Oleh: Rumail Abbas
Orang besar membicarakan gagasan, sedangkan orang kerdil membicarakan orang. Pepatah ini langsung terlintas di kepala saya ketika membaca dengan tuntas catatan KRT. Faqih Wirahadiningrat yang berjudul “Nasib Tragis Ba Alawi di Nusantara Dan Pemetaan Para Pendukungnya (Termasuk Gus Rumail Abas)”.
Kenapa?
Karena saya tidak melihat tulisan seorang intelektual yang berpikir ilman bi ‘ilmin, ‘aqlan bi ‘aqlin (ilmu dibalas ilmu, akal dibalas akal). Isinya tidak membicarakan gagasan saya, tapi justru membicarakan saya.
Tulisan itu, paling sedikit, terdiri dari 40 paragraf. Ada 15 paragraf yang membicarakan saya, tapi kelima belas paragraf itu tidak ada satupun yang membicarakan sanggahan yang saya susun, tapi justru membicarakan saya.
Saya berharap tulisan itu bernada seperti ini…
“Argumen Rumail Abbas tentang A, B, dan C itu keliru besar berdasarkan D, E, dan F. Nah, dasarku menyalahkan argumen ini ialah buku atau kitab yang berjudul…”
Tapi ternyata, yang saya dapatkan malah nada-nada sumbing…
“Rumail Abbas ini… Rumail Abbas itu… Rumail Abbas mengaku bahwa…”
Untuk menjawabnya, izinkan saya menyusun tiga sanggahan berikut ini.
Sanggahan Pertama: Pembatalan Genealogi oleh Kiai Imaduddin
Jika Anda dituduh mencuri, maka seorang detektif menggelar identifikasi materiil terlebih dahulu sebelum membenarkan atau menyalahkan tuduhan tersebut, untuk menakar: seberapa sahih tuduhan itu berdasarkan bayyinah (bukti) yang ia ajukan?
Prinsip seperti ini berlaku umum dalam pembuktian tindak kriminal apapun, bahkan fikih membenarkannya sesuai kaidah: al-bayyinatu lil-mudda’i wal-yamin ‘ala man ankara (bukti wajib dihadirkan oleh penggugat, dan sumpah menjadi hak tergugat).
Kiai Imaduddin menuduh genealogi Baalawi tidak sahih, hingga akhirnya dalam buku kedua (edisi revisi) berkesimpulan pada pembatalan silsilah Baalwi sebagai keturunan Kanjeng Nabi. Saya, yang macak sebagai detektif ini, melakukan hal yang sama: menakar seberapa sahih bayyinah yang Kiai Imaduddin ajukan jauh sebelum membenarkan atau menyalahkan tuduhan itu.
Apa yang netizen saksikan pada 12 video yang saya unggah di Pamitnya Ngantor dalam pembahasan nasab, seutuhnya dan sepenuhnya adalah ikhtiar macak detektif tadi, yang menakar seberapa sahih bayyinah yang Kiai Imaduddin susun.
Jika dihitung, bayyinah yang disusun Kiai Imaduddin ada 12 macam. Saya sanggah dengan 12 macam bantahan (namun hanya enam yang baru saya produksi). Saya urutkan secara singkat berikut ini:
Bayyinah-1: Ubaidillah ialah akal-akalan Ali Al-Sakran
Lewat uji materiil, dengan membandingkan turats dari kitab sezaman dan yang lebih tua dari Ali Al-Sakran, saya menemukan bahwa Ali Al-Sakran hanya tokoh yang memberikan alasan “kenapa Abdullah ibn Ahmad Al-Muhajir lebih suka dipanggil Ubaidillah”.
Seingat saya ada lima macam bukti historis berbentuk kitab (baik mathbu’ atau makhthuth) yang menyangkal bahwa Ubaidillah adalah karang-karangan Ali Al-Sakran.
Kenapa?
Kelima bukti historis itu sezaman dengan Ali Al-Sakran dan tidak berkorespondensi dengannya (untuk sebuah kompromi). Bahkan Al-Jauhar Al-Syafaf (manuskrip) ditulis Al-Khatib pada tahun 820 H., dimana Ali Al-Sakran masih berumur dua tahun (lahir: 818 H). Apakah mungkin seorang tokoh mengutip anak yang masih menyusui untuk menyusun argumen di dalam bukunya?
Tepat di sini saya melihat kecerobohan Kiai Imaduddin.
