Cukup mengerikan jika negara demokrasi harus dibatasi oleh Hak Asasi Manusia, ketika negara tidak mampu memberangus potensi menghancurkan sendi-sendi negara dan berbangsa hanya karena alasan melanggar hak asasi manusia. Negara di posisi kuat (strength) maka kontrol rakyat akan lemah, sebaliknya rakyat di posisi kuat, negara akan dikendalikan oleh sentimen sosial, dan oleh opini umum, dengan kata lain negara dalam bayang-bayang ketakutan terjadi revolusi.
Apa dan siapa yang dipahami sebagai potensi penghancuran atas pondasi berbangsa dan bernegara itu?. Mereka yang menggunakan agama sebagai alat juang untuk mengendalikan negara, sebab tujuan akhir adalah menguasai negara dengan cara dan perspektif formalisme agama. Sekali lagi simbol agama jadi alat jihad untuk memenangkan peperangan global. Namun bukan untuk peradaban agama itu sendiri, melainkan sekedar alat nafsu kekuasaan segelintir begundal-begundal penggerak Wahabisme. Sementara isu khilafah Islamiyyah di seberang sana adalah sisi lain dari karakteristik kepemimpinan dinasty (Khalifah berdasarkan nasab), tapi alat utamanya adalah Wahabisme.
Aneh jika, negeri Turky selalu dielu-elukan untuk tampil menjadi negeri kekhalifahan lagi, sementara bangsa Turky itu muslim yang mayoritas madzhab Hanafiyah, ini artinya jelas umat Islam Turki adalah sunny. Lalu kenapa HT (Hizbut Tahrir) bersikeras untuk wujudkan negara khilafah, sedangkan sejatinya khilafah saat Khulafaur Rasyidin itu produk demokrasi karena didasari Musyawarah mufakat. Kemudian HT menolak demokrasi sebagai produk thogut, maka ini kita sebut “orang gila makan petasan”. Mendambakan khilafah Islamiyyah seperti Turki dulu, itu artinya tegaknya supremasi ahli Sunnah wal Jama’ah sebagai pusat kekhalifahan, sementara HT adalah sempalan ideologi Wahabisme dari gurunya Syaikh Rasyid Ridlo, murid utama Syaikh Muhammad Abduh, itu artinya tetap dalam posisi berlawanan.
Model negara khilafah Islamiyyah, secara ideologi justeru Wahabisme, dan Wahabisme mengharuskan hukum kafir bagi yang tidak mengamalkan Qur’an dan Hadits sebagai landasan berbangsa dan bernegara, bahkan sebagai weltenschung (pengetahuan) dalam tata negara, dan tata pemerintahan. Perjuangan mereka mewujudkan wahabisme agar tegak di seluruh belahan dunia, adalah perjuangan tanpa batas ruang dan waktu, sambil lalu membumikan jargon khilafah dan jargon negara bersyari’at
Akar radikalisme itu ajaran Wahabisme, dari pecahan Wahabisme yang paling mendapat sorotan adalah paham takfiri dan paham jihadis. Saat mata kita melirik lagi, mereka di medan pertempuran membunuh (the killing) banyak orang dengan cara membom. Sadisnya teriak takbir membahana di langit, ketika ternyata saudara yang meninggal adalah saudara sesama muslim yang terkapar gosong akibat terkena bom.
Wahabisme adalah produk gagal ideologi agama, karena hingga hari ini orang wahabi sendiri tidak mengenali dasar wahabisme yang justru menyimpang dari syariat Islam tersebut. Pada letak manakah Wahabisme menyimpang dari syariat Islam yaitu pada letak berbuat bid’ah. Pengusung Wahabisme getol dan lantang menuduh kita yang sunny berbuat bid’ah, tapi mereka sendiri adalah biang dari perbuatan bid’ah.
Langkah menjempit gerak aktivitas para pengusung Wahabisme adalah dengan cara menolak tablig, ceramah, seminar, dan halaqoh dari tokoh dan ulama wahabi yang diundang oleh kader hijrah dan kader hijab dimana pun tempatnya. Bukan itu saja amputasi intoleransi dan radikalisme dengan memotong anggaran dari luar negeri, karena orang kaya Arab melakukan investasi ideologis, akibat perwujudan idealitas modern dan moderat dari Pangeran Muhammad bin Raja Salman.
Langkah selanjutnya, dan masih ada kelanjutannya ketika hari ini adalah pertumbuhan paham radikalisme dan intoleransi sepeti tak terbendung, padahal radikalisme dan intoleransi bukan ajaran Islam, bukan pula adat dan istiadat bangsa Nusantara. Yang bisa kita lakukan adalah lawan. Mendiamkan mereka, adalah sama halnya menyediakan golok untuk menebas leher kita.
Lalu, bantahan dalil-dalil harus terus kita galakan karena volume kebermunculan fatwa-fatwa aneh ulama wahabisme di corong-corong medsos, di beberapa kanal adalah juga perjuangan mereka dalam mengkerdilkan dan menghancurkan ajaran Islam yang mulia dan sempurna ini dengan tameng membela Islam. Penceramah yang hanya dibekali terjemah Qur’an dan terjemahan hadits ditampilkan seoalah ia adalah penceramah yang berbasis ilmu, tapi faktanya penceramah adalah deretan tukang obat yang kebetulan diperintah menghafal ayat-ayat dan terjemahannya, lalu diarahkan pada masyarakat muslim yang masih awam dengan cara memikat penampilan berjubah, berjidat dan berjenggot panjang, biar terkesan “ngarab” dan “ngislami”. Tapi sejatinya mereka tengah menggiring Islam menuju kebangkrutan menjadi agama artefak, disisakan menjadi peninggalan sejarah semata.
Deskripsi diatas adalah fakta yang tengah kita alami bersama, ada yang ditugasi live kajian yang asal fatwa, juga ada yang ditugasi untuk mendoktrin kalangan muda sebagai pengantin. Semua ini tengah terjadi di negara NKRI. Mereka mengusung wahabisme agenda utamanya merubuhkan prinsip dan jiwa kebangsaan kita, setelah itu memisahkan kita dengan kecintaan atas tanah airnya. Yang terakhir mereka berkuasa dan merubah negara. Maka yang terjadi ketika mereka berkuasa adalah membunuh ulama, membunuh ilmuwan, membunuh kaum intelektual untuk sebuah penaklukan atas nama paham wahabisme. Sudah itu memasuki kegelapan, dengan cirinya barbar, homo homini lupus.
Surosowan, 25/1/22
Oleh: Kiai Hamdan Suhaemi
Editor: Kang Diens