Oleh: Kyai M. Hamdan Suhaemi
Arti Manthiq
Kata manthiq berasal dari kata nathaqo (ucapan atau nalar) yang berarti waktu berucap dan juga bisa kita pahami sebagai ilmu pengetahuan yang mempelajari cara berfikir dengan logika yang benar, al-Jurjani menyebut ilmu manthiq itu “alatun qonuniyatun tu’shimu muro’ataha al dzihna ‘an al khothoi fi al fikri” (ilmu pengetahuan yang mengatur dalam menjaga akalnya dari kesalahan berfikir). Ilmu ini adalah satu dari ilmu alat (termasuk rumpun satra Arab) yang telah lama dikaji di umumnya pesantren salafi, terutama pesantren salaf yang concern terhadap pengembangan kajian ilmu alat (Sastra Arab).
Permulaan Ilmu Manthiq
Awal dari timbulnya ilmu manthiq diduga berasal dari penetrasi filsafat Yunani yang kemudian dibawa oleh orang-orang Persia yang secara geneologis telah mewarisi hegemoni filsafat Yunani di Persia sejak negeri itu ditaklukan oleh Alexander The Great dari Macedonia. Namun oleh para ilmuwan muslim seperti al-Kindi, al-Farabi, Ibnu ‘Arobi, al-Rozi dan lainnya ilmu manthiq diposisikan sebagai ilmu yang penting dalam upaya penggalian pengetahuan atas ayat-ayat qouliyah dan ayat kauniyah. Meski banyak pertentangan diantara ulama kala itu, namun secara pasti ilmu tersebut telah masuk menjadi dasar pijakan dalam membuka jalan untuk mengetahui segala hal yang terkait dengan alam (sains) dan terkait pula dengan kehidupan manusia (sosial).
Sejak itu pula dunia Islam untuk pertama kalinya membuka diri dengan spektrum filsafat sebagai basis intelektualisme dan sains Islam hingga kemudian efeknya sampai pada konsepsi teologis yang dibangun kuat oleh prinsip-prinsip manthiq atau ilmu logika. Firqoh Mu’tazilah salah satu golongan umat Islam yang men-declare logika (al-Aql) sebagai pedoman pertama di atas al-Quran.
Pokok Pembahasan
Pokok bahasan Ilmu Manthiq itu ada 2 bagian, pertama al-tashowwur dan yang kedua al-tashdiq. Al-tashowur itu “idroku al nisbati kalamiyatan aw khobariyatan aw insyaiyatan“ dan juga itu diartikan sebagai pengertian memahami objek (materi) sebelum diteliti. Seperti dalam Risalah al-Syamsiah bahwa al-tashowur diartikan sebagai hushulu shuroti al-syaii fi al-‘aqli ( adanya rupa atau bentuk dari objek di akal fikiran). Selanjutnya di dalam bahasan tashowur ada prinsip tashowur maudlu’, tashowur faqoth, dan juga tashowur mahmul, sedangakan merangkai dengan mengaitkan hubungan-hubungan dari beberapa objek disebut al-hukm ( hukum), jika telah terjadi penentuan hukum tersebut apakah nanti al-ijab atau al-salab, maka uraian yang terkategori tashowur tersebut bisa menjadi tashdiq dan sampai seterusnya pada objek atau materi (mahiyah) berikutnya. Ketika telah menjadi tashdiq hal itu diposisikan pada beberapa analisa seperti apakah masuk al-nadhory ataukah masuk ke al-dlorury. Sementara ulama mutakhirin (ulama generasi akhir abad 13 M) mengurai tashdiq adalah idroku mahiyati al-syaii ma’a al-hukmi fiha (menemukan objek sesuatu serta ada ketetapan di dalamnya).
Akal fikiran yang menjadi subjek dalam ilmu manthiq adalah tartibu umuri al-ma’lumati li al ta’adda ila majhulin selanjutnya akan menelusuri 2 bahasan pokok seperti akan meneliti tashowur nadhory yang diartikan sebagai maa yahtaju ila al-ta’rifi ( pendefinisian objek ) dan tashowur dlorury yang diartikan sebagai maa laa yahtaju ila al ta’ammuri lakin bi hissihi ( tidak memerlukan definisi namun dengan empiris ), dan pada uraian-uraian dengan instrumen tashdiq yang nanti juga terbagi pada 2 tahapan, ada tashdiq nadhory yaitu maa yahtaju ila al-dalili ( penentuan objek/subjek yang membutuhkan argumen ), tashdiq nadhory ini pun sering dipakai dalam menguatkan dalil adanya Allah SWT ( eksistensi Tuhan ) seperti adanya alam semesta, dan alam semesta tersebut adalah baru ( karena makhluk ) merupakan dalil yang masuk dalam tashdiq nadhory, sedangkan tashdiq dlorury itu maa laa yahtaju ila al-dalili ( penentuan objek yang tidak membutuhkan dalil ) namun materi yang konkrit inheren dalam dalil.
Pada perkembangannya, sejak Ibnu Sholah mengumumkan anti atas kedudukan filsafat dalam Islam, dengan penguatan diktum Al Ghozali tentang “ kerancuan filsafat “ maka pada saat itu dunia Islam sudah meninggalkan filsafat sebagai ilmu dan sebagai pedoman li istinbathi al-hukmi dalam hubunganya dengan pelaksanaan syariat Islam.
Abad 12 M filsafat (logika dan rasionalisme) redup, namun sejak Spanyol (Andalusia) menjadi kiblat dunia Islam percisnya di abad 13 hingga abad 16, kultur kajian filsafat (manthiq) telah kembali hidup dengan ditandai oleh lahirnya ilmuwan, filsuf, dokter, arsitek, ulama dengan porosnya Ibnu Rusydi yang orang Barat memberinya titel Sang Komentator Agung filsafat Aristotelian, dari tangan Ibnu Rusydi (Averous) dan Ibnu Sina (Aveciena) terlahir pulalah banyak filsuf Barat seperti antara lain Duns Scotus, William Occam dan teolog-teolog Katolik, seperti Teolog Agung yang tersohor yaitu Thomas Aquinas ( penulis Summa Theoligia ).
Mewarisi Ilmu Manthiq ( Logika )
Jejak ini perlu menjadi pertimbangan kita sebagai generasi Islam yang lahir tanpa kultur filsafat (kini dominan kultur informatif) untuk mencoba menggairahkan semangat baru dalam mempelajari ilmu manthiq yang menjadi sumber dari filsafat tersebut. Urgensinya adalah dengan mempelajarinya kita akan melihat satu peradaban Islam yang tercerahkan dengan hidupnya peradaban filsafat yang di dalamnya ada inner dinamic untuk mengkawal peradaban Islam sebagai peradaban yang mencerahkan, peradaban yang menjunjung tinggi nilai kemanusiaan dan cita rasa kemulian manusia dalam hidup.
Sumber Bacaan:
Kitab al-Ta’rifat ( Imam Al Jurjani )
Kitab al- Risalah al-Syamsiah ( Imam Najmudin Umar bin Ali Al Qozwaini )
Kitab Tahrir al-Qowaidi al-Manthiqiyah ( Imam Quthbudin Mahmud bin Muhamad Al Razi )
Publikasi 500 Muslim Paling Berpengaruh Di Dunia Tahun 2025, Proyek Klan Ba’Alwi?
Setiap tahun kita disuguhkan publikasi “The Muslim 500: The World's 500 Most Influential Muslims” (500 tokoh muslim paling berpengaruh di...
Read more