Askari mendapatkan hadits dari Abu Ja’far bin Muhammad bin al-Husain al-Daqqaq. Al-Daqqaq pula terkonfirmasi sebagai perwai hadits.
Tapi apakah benar Ibnu al-askari meriwayatkan hadits kepada Abdullah. Perhatikan wafat Abdullah, ia disebut wafat tahun 383 Hijriah, jika ia benar-benar seorang perawi maka, namanya akan dikenal oleh para ahli ilmu di masanya, tempatnya akan banyak didatangi para pencari hadits dari berbagai penjuru dunia, dengan itu seharusnya namanya telah dicatat oleh kitab yang mencatat para perawi yang semasa dengannya atau yang mendekatinya, semacam Ibnu Syahin yang wafat tahun 385 Hijriah, dua tahun setelah wafatnya Abdullah, atau kitab al-Dzahabi yang wafat tahun 748 Hijriah. Dan tentu namanya pula akan dicatat oleh kitab nasab pada masanya seperti al-Ubaidili (w. 437 H.), tapi, nama Abdullah ini tidak dicatat dimanapun: tidak di kitab nasab, tidak pula di kitab para perawi.
Untuk menguji kesahihan sanad Gus Rumail, mari kita teliti seorang nama perawi yang disebut di sana, ia adalah al-Husain bin Muhammad Ibnu al-Askari. Benarkah ia mempunyai murid bernama Abdullah “bin Ahmad bin Isa”?
Mari kita lihat kitab Tarikh Bagdad tentang sosok al-Husan bin Muhammad bin al-Askari.
الْحُسَيْن بن مُحَمَّدِ بْنِ عبيد بن أَحْمَدَ بْنِ مخلد بن أبان أَبُو عَبْدِ اللَّهِ الدَّقَّاق المعروف بابن العسكري …حَدَّثَنَا عنه أَبُو الْقَاسِمِ الأزهري، وأبو مُحَمَّد الجوهري، والحسن بن مُحَمَّدٍ الْخَلالُ، وأحمد بن مُحَمَّد العتيقي، وأبو الفرج بن برهان، والقاضي أَبُو العلاء الواسطي، وعبد العزيز بن عَلِيّ الأزجي، وعلي بن مُحَمَّدِ بْنِ الْحَسَن المالكي، والقاضي أَبُو عَبْدِ اللَّهِ البيضاوي، وأحمد بْن عُمَرَ بن روح النهرواني، وأبو الْقَاسِم التنوخي. (تاريخ بغداد: جزء 8 ص. 569)
Dalam kitab “Tarikh Bagdad” karya al-Khatib al-Bagdadi itu, disebutkan bahwa murid-murib Ibnul Askari adalah: Abul Qosim al-Azhari, Abu Muhammad al-Jauhari, al-Hasan bin Muhammad al-Khollal, Ahmad bin Muhammad al-Atiqi, Abul faraj bin Burhan, al-Qodi Abul Ala al-Wasiti, Abdul Aziz bin Ali al-Azji, Ali bin Muhammad bin al-hasan al-Maliki, al-Qodi Abu Abdillah al-Baidowi, Ahmad bin Umar al-Nahrawani, dan Abul Qosim al-Tanukhi (lihat kitab Tarikh Bagdad juz delapan halaman 569).
Jelas nama Abdullah “bin Ahmad bin Isa” tidak termasuk murid atau orang yang meriwayatkan hadits dari Ibnul Askari.
Lalu Gus rumail mendapat sanad hadits tersebut dari mana?
Jelas sekali itu adalah sebuah sanad palsu. Sanad itu adalah sanad tiruan dari sanad aslinya yang terdapat dalam kitab “Tarikh Bagdad”. Perhatikan sanad asli di bawah ini:
أَخْبَرَنَا علي بن مُحَمَّد بن الحسن المالكي قال أنبأنا الْحُسَيْن بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ عُبَيْدٍ الْعَسْكَرِيُّ، قَالَ نبأنا محمّد بن الحسين الدّقّاق نبأنا القاسم بن بشر قال نبأنا أَبُو الْعَبَّاسِ الْوَلِيدُ بْنُ مُسْلِمٍ قَالَ سَمِعْتُ الأوزاعي يقول حدّثني عبد الرّحمن بن الْقَاسِمِ قَالَ حَدَّثَنِي الْقَاسِمُ بْنُ مُحَمَّدٍ عَنْ عَائِشَةَ زَوْجِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَتْ: «إِذَا جَاوَزَ الْخِتَانُ الْخِتَانَ؛ فَقَدْ وَجَبَ الْغُسْلُ » فَعَلْتُهُ أَنَا وَالنَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عليه وسلّم وَسَلَّمَ فَاغْتَسَلْنَا.
Sanad ini sanad asli terdapat dalam kitab yang menjadi rujukan ahli hadits yaitu “Tarikh Bagdad” juz tiga halaman delapanbelas. Lalu perhatikan sanad Gus Rumail di bawah ini:
حدثنا الحسن بن محمد العلال قال حدثنا جدي ابو الحسن علي بن محمد بن احمد بن عيسى العلال العلوى بالبصرة قال حدثنا عمي عبد الله بن احمد الابح بن عيسى العلوي نزيل اليمن قال حدثنا الحسين بن محمد بن عبيد بن العسكري ببغداد قال أنبأنا ابو جعفر محمد بن الحسبن الدقاق قال انبأنا القاسم بن بشر قال انبأنا الوليد بن مسلم قال حدثنا الاوزعي قال حدثني عبد الرحمن بن القاسم وحدثني القاسم بن محمد عن عائشة
Sangat mirip bukan?
Perbedaan kedua sanad itu adalah, jika sanad asli itu menyebut bahwa Ibnu al-Askari meriwayatkan kepada muridnya yang bernama Ali bin Muhammad bin al-Hasan al-Maliki, sementara sanad palsu Gus Rumail menyebut ia meriwayatkan hadits kepada muridnya Abdullah “bin Ahmad bin Isa”. sementara telah disebut diatas siapa murid-murid Ibnu al-Askari menurut kitab-kitab perawi hadits. Ali bin Muhammad telah terkonfirmasi sebagai murid Ibnu al-Askari. Sementara nama Abdullah “bin Ahmad bin Isa” tidak terkonfirmasi sebagai murid dari Ibnu al-Askari. Ia gelap gulita.
Pemalsuan hadits dan sanadnya sudah berlangsung sejak dahulu kala. Namun para ulama telah berhasil membongkarnya dengan ilmu “rijalul hadits” dan sebagainya.
Penulis: Imaduddin Utsman al-Bantani
RESIKO PERNIKAHAN SEDARAH DARI KLAN HABIB BA’ALWI DITINJAU DARI SISI GENETIKA
"Saya seorang Muslim dan agama saya membuat saya menentang segala bentuk rasisme. Itu membuat saya tidak menilai pria mana pun...
Read more