Bayyinah-2: Abu Alwi sekarang bukanlah Abu Alwi zaman dulu (sehingga Baalawi zaman dulu bukanlah Baalawi zaman sekarang)
Kiai Imaduddin memusatkan argumennya pada kesimpulan tersebut hanya berdasarkan satu kitab tunggal berjudul An-Nafhah Al-‘Anbariyah. Dan memang benar tertulis Abu Alwi adalah keturunan Bin Jadid di sana, sehingga Kiai Imaduddin tidak bisa disalahkan.
Hanyasaja, kesimpulan ini masih sangat sempoyongan. Apa buktinya?
Ketika memiliki modal untuk membeli manuskrip (sumber primer) An-Nafhah Al-Anbariyah, dari yang paling muda hingga yang paling tua, saya mendapati bahwa ada saqt naskh (kekeliruan tulis, typo) yang dilakukan oleh seorang nusakh (penyalin naskah).
Hal yang sama terjadi pada Kiai Imaduddin ketika dikirimi manuskrip berjudul Kasyf Al-Ghain yang menjelaskan bahwa Abu Jadid merupakan keturunan dari Musa Al-Kadzim. Dengan bangga Kiai Imaduddin menyampaikannya ulang sewaktu podcast di PadasukaTV.
Karena telah memiliki modal untuk belanja manuskrip yang beragam edisi, meski judulnya sama, saya mendapati saqt naskh: yang benar ialah Abu Hidyal (ابو حديل), bukan Abu Jadid (ابو حديد). Tidak hanya itu, seharusnya kabilah yang menjadi keturunannya ialah Bani Al-Qushar (القصار), bukan Bani Al-‘Ishar (العصار), begitupun yang benar ialah Bani Al-‘Ahdi (العهدي), bukan Bani Al-Mahdi (المهدي).
Sekilas, dalam bentuk tulisan tangan (khath, oleh karenanya disebut makhthuth [manuskrip]), kata-kata di atas sangat mirip. Perlu kejelian seorang muhaqqiq untuk melacaknya. Dan saya tidak menemukan kejelian itu di diri Kiai Imaduddin.
Bayyinah-3: Al-Syajarah Al-Mubarokah
Bermodal manual dari kitab nasab, bahwa jumlah ‘ismiyah yang mengandung ‘adad (angka) itu berfaidah hashr (spesifik itu-itu saja, dan bersifat), Kiai Imaduddin tidak menerima Ubaidillah karena dalam Al-Syajarah Al-Mubarokah hanya menyebutkan anak Ahmad Al-Muhajir hanya tiga saja: Muhammad, Husain, dan Ali.
Hashr, ya, hashr. Jika disebutkan tiga saja anaknya, maka nama lain tidak bisa diterima secara ilmiah.
Benarkah demikian? Menurut Kiai Imad, memang hashr, namun bagi saya: tidak!
Inilah buktinya:
Muhammad bin Ahmad Al-Muhajir, dalam Al-Syajarah Al-Mubarokah, anaknya hanya satu (memakai jumlah ismi’ah dan mengandung ‘adad). Namun jika Anda komparasi dengan kitab sezaman Al-Syajarah dan kitab yang lebih tua, Muhammad bin Ahmad Al-Muhajir punya tiga anak: Muhammad, Husain, dan Ali.
Ali bin Muhammad bin Ahmad Al-Muhajir inipun dalam Al-Syajarah memiliki satu anak bernama Ali (memakai jumlah ismi’ah dan mengandung ‘adad, bahkan memakai khobar muqoddam yang secara gramatikal sudah memenuhi hashr). Namun jika Anda komparasi dengan kitab sezaman Al-Syajarah dan kitab yang lebih tua, Ali bin Muhammad bin Ahmad Al-Muhajir ternyata memiliki dua anak: Muhammad dan Ali.
Muhammad An-Naqib disebutkan Al-Syajarah memiliki tujuh orang anak (memakai jumlah ismi’ah dan mengandung ‘adad). Namun jika Anda komparasi dengan cara yang sama, ternyata anaknya berjumlah sembilan orang. Itupun, daftar nama dari Al-Syajarah ada yang berbeda dengan kitab yang lebih tua.
Silakan Anda melakukan hal yang sama, yaitu mengambil nama-nama di dalam Al-Syajarah secara acak, kemudian komparasikan dengan kitab sezaman dan yang lebih tua.
