Oleh: Kyai M. Hamdan Suhaemi
Belakangan ini timbul respon atas maraknya sikap beragama kalangan tertentu ( artis, musisi dan tokoh publik ) yang menampilkan kebaruan beragama, berdasarkan perspektif hijrah. Kebaruan beragama, seperti keinginan mereka hidup sesuai syariat Islam zaman Rosulullah S.A.W hidup. Kembali ke Qur’an dan hadits, adalah jargon fundamental dalam menghadirkan Islam sebagai yang kaku dan keras. Prinsip pemurnian tauhid, bagi kalangan mereka adalah menjalankan agama seratus persen seperti zaman Nabi masih hidup, konsistensi atas syariat yang sudah jelas dalilnya, sebab pandangan kelompok Wahabi bahwa agama dasarnya dalil dan prilaku sang Rosul.
Dalam catatan atas perilaku-perilaku beragama macam itu, saya menangkapnya adalah kedangkalan paham agama, dan kekeliruan epistemologis ketika memahami agama harus seperti saat Rosulullah S.A.W hidup. Padahal hidup tetap mengikuti perkembangan zaman, beriringan dengan mengamalkan ajaran agama. Lalu dimana letak terpisahnya antar keduanya itu? Kita sholat apakah tidak sama dengan sholatnya Rosulullah, padahal sholat kita berdasarkan ilmu dan paham akan syarat-syarat dan rukunnya. Kita menjalankan syari’at Islam sudah pasti sesuai tuntutan Rosulullah S.A.W, lalu dimankah letaknya kita harus kembali ke Qur’an dan hadits, dan pada posisi apakah kita harus seperti zamannya beliau hidup ?.
Apakah lupa, ketika Rasulullah SAW memasuki kota Yatsrib disambut musik rebana, dan beliau tidak melarangnya setelah penyambutan itu. Bukankah pula suku-suku Badui di jazirah Arab gemar berdendang dengan syair-syair Arabnya dan beliau tidak pernah pula mengharam-haramkannya.
Bukankah musik bisa mempengaruhi jiwa kita tenang, terhibur, dan juga mampu menimbulkan gairah hidup. Jikapun ada musik yang lirik dan nadanya mengarah pada maksiat tentu kita tidak menghukumi semua musik jadi haram. Itupun kalau dampaknya orang berbuat maksiat itu tidak lebih karena perbuatan orangnya yang memasukan unsur birahi atas lirik lagunya. Keumuman sesuatu tidak bisa digugurkan oleh yang khusus.
ما لا يدرك كله لا يترك كله
Artinya : Sesuatu yang tidak bisa dilakukan seluruhnya janganlah ditinggal seluruhnya.
Dalam kaidah fiqih dikenal sebuah kaidah
الأصل بقاء ما كان على ما كان
Artinya : hukum asal sesuatu bergantung pada permulaannya.
Rasulullah SAW membuka tirai sambil berkata:
دَعْهُمَا يَا أَبَا بَكْرٍ فَإِنَّ لِكُلِّ قَوْمٍ عِيْدًا وَهَذَا عِيْدُنَا
Artinya: “Biarkan mereka berdua, wahai Abu Bakar! (karena) masing-masing kaum memiliki hari raya, dan ini adalah hari raya kita (HR. Bukhari dan Muslim).
Syamsyuddin Asy Syarbini mengatakan:
الْمَعَازِفُ آلَاتُ اللَّهْوِ، وَمِنْ الْمَعَازِفِ الرَّبَابُ وَالْجُنْكُ (لَا) اسْتِعْمَالُ (يَرَاعٍ) وَهُوَ الشَّبَّابَةُ، سُمِّيَتْ بِذَلِكَ لِخُلُوِّ جَوْفِهَا، فَلَا تَحْرُمُ (فِي الْأَصَحِّ) ؛ لِأَنَّهُ يُنَشِّطُ عَلَى السَّيْرِ فِي السَّفَرِ (قُلْت: الْأَصَحُّ تَحْرِيمُهُ، وَاَللَّهُ أَعْلَمُ) كَمَا صَحَّحَهُ الْبَغَوِيّ وَهُوَ مُقْتَضَى كَلَامِ الْجُمْهُورِ وَتَرْجِيحُ الْأَوَّلِ تَبِعَ فِيهِ الرَّافِعِيُّ الْغَزَالِيَّ
Artinya : Al Ma’azif adalah alat musik. Contohnya adalah ribab, hunuk, syababah (klarinet), dinamakan demikian karena bolong bagian dalamnya. Hukumnya tidak haram karena ia bisa membuat semangat ketika perjalanan dalam safar. [An Nawawi mengatakan: yang sahih hukumnya haram, wallahu a’lam] sebagaimana juga dipilih oleh Al Baghawi dan ini juga merupakan pendapat jumhur (ulama Syafi’i). Namun yang tepat adalah pendapat pertama, dan ini juga dipilih oleh Ar Rafi’i dan Al Ghazali.
