Oleh : K. Alwiyan Qosid Syam’un
(Pengasuh Pesantren Al-Khaeriyah Citangkil-Ketua PW Al Khaeriyah Banten)
“Tiada kemandirian tanpa Kedaulatan, Tiada Kedaulatan Tanpa Keberdayaan, Tiada Keberdayaan Tanpa Keberfihakan, Tiada Keberfihakan Tanpa Kepedulian”
Gagasan dan pemikiran Abahyai Prof. Dr. KH. Ma’ruf Amin terkait revitalisasi ekonomi kerakyatan cukup ideal, bahwa: “Membangun yang lemah itu bukan dengan melemahkan yang kuat, apalagi dengan membenturkan yang lemah dengan yang kuat. Membangun yang lemah itu dengan menguatkan yang lemah melalui kolaborasi kemitraan antara yang kuat dengan yang lemah. Sehingga output-nya adalah kesejahteraan dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat”.
Gagasan tersebut perlu di apresiasi positif dengan tindak lanjut yang strategis untuk menyusun suatu kebijakan strategis mengingat tantangan dan ancaman, potensi dan kendala serta peluang dan harapan pembangunan ekonomi pesantren dalam bingkai masa depan wajah ekonomi Indonesia dan wajah ekonomi global yang hingga hari ini wajahnya semakin menampakan wajah ketimpangan sosial sebagai konsekuensi logis praktik kapitalisme berselubung demokrasi.
Keadaan tersebut tak terhindarkan menuntut pesantren sebagai salah satu pelaku ekonomi kerakyatan atau akrifis organisasi yang menghimpun pesantren untuk mulai berbenah secara serius menapaki langkah strategis melakukan konsolidasi dengan berbagai fihak (terutama dengan pemerintah dan lintas pesantren) untuk merumuskan suatu rekayasa sosial ekonomi melalui politik hukum sebagai upaya pembangunan kemandirian ekonomi pesantren yang terstruktur dan sistematis, terkonsolidasi dan integral dari hulu (produksi) hingga ke hilir (pasar). Tak bisa diabaikan bahwa Kapitalisme merupakan ancaman nyata dan serius bagi eksistensi dan sustainability ekonomi kerakyatan dan pesantren.
Selain hukum, edukasi merupakan alat untuk melakukan suatu perubahan di masyarakat atau negara, terinspirasi dengan quote seorang pahlawan nasional asal Banten, Brigjen. KH. Syam’un :
“Membangun ummat itu tidak cukup dengan air kendi dan jampi-jampi, tapi harus dengan ilmu pengetahuan”. Quote tersebut perlu ditafsiri dengan penafsiran yang komprehensif dengan tidak mengabaikan penggambaran keadaan sosial masyarakat yang mengitarinya pada saat beliau berdakwah ditengah masyarakat yang masih bersentuhan dengan budaya klenik dan jampe-jampe, sehingga dapat disimpulkan latar belakang pemikiran dari quote tersebut merupakan bentuk negosiasi dan kompromi beliau dalam berdakwah dan dalam penyebaran ilmu pengetahuan tanpa harus konfrontasi yang frontal dengan masyarakat.
Ketika ilmu pengetahuan menyebar ditengah-tengah masyarakat, dengan sendirinya daya rasionalitas dan daya kritis sebagai wataknya ilmu pengetahuan akan sedikit demi sedikit menggusur eksistensi hal hal yang bersifat irasional dan perbuatan yang bertentangan dengan syari’at seperti syirik, bid’ah dan khuroofah.
Politik Hukum Pembangunan Ekonomi Pesantren
“Hukum itu bersifat independen dan diproyeksikan sebagai sarana rekayasa sosial untuk melakukan perubahan-perubahan di masyarakat” (Prof. Dr. Ahmad Tholabi Kharlie, 2009).
