Sebuah artikel yang ditulis oleh seorang yang mengaku cendekiawan yang dimuat dibeberapa website dengan judul “Stop Rasisme Nasab”. Yang menurut penulis, isinya hanyalah pembelaan terhadap Ba Alwi dalam status mereka sebagai dzuriyah Nabi Muhammad SAW dan menyudutkan kelompok yang meneliti yakni KH Imaduddin Utsman yang mempertanyakan secara data ilmiah (pustakan dan DNA) akan keshahihan nasab Ba Alwi yang selama ini dipublikasikan sebagai nasab yang paling shahih sedunia. Sebagaimana klaim ini diwariskan secara turun menurun semenjak ratusan tahun yang lalu.
Beberapa bulan lalu, beliau telah menuliskan artikel yang panjang dan berupaya untuk menyudahi konflik nasab Ba Alwi, meskipun upayanya itu gagal dan tidak membawa efek apapun. Karena tulisannya sama sekali tidak menyentuh substansi yang dibicarakan oleh KH Imaduddin dan terkesan “memaksakan” orang lain agar mempercayai nasab Ba Alwi sebagai dzuriyah Nabi Muhammad SAW. Dan tulisan itu juga sudah penulis sanggah, meskipun sampai saat ini tidak ada reaksi dan sanggahan lagi sedikitpun.
Poin-poin dari artikel yang berjudul judul “Stop Rasisme Nasab” tersebut ialah:
Pertama: Ukuran kebenaran adalah banyaknya pengikut.
Ia bercerita bahwa di Malang, ada acara haul seorang habib yang dihadiri oleh ribuan orang, yang tentunya salah satunya ialah Ia sendiri. Kemudian berkesimpulan, polemik nasab yang berlangsung hampir satu tahun ini tidak ada pengaruh sedikitpun kepada masyarakat. Apa benar demikian? Benarkah bahwa barometer kebenaran adalah banyaknya pengikut?, kala Fir’aun yang sangat banyak pengikutnya maka ia merupakan pemegang kebenaran? tentu ini adalah logika yang tidak tepat dan tidak benar. Beliau pun pasti tahu tentang sebuah maqolah “Para ulamanya umat Nabi Muhammad SAW itu seperti para nabi Bani Isroil”. Memangnya jumlah keseluruhan Bani Israil saat itu berapa sampai segitu banyak nabinya?. Dan pengikut dari masing-masing nabi terdahulu berapa banyak? tentu Ia sudah tahu jawabannya.
Jika statemennya di atas benar, dan tidak memiliki pengaruh apa-apa di masyarakat, lalu kenapa beberapa PCNU di Jawa Barat dan Jawa Tengah, seperti: PCNU se-Solo Raya yang mencakup beberapa kabupaten-kota, PCNU Wonogiri, dan PCNU Garut malah meyakini Ba Alwi bukan sebagai keturunan Nabi Muhammad dan justru mendukung kajian ilmiah KH Imaduddin tentang nasab Ba Alwi?, atau jangan-jangan beliau tidak mendengar informasi tersebut?
Kedua: Tuduhan banyaknya pemotongan teks kutipan dan interpretasi yang salah, sehingga analisa berpikirnya pun menjadi salah.
Jika tuduhan itu benar, tinggal disampaikan saja ke publik. Kami warga NU yang tidak tahu apa-apa jika dibandingkan dengan seorang Kiai yang menjadi pejabat Ketua Bidang Keagamaan tentu pengetahuannya sangat luas dan bijak. Tapi, kami tahu bahwa setiap tuduhan harus mendatangkan bukti, jika tuduhan tidak disertai dengan bukti, maka itu hanyalah tuduhan kosong belaka. Seperti Ba Alwi yang mengaku-ngaku sebagai keturunan Nabi Muhammad, harusnya mereka yang mendatangkan bukti kedzuriyatan mereka, bukan sebaliknya menuntut orang lain untuk mendatangkan bukti ulama mana yang telah membatalkan nasab Ba Alwi. Penulis rasa ini adalah logika sederhana yang mudah dipahami oleh masyarakat awam seperti penulis, dan beliau pasti sangat memahami ini.
Ketiga: bersandar kepada kitab yang tidak sedang membahas anak-anaknya Ahmad bin Isa, dan menggunakan kitab-kitab yang tidak relevan dan asal comot.
Lagi-lagi ini adalah tuduhan yang tidak berdasar. Tapi bolehlah saya melontarkan pertanyaan kepadanya, sebutkan nama kitab yang secara khusus membahas anak-anak Ahmad bin Isa, penulisnya siapa dan ditulis tahun berapa?, penulis sangat memerlukannya. Namun jangan sampai menyebut nama-nama kitab di abad ke-9, 10, bahkan 14 H, karena masyarakat sudah mulai mengetahui bagaimana polesan-polesan dan rajutan-rajutan sejarah yang dilakukan oleh para sejarawan Ba Alwi atau Muhibin mereka. Atau jangan-jangan Ia pun belum membacanya?
