Serang, RMINU Banten
Membaca informasi terkait soal ramalan bahwa di tahun 2021 bakal ada pergantian Presiden RI. Kita, ini jadi sedikit kaget, kok tahun ini, bukankah nanti 2024 juga akan ada pergantian presiden?. Saya baca semacam ini adalah ramalan, jangkauan kejadian di masa yang akan datang. Tepat atau melesat, ya namanya juga meramal, ibarat lempar-lempar buah manggis.
Lantas, kenapa direspon hal mubadzir ini. Bukankah itu sekedar ramalan?. Betul di atas adalah terkait ramalan, betul bahwa yang diramal adalah kepala negara. Mungkin kurang kontroversial jika bukan nama presiden RI, reaksinya kalau bukan ke presiden Jokowi ya hanya angin semilir.
Tapi, ini lain. Yang ditarik adalah soal teologis, ramalan tersebut seoalah (asumsi) meniadakan irodat Gusti Allah. Memang Qadha (Jawa: pepasten) tidak bisa dirubah atau keubah. Tapi qodar, meski termasuk rukun iman dalam perspektif madzhab Ahli Sunnah Wal Jama’ah adalah takdir yang bisa berubah manakala ada iradah Allah. Sifat Qudrat-Nya Allah SWT selalu dibarengi sifat iradat-Nya.
مَا أَصَابَ مِنْ مُصِيبَةٍ فِي الْأَرْضِ وَلَا فِي أَنْفُسِكُمْ إِلَّا فِي كِتَابٍ مِنْ قَبْلِ أَنْ نَبْرَأَهَا ۚ إِنَّ ذَٰلِكَ عَلَى اللَّهِ يَسِيرٌ
“Setiap bencana yang menimpa di bumi dan yang menimpa dirimu sendiri, semuanya telah tertulis dalam kitab (Lauh Mahfudz) sebelum kami mewujudkannya. Sungguh, yang demikian itu mudah bagi Allah” (QS. Al-Hadid;22)
Usaha manusia atau hal yang dilakukan oleh manusia berupa sebuah tindakan yang rasional atau bahkan do’a yang manusia panjatkan kepada Allah semuanya sudah tertulis di lauh mahfudz. Jadi semua apa yang terjadi di dunia ini sudah Allah tuliskan meskipun sekecil zarah atau molekul. Dan tak ada kejadian sedikitpun yang tidak Allah ketahui dan Allah kehendaki.
وَقَالَ الَّذِينَ كَفَرُوا لَا تَأْتِينَا السَّاعَةُ ۖ قُلْ بَلَىٰ وَرَبِّي لَتَأْتِيَنَّكُمْ عَالِمِ الْغَيْبِ ۖ لَا يَعْزُبُ عَنْهُ مِثْقَالُ ذَرَّةٍ فِي السَّمَاوَاتِ وَلَا فِي الْأَرْضِ وَلَا أَصْغَرُ مِنْ ذَٰلِكَ وَلَا أَكْبَرُ إِلَّا فِي كِتَابٍ مُبِينٍ
“Tidak ada yangg tersembunyi bagi-Nya sekalipun seberat zarrah baik yang di langit maupun di bumi, yang lebih kecil dari itu atau yang lebih besar, semuanya tertulis dalam kitab yang jelas (lauh Mahfudz)
Jadi, bisakah manusia mengubah takdir dirinya sendiri? Jawabannya tidak ada, karena pertanyaan ini tidak bisa dijawab dengan iya ataupun tidak. Sehingga apabila ada seseorang manusia dengan sadar memilih untuk berusaha keras agar hidupnya yang miskin berubah menjadi kaya, sesungguhnya bukan karena dia yang merubahnya sendiri semuanya atas kehendak Allah SWT.
Adapun perihal pertama (qadha mubram), (peran) doa meskipun tidak dapat menghilangkan bala, tetapi Allah mendatangkan kelembutan-Nya untuk mereka yang berdoa. Misalnya, ketika Allah menentukan qadha mubram kepada seseorang, yaitu kecelakaan berupa tertimpa batu besar, ketika seseorang berdoa kepada Allah, maka kelembutan Allah datang kepadanya, yaitu batu besar yang jatuh menimpanya menjadi remuk berkeping-keping sehingga dirasakan olehnya sebagai butiran pasir saja yang jatuh menimpanya,” (Lihat Syekh M Ibrahim Al-Baijuri, Tuhfatul Murid ala Jauharatit Tauhid, [Indonesia, Daru Ihyail Kutubil Arabiyyah: tanpa catatan tahun] halaman 91).
Namun kita juga sering mendengar bahwa sedekah dapat mengubah bala yang ditakdirkan Allah, dalam kitab karangan Syeikh M. Ibrahim Bajuri juga mengatakan bahwa:
والدعاء ينفع مما نزل ومما لم ينزل وإن البلاء لينزل ويتلقاه الدعاء فيتعالجان إلى يوم القيامة. والدعاء ينفع في القضاء المبرم والقضاء المعلق. أما الثانى فلا استحالة في رفع ما علق رفعه منه على الدعاء ولا في نزول ما علق نزوله منه على الدعاء
Artinya : Doa bermanfaat terhadap apa yang datang dan apa yang belum datang (dari langit). Bala pun akan datang dan bertemu dengan doa. Keduanya (bala dan doa) senantiasa ‘berperang’ hingga hari qiamat. Doa bermanfaat pada qadha mubram dan qadha muallaq. Perihal yang kedua (qadha muallaq), maka tidak mustahil menghilangkan apa (putusan) yang penghilangannya digantungkan pada doa dan tidak mustahil mendatangkan apa (putusan) yang penghadirannya digantungkan pada doa.
Ramalan dengan tebak-tebakkan tentu berbeda, ramalan kadang menggunakan hitungan Ha-Na-Ca-Ra-Ka, atau bisa jadi menggunakan hitungan kitab Mujarrobat al-Daerobi, atau kitab Abu Ma’syar al-Falaqi. Sedangkan tebak-tebakan adalah terkaan tanpa ada hitungan apapun, sekedar menebak, dan sekedar menerka tentunya, dasarnya imajinatif.
Kasus meramal yang viral sekarang ini, tidak lebih saya pahami sebagai mendahului irodat Allah Subhanahu wa ta’ala.
Bagaimana jika ramalan itu terjadi, apakah membenarkan sang peramal itu bahwa sudah mampu membaca irodat Allah, ataukah sekedar dianggap kebetulan. Maka oleh karena dikhawatirkan ada unsur al-Irtidad ( ragu dan menolak ) atas kuasa Allah, dengan mendahuli ramalan tersebut. Maka menghindari percaya pada ramalan adalah pilihan yang tepat. Sebab, irodat Allah tidak bisa dikenali, meski sekedar mengetahuinya semata pada sifat-sifat wajibat bagi Allah.
Kesimpulan tulisan kritik ini adalah meluruskan dugaan atas kebenaran suatu ramalan, yang kita khawatirkan dianggap sebagai kepastian. Faktanya kepastian itu haknya Allah, Tuhan yang maha kuasa bukan yang lain.
Kepada Tuhan, bukan hanya iman padanya, bukan sekedar mengetahui sifat-sifatnya, bukan sekedar menyembahnya, hingga bukan sekedar tahu adanya Tuhan. Tetapi juga mendekatinya dengan ma’rifatnya justeru akan merubuhkan prasangka-prasangka buruk pada Tuhan dan nasib manusia.
Wa Allahu a’lam bi al-Showab.
Oleh: KH. Hamdan Suhaemi