Saya menjamin akan banyak redaksi yang bertentangan antara hashr dengan redaksi kitab yang lebih tua, tidak hanya jumlahnya saja yang “bermasalah”, namun nama dan lokasi mereka tinggal pun sama.
Sekadar contoh: ada Asyrof yang ditulis Al-Syajarah tinggal di Hamedan, namun pada kitab yang lebih tua dan sezaman, Asyrof ini diinformasikan tinggal (dan wafat) di Roy. Silakan cek Google Maps, dan lihat betapa jauhnya kilometer jarak kedua wilayah itu.
Untuk hal ini saya memakai kaidah:
Idza waroda al-ihtimal saqatha bihi al-istidlal (jika mengandung kerancuan, maka tidak bisa dijadikan argumen).
Dan ternyata, manual di atas tidak berlaku hashr, dan tidak final. Tepat di sini saya tidak melihat adanya ketelitian dari Kiai Imaduddin.
Bayyinah-4: Sensus Dinasti Rasuli
Kitab yang ditulis oleh Raja Dinasti Rasuli ini berjudul Thurfat Al-Ashab, bagi Kiai Imaduddin (dan KRT. Faqih Wirahadiningrat) adalah “kitab sensus”. Di dalam kitab itu, tidak ada satupun nama Baalawi yang ditulis.
Jika sensus saja tidak mencatat Baalawi di Yaman, artinya mereka memang kabilah fiktif dan ahistoris. Demikian kesimpulan singkat dari pembacaan Thurfat Al-Ashab.
Apakah benar demikian?
Pada mukadimah kitab tersebut, penulis menjelaskan bahwa Thurfat Al-Ashab hanyalah mukhtashor. Terjemahan mudah kata ini: kitab ini hanyalah ringkasan.
Kenapa kitab ringkasan disebut sensus?
Kemudian, pada baris berikutnya, penulis menjelaskan bahwa Thurfat Al-Ashab menulis para pembesar dari Asyraf (keturunan Imam Ali) dan A’rab (non-Sadah). Itupun, diberikan qayyid (batasan) bahwa yang ditulis, dari kedua golongan ini, hanyalah mereka yang dikenal memiliki pengabdian kepada Dinasti Rasuli.
Artinya, kitab ini seperti direktori nama-nama pegawai Disdikpora, namun dipakai Kiai Imaduddin untuk mencari nama Wahyudi yang punya profesi sebagai pedagang kain di Pasar Kalinyamatan.
Jika Anda membaca kitab yang dikira Kiai Imaduddin sebagai kitab sensus, nama yang ditulis tidaklah banyak. Dan jika Kiai Imaduddin membacanya dengan sedikit lebih tenang, ada fakta menarik: ternyata, tidak ada satupun keturunan Imam Husain (cucu Rasulullah Saw.) yang ditulis di dalam kitab itu.
Artinya lagi, Baalawi (yang menurut klaim ialah Husaini) sangat logis tidak akan ditemukan di dalam “kitab sensus” itu, karena yang ditulis di sana tidak ada satupun Husaini.
Kiai Imaduddin sedang mengambil kuah sayur sup, tapi yang dipakai adalah garpu. Selain ini konyol, hal seperti cukup aneh, kan?
Bayyinah-5: Al-Jauhar Al-Syafaf
Menurut Kiai Imaduddin, manuskrip Al-Jauhar Al-Syafar cukup bermasalah. Penulisnya pun dikenal sebagai murid atau teman dari ayah atau kakek Ali Al-Sakran. Karena pertemanan atau status guru-murid, maka ada kemungkinan terjadi komprimi antara Al-Khotib dengan Baalawi.
Al-Khotib, tepat di sini, dianggap tidak obyektif dalam naskahnya.
Detektif macam saya akan menanyakan Kiai Imad berbagai macam petunjuk bahwa Al-Khotib benar-benar berkompromi dengan Baalawi supaya tuduhan itu masuk akal dan bisa dibenarkan.
Oke, alasan guru-murid akan menjadi perhitungan obyektifitas seseorang. Namun apa buktinya bahwa Al-Khotib bersepakat dengan Baalawi untuk menipu orang banyak bahwa mereka sebagai Syarif-Husaini?
Pada Sunan Turmudzi tahun 575 H., terkonfirmasi bahwa Baalawi yang mendapatkan ijazah adalah Syarif-Husaini. Pada 606 H. (sezaman dengan Al-Syajarah, jika benar ditulis oleh Fakhruddin Al-Razi yang Sunni), terkonfirmasi Bin Jadid adalah Syarif-Husaini.