Keempat: menolak kitab sezaman dalam pengitsbatan nasab, dan jika kaidah itu digunakan maka nasab Syekh Abdul Qodir pun akan batal
Jika tidak sependapat dengan teori kitab sezaman, maka itu hak bapak. Tapi jangan kemudian mengahalang-halangi orang lain untuk menggunakan teori itu. Teori itu sudah dijelaskan oleh para ulama-ulama nasab, dan saya yakin beliau belum membacanya, atau sengaja tidak membacanya. Padahal sudah dijelaskan di dalam tulisan penulis sebelumnya.
Jika merunut sejarah tokoh-tokoh Ba Alwi, seperti: Muhammad bin Ali “Shohib Mirbath”, ia tokoh historis atau tokoh fiktif?. Penulis tidak menemukannya di dalam buku-buku sejarah eksternal Ba Alwi di masanya, padahal beliau itu seorang imam, tokoh pertama penyebar madzhab syafi’i di kota Mirbath, kok penulis tidak menemukannya, malah penulis temukan nama yang sama dengan laqob yang berbeda, yaitu: Muhammad bin Ali al Qol’i. Dan jika ditelaah kitab-kitab sejarah Baalwi, al-Qol’i malah berguru kepada Muhammad Shohib Mirbath. Padahal sebelum kedatangan Muhammad al-Qol’i, kota Mirbath dikenal sebagai kota yang penduduknya bukan orang yang terpelajar, jangankan menjadi orang yang terpelajar, mengetahui dasar-dasar agama saja tidak. Jadi kitab-kitab sejarah Baalawi mengambil sumber dari mana bahwa Muhammad Shohib Mirbath adalah gurunya al Qol’i? atau hanya rajutan dan tenunan yang dilakukan oleh sejarawan-sejarawan Ba Alwi, khususnya dari kalangan Ba Alwi kontemporer?.
Adapun nasab Syekh Abdul Qodir al Jailani yang ditolak oleh Ibnu Anibah, itu bukan karena konsekwensi dari persyaratan kitab sezaman, tetapi karena ada “sesuatu” antara Ibnu Inabah dengan Syekh Abdul Qodir, yang penjelasannya dapat kita bisa buka di komentar Syekh Abdurrahman Majid al Qoroja atas kitab Umdatut Tholib.
Jadi jangan mengada-ngada, dengan tuduhan “kitab sezaman” adalah bikinan KH Imaduddin Utsman, jangan dong pak, karena barangkali bapak yang ngopinya kurang kental.
Kelima: keturunan wali songo tidak pernah dicatat
Terkait hal ini sebetulnya dapat dikonfirmasikan ke masing-masing dzuriyah Wali Songo. Tanyakan saja kepada mereka punya catatan atau tidak. Jangan kemudian ketika yang dipertanyakan data ilmiah nasab Ba Alwi, lalu direspon malah dengan cara menyerang dzuriyah Wali Songo. Bantu dulu Ba Alwi untuk menjawab 12 pertanyaan KH Imaduddin yang sampai saat ini belum terjawab.
Keenam: yang menentang pandangan KH Imad pasti salah, meskipun Rais Aam PBNU
Kesimpulan ini juga salah, tidak sesuai dengan kenyataan. Kami berbicara tentang data, kitab-kitab sejarah, nasab, baik internal atau eksternal, bahkan yang manuskrip pun kami telaah. Namun dari sekian banyak kitab yang ditelaah, kami justru menemukan data nasab Ba Alwi semakin rancu dan semakin gelap. Kami menduga bahwa hal yang seperti ini juga dilakukan oleh Rais Aam. Ternyata dugaan ini salah, apakah sekelas Beliau tidak melakukan hal yang sama, sehingga berstatemen: “(Imam) Ubaidillah difitnah”, berarti orang-orang yang selama ini mencari kebenaran tentang nasab Ba Alwi dianggap para pelaku fitnah?.
Padahal kami sudah menggali banyak data, tapi hanya membuahkan “tuduhan fitnah”. Tentu hal ini sangat menyayat hati, seakan tidak dihargainya keilmuan, pengetahuan, dan sebuah sikap yang tidak mencerminkan sikap yang seharusnya. Maka wajar jika sekelas Rais Aam pun mendapatkan reaksi dari sana-sini, yang di antaranya adalah dari penulis sendiri. Takkan ada reaksi jika tidak ada aksi, meskipun itu dari Rais Aam, atau seorang ketua.
Oleh: Abdul Aziz Jazuli, Lc, MH.
Ponpes TQN Al Mubarok Cinangka, Serang, Banten
RESIKO PERNIKAHAN SEDARAH DARI KLAN HABIB BA’ALWI DITINJAU DARI SISI GENETIKA
"Saya seorang Muslim dan agama saya membuat saya menentang segala bentuk rasisme. Itu membuat saya tidak menilai pria mana pun...
Read more