Sepanjang sejarah kebudayaan manusia, alat yang senantiasa strategis digunakan untuk melakukan suatu rekayasa sosial ( sosial engineering ) oleh para pembaharu dan penguasa politik dalam rangka perubahan sosial adalah “edukasi dan hukum”. Melalui pendekatan edukasi dan hukum, perubahan sosial akan lebih berkeadaban yang sekaligus bukti keberfihakan semua fihak dalam rangka kepeduliannya terhadap pesantren. Berharap perubahan dapat melahirkan kekuatan ekonomi baru dan masif berbasis pesantren yang menjelma menjadi wujud korporasi dalam rangka pembangunan pohon ekonomi Indonesia dari akarnya yang kokoh.
Dibelahan bumi manapun, ketika suatu negara berpedoman pada sistem demokrasi, maka equal before the law atau persamaan didalam hukum bagi setiap warga negara telah menjadi suatu keniscayaan, namun demikian, suatu produk hukum terkadang ditemukan tidak adil seperti misalnya hukum mempertemukan si lemah dan si kuat dalam ruang atau arena pertarungan ekonomi yang bebas atau bahkan tak berfihak kepada si lemah. Adil bukan berarti harus sama tapi lebih kepada proporsionalitas dan keberfihakan kepada yang lemah untuk tumbuh bersama dengan yang kuat. Tanpa keberfihakan negara kepada si lemah, maka sepanjang itu pula keberdayaan si lemah tak pernah bangkit.
Propinsi Banten, dengan potensi pasar yang melimpah berupa permintaan kebutuhan rumah tangga, industri, perkantoran dan lain lain yang terus meningkat seiring dengan pertumbuhan penduduk dan ruang usaha, dapat dijadikan instrumen alternatif dalam meningkatkan taraf pertumbuhan ekonomi masyarakat Banten jika terkelola dengan baik dan berfihak kepada pembangunan ekonomi kerakyatan dan pesantren, baik kepada aspek produksinya maupun kepada aspek pemasarannya.
Jangan kemudian pembinaan ekonomi kerakyatan dan pesantren dibidang produksi ramai ramai dan terus menerus dilakukan, baik oleh pemerintah maupun swasta namun pada akhirnya tak jarang sirkulasi dan distribusi hasil produksi sangat lambat ( pembinaan abang abang lambe ). Kemudian, aspek permodalan berupa pinjaman Bank memang diberikan kemudahan tapi pemasaran usaha kecil dipaksa harus bersaing dengan usaha ekonomi besar yang sudah eksis dan established menguasai pasar, yang pada akhirnya usaha kecil bangkrut dan menyisakan hutang Bank dengan segala resikonya, ini tidak adil.
“Oleh karenanya, melalui UU Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, khususnya pada pasal 50, dapat dijadikan sebagai salah satu landasan hukum normatif bagi Perda Propinsi Banten dan sekaligus sebagai terobosan baru pembangunan ekonomi kerakyatan. Peluang besar dalam membangun sinergi atau kolaborasi monopoli usaha antara usaha mikro dan usaha kecil milik pesantren dengan usaha besar dalam lingkup wilayah Propinsi Banten sangat mungkin untuk dilakukan. Singkatnya, hal hal yang dilarang didalam ketentuan undang undang tersebut yang dapat menimbulkan persaingan usaha tidak sehat dan praktik monopoli, menjadi boleh bagi pembangunan ekonomi kerakyatan khususnya ekonomi usaha kecil “.
Dengan postur usaha kecil milik pesantren yang memiliki kekayaan bersih Rp 50.000.000,- dengan maksimal yang dibutuhkannya mencapai Rp 500.000.000,-. Hasil penjualan bisnis setiap tahunnya antara Rp 300.000.000,- sampai paling banyak Rp 2.500.000.000,-, maka postur tersebut sangat cocok bagi pembangunan ekonomi pesantren yang progresif dan berkelanjutan.
Added value yang dapat diraih selain tumbuhnya ekonomi pesantren, juga penyerapan tenaga kerja dan masa depan ekonomi pesantren lebih kokoh dan menjanjikan. Dengan demikian, kemandirian ekonomi pesantren akan melahirkan kemandirian pendidikan yang berkualitas, tidak lagi “laa yamutu wala yahya, tidak bermutu karena tidak ada biaya”.
Wallahua’lam..