Kata Syarif-Husaini, bagi orang awam, tidak akan berarti apa-apa. Namun bagi seorang detektif, sangatlah berarti. Kata yang sama ialah “Tubagus” yang sering didengar orang. Penjelasan sederhananya begini:
Jika Anda bertemu orang bernama Tubagus Imam Ibrahim, sekadar contoh, bagi orang awam tidak akan berarti apa-apa. Namun jika orang yang bertemu dengannya adalah saya, maka saya bisa mengidentifikasi bahwa Imam Ibrahim adalah: seorang bangsawan dari Banten (1) yang memiliki genealogi mulia kesultanan (2) dan merupakan keturunan Sultan Maulana Hasanudin (3).
Begitupun Syarif-Husaini, ketika dinisbatkan kepada Fulan Baalawi dan Fulan Bin Jadid akan memiliki arti jika jatuh di penglihatan orang yang cukup teliti, bahwa: “syarif” adalah atribusi untuk seseorang yang merupakan keturunan Imam Ali lewat istrinya Sayidah Fatimah, dan “husaini” adalah qayyid dari Sayidina Husain yang merupakan anak biologis keduanya.
Jika alasan guru-murid membuat seseorang tidak obyektif, maka perlu dalil yang lebih dari itu untuk membuktikan bahwa guru-murid ini menyusun sebuah penipuan bahwa Baalawi adalah kerutunan Rasul jalur Husaini (Syarif-Husaini).
Untuk diketahui semua orang, penelitian ilmiah itu basisnya kausalitas, bukan korelatif. Penjelasan singkatnya begini:
Jika memakai logika korelatif, maka Borobudur bisa diyakini buatan Nabi Sulaiman karena ada tempat terdekat yang disebut Sleman (mirip seperti Sulaiman), dan Wanasaba adalah diambil dari nama Ratu Saba.
Logika korelatif ini dikenal dengan cocokologi, karena Sleman-Sulaiman dan Saba-Wanasaba memang cukup masuk mirip dan seolah-olah masuk akal. Sedangkan logika kausalitas dikenal dengan sebab-akibat; bahwa usia Borobudur tidaklah sezaman dengan Nabi Sulaiman bisa dibuktikan oleh sains-forensik dan manuskrip-manuskrip tua yang sezaman dengan Borobudur. Pengumpulan bukti yang bukan cocoklogi itulah yang menyebabkan adanya kesimpulan Borobudur bukanlah bikinan Nabi Sulaiman.
Guru-murid antara Bakhatib-Baalawi memang faktual, namun apakah hanya karena itu lantas mereka berkompromi? Apa bukti kausalitasnya? Sampai sekarang, Kiai Imaduddin tidak kunjung menjelaskannya secara sebab-akibat, hanya sambung-tali yang dirasa masuk akal.
Padahal, itu cocoklogi.
Seperti yang saya jelaskan, masih ada tujuh bayyinah Kiai Imaduddin yang belum saya jawab, dan tentu saja tidak bisa instan (saya bukan pengangguran yang menghabiskan waktu membahas nasab, apalagi ini nasab orang lain). Untuk bukti sezaman, konfirmasi dari niqobah internasional, ketersambungan Baalawi Faqihil Muqoddam dengan Walisongo Ammul Faqih, memang belum saya hadirkan karena on-going.
Namun, meski tahu ada sanggahan seperti di atas dan tak kunjung menjawab itu, publik digeser kepada isu perampokan makam, tes DNA, sikap-sikap Baalawi yang arogan, dan pemalsuan sejarah oleh Baalawi (yang kesemuanya itu perlu validasi).
Ditambah, saat melihat pendukung Kiai Imaduddin tidak menyinggung sekalipun sanggahan saya, malah justru membahas tentang saya, kabilah saya, sponsor saya, atau fisik saya, batin saya langsung bergumam: “gini amat kualitas pendukung Kiai Imaduddin?”
Sanggahan Kedua: Pertemuan di Plered dan UIN Ciputat
Disclaimer: apa yang akan Anda baca akan sangat personal!
Mas Sugeng dan saya sudah kenal sejak lama, jauh sebelum nama Kiai Imaduddin muncul di permukaan media sosial sejak November 2022. Kami kenal baik di Twitter (sekarang: X), dan sering berbagi ide (bahkan saling bantah) di sana.
Orang yang menginisiasi saya untuk datang ke Plered, Sowan ke kediaman Gus Fuad, dan menemui Kiai Imaduddin di UIN Ciputat tidak lain ialah: Mas Sugeng.
