Berdusta bermimpi sesuatu, padahal ia tidak bermimpi sesuatu itu, lebih besar dosanya daripada berdusta biasa. Karena, ketika ia berdusta tentang mimpi, maka ia berdusta kepada Allah Swt, karena mimpi merupakan bagian dari nubuwwah.
Begitu pula jika seseorang mengatakan bahwa ia dapat melihat sesuatu yang tidak dapat dilihat orang lain padahal ia tidak melihat apapun, maka yang demikian itu merupakan kedustaan yang paling besar di sisi Allah Swt.
عن ابن عمر رضي الله عنهما قال: قال النبي صلى الله عليه وسلم : «أَفْرَى الفِرَى أن يُرِيَ الرجل عينيه ما لم تَرَيَا».
“Sesungguhnya kedustaan yang paling dusta adalah ia mengesankan bahwa kedua matanya melihat sesuatu (yang sebenarnya) tidak ia lihat”. HR. Bukhari.
Banyak dukun yang mengaku dapat meronsen sebuah kuburan leluhurnya yang telah dimakamkan ratusan tahun yang lalu. Sebenarnya ia tidak melihat apapun kecuali hanya dusta semata. Kedustaan itu dapat dibuktikan dengan, misalnya, ia salah dalam menebak alias dari leluhurnya, padahal alias itu silsilahnya tidak sama dengan silsilah leluhurnya. Misalnya lagi, Ia menebak suatu kuburan yang katanya itu kuburan leluhurnya dengan alias dari nama tokoh tertentu di suatu kota, padahal tokoh itu makamnya sudah ada di kota yang lain.
Di zaman sekarang, banyak dukun yang ingin manusia percaya bahwa ia ahli sufi dan ahli tarikat. Ia ingin orang percaya dirinya telah mencapai derajat kewalian, padahal ia hanya seorang dukun yang dalam jiwanya hanya ada nafsu duniawi dan kemasyhuran. Ia tidak menjalankan hidup seperti ulama pewaris Nabi Muhammad Saw; ia tidak mengajar santri; ia tidak membimbing orang awam dalam pengajian praktik ibadah; ia hanya membentuk jama’ah spiritual yang diberikan ceramah-ceramah berupa cerita-cerita dan dongeng-dongeng para wali seraya mengesankan pada jama’ahnya bahwa ia telah mencapai derajat seperti wali yang ia ceritakan; biasanya ia menjaga sikap wibawa dengan penampilan yang membuat kesan khusus kepada jama’ah, tidak layaknya seperti para kiai yang bersikap apa adanya dan egaliter. Dengan itu semua, kemudian jama’ahnya menjelma menjadi pengikut yang loyal pada dirinya dengan doktrin-doktrin sebelah pihak. Para jama’ah ini setiap waktu berharap ia mendapat keberkahan karena mengikutinya; walau tanpa ilmu apapun yang didapatkan yang membebaskannya dari kebodohan.
Tidak hanya sampai di situ, ia menceritakan hal-hal gaib pada pengikut setianya tentang keramat-keramatnya agar ditulis dan disebarkan kepada jama’ah. Cerita-cerita dusta sang dukun itupun kemudian dikemas menjadi konten di media sosial. Akhirnya, kisah-kisah itu bukan hanya dikonsumsi jama’ahnya, tetapi juga masyarakat secara luas. Semakin hari, jamaahnya semakin banyak. dan orang bodoh akan mengatakan, bukti bahwa ia seorang wali adalah jama’ahnya yang begitu banyak dalam setiap majelisnya. Padahal untuk yang demikian itu, sebuah grup musik pun dapat melakukannya. Apakah grup Slank itu anggotanya adalah para wali kekasih Allah, hanya karena setiap mereka pentas penonton dan muhibbin-nya ribuan? Lihat kaum yahudi bagaimana mereka menghormati pendeta mereka, apakah dengan itu berarti pendeta yahudi itu diridhoi Allah Swt? Tidak, sodare! Itu hanya gula-gula dunia. Yang tahu wali itu hanya Allah Swt. Orang lain menyebut wali itu hanya husnudzon saja, atau malah kesalahan semata, hakikatnya bisa jadi malah ia adalah musuh Allah swt. Apalagi jika tirai kedustaannya telah tersibak nyata.
Ada ciri-ciri kewalian yang diberitakan al-Qur’an dan bisa dirasakan oleh seseorang. Dan itu yang tahu hanya dia dan Allah. Yaitu ketika dalam setiap usaha yang kita lakukan selalu berniat baik kepada semua orang, dan dalam menjalankan kebaikan itu ia tidak ada rasa takut dan sedih: tidak takut ke depan akan ada resiko dalam memperjuangkan kebaikan dan kebenaran; tidak sedih akan yang telah menimpanya dari perjuangan itu. Itulah ciri kewalian utama. Jika dalam gerakmu selalu berniat baik; tiada rasa takut dan sedih; ketahuilah engkau telah memiliki ciri utama dari seorang wali Allah. Inilah yang diberitakan al-Qur’an tentang ciri kewalian.
Ciri wali yang lain yang diberitakan al-Qur’an adalah: ia selalu memasrahkan urusan kepada Allah. Dalam suka dan duka, dalam manis dan getir ia pasrahkan segalanya kepada Allah, ia memohon petunjuk kepada-Nya, sehingga hatinya tidak akan mudah terpengaruh kamuflase Dajjal dan pasukannya dalam menipu umat manusia. Kebaikan palsu yang diiklankan Dajjal akan mudah kau tolak. Kebenaran yang hakiki walau tersembunyi dalam celah yang curam, sulit ditemui orang lain, ketika engkau mendapatinya, engkau akan langsung mengenali tanpa ragu bahwa itulah kebenaran hakiki. Kebenaran yang hakiki itu datang dari Tuhan-mu, maka janganlah engkau termasuk orang-orang yang ragu.
Penulis: Imaduddin Utsman al-Bantani
Editor: Didin Syahbudin