Imam al-Ghozali tegas memfatwakan hukum musik.
اعلم أن قول القائل السماع حرام معناه أن الله تعالى يعاقب عليه وهذا أمر لا يعرف بمجرد العقل بل بالسمع ومعرفة الشرعيات محصورة في النص أو القياس على المنصوص وأعنى بالنص ما أظهره صلى الله عليه و سلم بقوله أو فعله وبالقياس المعنى المفهوم من ألفاظه وأفعاله فإن لم يكن فيه نص ولم يستقم فيه قياس على منصوص بطل القول بتحريمه وبقى فعلا لا حرج فيه كسائر المباحات .
Artinya : Ketahuilah, pendapat yang mengatakan ” kegiatan mendengar (nyanyian, bunyi, atau musik) itu haram ” mesti dipahami bahwa Allah akan menyiksa seseorang atas aktivitas tersebut. Hukum seperti ini tidak bisa diketahui hanya berdasarkan aqli semata, tetapi harus berdasarkan naqli. Jalan mengetahui hukum-hukum syara‘ (agama), terbatas pada nash dan qiyas terhadap nash. Yang saya maksud dengan nash adalah apa yang dijelaskan oleh Rasulullah SAW melalui ucapan dan perbuatannya. Sementara yang saya maksud dengan qiyas adalah pengertian secara analogis yang dipahami dari ucapan dan perbuatan Rasulullah itu sendiri. Jika tidak ada satu pun nash dan argumentasi qiyas terhadap nash pada masalah mendengarkan nyanyian atau musik ini, maka batal pendapat yang mengaharamkannya. Artinya, mendengarkan nyanyian atau musik itu tetap sebagai aktivitas yang tidak bernilai dosa, sama halnya dengan aktivitas mubah yang lain. (Lihat Abu Hamid Al-Ghazali, Ihya Ulumiddin, Mesir, Musthafa Al-Babi Al-Halabi, tahun 1358 H/1939 H, Juz 2, Halaman 268).
Syaikh Mahmud Syaltut, mantan pemimpin tertinggi al-Azhar Mesir, dalam fatwanya menegaskan bahwa para ahli hukum Islam telah sepakat tentang bolehnya nyanyian guna membangkitkan kerinduan melaksanakan haji, semangat bertempur, serta dalam peristiwa-peristiwa gembira, seperti lebaran, perkawinan, dan sebagainya. Adapun selain itu, memang diperselisihkan. Tetapi semua alasan untuk melarangnya selama tidak menimbulkan dampak negatif tidak dapat dibenarkan.
Terkait hukum musik, masih khilafiyah. Ada yang mengharamkan, ada yang menghukumi makruh, juga ada yang menghukumi mubah (boleh). Intinya musik tidak membawa seseorang berbuat dosa dan maksiat maka selama itu dihukumi mubah. Tapi sebaliknya menjadi haram jika alat dan lagunya menjadi pengantar seseorang berbuat dosa.
Peradaban kita adalah peradaban modern, sudah barang tentu bersikap agama tetap berpegang teguh pada aqidah yang lurus, syari’at yang benar, berakhlak yang baik. Menjadi muslim tidaklah dipersempit oleh khilafiyahnya soal-soal furu’iyah, tetapi juga kepatuhan atas hukum sesuatu karena didasari fatwa yang lebih mu’tamad atau yang lebih shoheh.
Dengan demikian, hidup di era kemodernan adalah juga kekhusyukan dan kemudahan seorang muslim menjalankan ajaran agamanya, tanpa perlu ada perilaku-perilaku beragama yang mendasarkan pada kebaruan beragama hanya berkedok ingin hidup seperti di zaman Rasulullah SAW.
Serang 12-9-21
Wakil Ketua PW GP Ansor Banten
Ketua PW Rijalul Ansor Banten