Saat bertemu Gus Fuad (KRT Faqih ada di sana) dan Kiai Imaduddin, saya membocorkan profiling saya yang saaangat privat: Abah saya dari kabilah mana, Nenek saya dari kabilah mana, siapa yang mendanai penelitian saya, dan apa motif saya hingga keraya-raya melakukan penelitian sampai ke Jordania, Turki, Hadlramaut, dan Jeddah.
Saya menempuh pengakuan itu atas usulan Mas Sugeng yang mengira saya perlu menepis trust issue yang menjangkit Gus Fuad, Kiai Imaduddin, KRT. Faqih dan lainnya, bahwa saya adalah “lawan” bagi mereka.
“Saya kenal Rumail, dan dia orang yang bisa dipercaya.” Demikian rekomendasi Mas Sugeng yang perlu saya validasi dengan hadir di depan mereka semua.
Kehadiran saya didorong ketulusan bahwa peneliti yang haus untuk menjawab sebuah tesis itu jauh lebih tinggi nilainya daripada isu-isu miring yang tidak ada artinya. Saat Mas Sugeng nge-tag saya di Facebook, sambil membagikan foto saya bersama mereka, ia menulis status begini:
“Meskipun kami berbeda pemikiran, tapi kita tetap bersaudara.” Dan saya mengamininya sepenuh hati, karena jika Mas Sugeng adalah kawan saya maka ia sangat memahami itu.
Mas Sugeng, sama seperti saya, memiliki asas gentlemen’s agreement, semacam “kesepakatan antar lelaki” ketika berbagi rahasia akan ia simpan rapat-rapat. Jangankan memanfaatkan rahasia itu, sekadar membocorkannya saja tidak akan.
Namun, dari beberapa sanggahan, akhirnya hanya dua orang saja yang masih saya hormati karena tidak memanfaatkan informasi yang sangat personal ini: Mas Sugeng dan Gus Fuad.
Apa boleh bikin?
Kiai Imad, saat tahu saya adalah seorang Yamani (bukan Hadlrami, sehingga tidak bisa dikaitkan dengan Baalawi), ternyata dipakai untuk menginsinuasi imigran Yaman pada umumnya.
Begitupun KRT. Faqih, saat mengetahui siapa penyokong operasional saya (bukan Baalawi, sehingga tidak ada kaitannya dengan penelitian pesanan), justru menginsinuasi penelitian saya sebagai penelitian yang sarat politis (padahal, tidak demikian kontrak yang saya tanda tangani).
Bagi orang yang melihat dunia selalu serba transaksional, tentu akan aneh ketika melihat saya sebagai GUSDURian bisa datang ke kaum marjinal yang dipersekusi mayoritas (semisal: Ahmadiyah dan Syiah) tanpa sedikitpun diapresiasi dengan pembiayaan.
Bagi orang yang melihat dunia serba transaksional, tentu akan kaget jika tahun 2016 saya keraya-raya melakukan penelitian untuk peristiwa G30S bahwa ingatan tercecer dari korban pembantaian (dan pemenjaraan tanpa keadilan) akan mampu mengubah kemapanan sejarah Orde Baru bahwa PKI-lah satu-satunya biang kerok pemberontakan yang konyol itu.
Bagi orang yang melihat dunia serba transaksional, tentu akan kaget bahwa politisi yang mendanai saya adalah akademisi yang punya ketulusan untuk mendanai penelitian yang belum ada satupun Baalawi melakukannya, yaitu: melacak sumber sezaman Habaib!
Tentu saja ada reward yang harus saya “bayarkan”. Seorang investor tidak akan memberi makan siang gratis, bukan? Maka, reward yang saya berikan kepadanya sangatlah sederhana: buku.
Untuk apa buku itu? Untuk melengkapi kajian manuskrip dan sejarah yang belum lengkap di Indonesia, dan tema yang diusung hanyalah pelacakan Ubaidillah ibn Ahmad Al-Muhajir dari sudut pandang historis.
Simpel, kan?
Sanggahan Ketiga: Google Scholar
Saya tidak memiliki akun di Google Scholar, makanya Anda tidak akan mendapatinya. Kalaupun membikinnya, tentu tidak bisa diverifikasi karena saya tidak bekerja di lembaga akademik (butuh surel kampus untuk validasi).
Jangankan Google Scholar, bahkan “Rumail Abbas” saja bukanlah nama asli saya. Ia hanya nama pena yang saya pakai untuk menulis artikel & opini di beberapa portal dan koran cetak di masa-masa kuliah dulu.
Saya terinspirasi dengan Mas Saifin Nuha, tetangga saya di Jepara, yang menjadi artis di Ibu Kota dikenal dengan nama panggung “Alex Komang”. Atau Gus Mustofa Bisri yang semasa muda masih rajin menulis memakai nama pena “M. Ustov Abi Sri”.
Untuk Raden Faqih ketahui, saat menyimak presentasi Kiai Imaduddin di UIN Ciputat, saya tidak mendapati satupun temuan baru darinya. Makanya, saya tidak mengambil mikrofon. Saya lebih memilih menemui beliau langsung, seperti yang dijanjikan Mas Sugeng.
Sayangnya, saat bertemu di lantai dua, Kiai Imaduddin justru menyambut saya sebagai tamu dari jauh. Melihat situasinya tidak layak untuk saya ubah menjadi situasi tanya-jawab (apalagi saya cuma anak muda dan beliau ini kiai besar), saya pun mengikuti ritme Kiai Imaduddin (bukan mendominasi percakapan untuk berdebat).
Namun, KRT Faqih dan Kiai Imaduddin tidak perlu khawatir dengan kemampuan saya dalam membaca kitab, telaah historis, dan membaca SNP/SRT. Saya memiliki kredensi sebagai santri yang mondok di Kudus dan Sarang, menguasai Metodologi Penelitian Historis, punya bacaan sejarah yang relatif banyak, dan punya kredensi dalam statistik (saya pun profesional di sebuah perusahaan asing sebagai Back-End Developer) sehingga bisa membaca STR-SNP.
Kemampuan saya dalam berpikir ilmiah bisa Anda saksikan dari 12 video yang saya produksi di Pamitnya Ngantor untuk isu nasab: tidak ada satupun perkataan saya yang tidak berdasarkan kitab, referensi, maraji’, dan hipotesa yang runut.
Adakah kaidah ilmiah yang saya terjang dalam semua video itu? Kalau ada, silakan bicarakan gagasan saya, jangan malah membicarakan saya. Bukankah Kiai Imaduddin (dan KRT Faqih) mendeklarasikan diri sebagai putra-putri dalil yang akan berdiri di mana ia berada?
Dari kredensi dan preseden sebagai peneliti itulah saya berani menjawab perkataan Mas Sugeng:
“Bukumu tentang Ba’alawi akan jadi sampah kalau nanti DNA mereka yang mengaku emas (baca: Baalawi mengaku sebagai keturunan Rasul), ternyata terbukti hanyalah kuningan (baca: emas palsu).”
Untuk “gertakan” Mas Sugeng di atas, respon saya waktu itu (jika tidak salah ingat) ialah:
“Ilmu pengetahuan itu menerima falsifikasi (dikelirukan). Silakan Mas Sugeng menyelesaikan penelitiannya, saya pun akan menyelesaikan penelitian saya. Manakah yang akurat dan mendekati kebenaran, biar disidang dalam majelis akademik.”
Sejak awal saya bilang kepada Mas Sugeng bahwa genealogi (nasab) adalah fenomena biologis. Makanya, perlu diuji tentang tools biologis, seperti tes DNA. Akan tetapi, apakah FamilyTreeDNA dan yFull adalah layanan yang representatif untuk dipakai menguji fenomena biologis, antara saya dan Mas Sugeng memiliki perbedaan (akan saya buktikan kelak di Pamitnya Ngantor).
Di samping itu, karena genealogi dikisahkan lewat bukti-bukti historis (manuskrip dan catatan), maka pelacakan historis juga bisa dipakai. Inilah alasan sudut pandang historis saya terapkan dalam melacak Ubaidillah ibn Ahmad Al-Muhajir, dan ini sah secara akademik.
Terakhir, dengan tidak memiliki Google Scholar, saya memang layak diragukan sebagai peneliti atau membicarakan sejarah. Tapi saya punya preseden dan rekam jejak untuk tampil sebagai profesional. Jika Anda meragukan kemampuan saya membicarakan sejarah, kitab kuning, metodologi, dan statistik, silakan membuat majelis untuk membuktikan itu.
Tentukan saja tempat dan waktunya, insya Allah saya bersedia untuk didebat. Lagipula, “kabur” bukanlah nama tengah saya.
Salam,
Rumail Abbas