Oleh : Hamdan Suhaemi
Banten, sejak awal abad 16 Masehi adalah negeri kesultanan yang kemudian masyhur dikenal dengan Kesultanan Banten dan Surosowan adalah ibu kotanya. Pendiri kesultanan Banten adalah Maulana Hasanuddin putera dari Maulana Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati.
Tahun 1570 M ada pergantian penguasa Banten dari Maulana Hasanuddin ke puteranya yakni Maulana Yusuf hingga wafatnya di tahun 1580, lalu dilanjutkan oleh putera bungsunya yakni Maulana Muhammad yang telah ditetapkan sebagai putera mahkota meski saat itu usianya masih balita.
Pada 1597 M, Maulana Muhammad meninggal dunia di atas geladak kapal perang Indra Jaladri saat membawa pasukan Banten ke Palembang, dalam rangka konsolidasi dengan penguasa Palembang ketika berupaya menghalau pengaruh kekuatan Portugis dari Malaka.
Pulang dari Palembang, rakyat Banten menyebut sang Maulana sebagai Ratu ing Banten dan ada sebutan lagi yaitu pangeran seda ing rana. Sebab wafat saat sang Maulana tengah sholat tahajjud di atas geladak Indra Jaladri.
Masa setelah kepemimpinan 3 Maulana, Banten memasuki babak baru ketika putera Maulana Muhammad yang saat itu berumur 8 tahun dinobat sebagai pelanjut dari kekuasaan orang tuanya yang kebetulan Maulana Muhammad hanya berputera satu yaitu pangeran Abdul Qodir. Lalu sang pangeran tidak sendiri memimpin Kesultanan Banten, ada wali sultan yang memposisikan sebagai Patih Mangkubumi yang berasal dari unsur keluarga.
Pangeran Abdul Qodir, ketika beranjak dewasa mendapat gelar Sultan yang diberikan oleh Syarif Mekkah, sebagai kepanjangan dari Kesultanan Turky Usmani yang saat itu menjadi imperium dunia pasca imperium Romawi yang runtuh bersamaan ditaklukkannya konstantinopel pada 1453 M oleh Sultan Muhammad al-Fatih, saat sang sultan berusia 23 tahun.
Gelar dari Syarif Mekkah itu disematkan sebagai legitimasi berkuasa atas Banten yang cukup luas, gelar tersebut masyhur dengan Sultan Abul Mafakhir Abdul Qodir. Baru di era kekuasaan Sultan Abul Mafakhir Abdul Qodir Kenari inilah didirikan mahkamah agung atau dalam bahasa kesultanan dinamai Faqih Najmudin pada 1630 M, yang pejabatnya dikenal dengan Qodli Agung Kesultanan Banten.
Orang pertama yang memegang jabatan Faqih Najmudin adalah Entol Kawista pada 1630 M, kemudian ada pergantian Qodli setelah Entol Kawista yaitu Pangeran Jayasantika, dan saat kekuasaan kesultanan Banten berada di tangan Pangeran Surya putera Sultan Abul Ma’ali Mahmud, kemudian jabatan Qodli diberikan ke menantunya yang berasal dari Makassar, seorang alim yang faqih, Mursyid Tarekat yaitu Syaikh Yusuf al-Makasari, hingga tahun 1682 M.
Pada era kekuasaan Sultan Abu Nashr Abdul Qohar atau masyhur dikenal Sultan Haji 1682, ada kekosongan jabatan Qodli, sebab Sultan haji telah memberlakukan Perundang-undangan Surosowan yang dikodifikasi dan tulis oleh sang sultan, kelanjutan hukum dan peraturan yang sudah diberlakukan sejak Maulana Hasanuddin yakni paduan 60 % syari’at Islam dan 40% hukum lokal.
Era Sultan Abul Mahasin Zaenal Abidin, putera Sultan Haji yang menggantikan kakaknya yang wafat dan tidak mempunyai anak yaitu Sultan Abul Fadlol, di saat kekuasaan Sultan Abul Mahasin ditunjuk kembali jabatan Qodli di lembaga faqih Najmuddin yaitu saudaranya yang sama-sama putera Sultan Haji yaitu Syaikh Abdulloh Qohar yang masa jabatannya hingga 1752 M.
Setelah itu dilanjutkan oleh Pangeran Arya Jayasantika (nama yang sama dengan pendahulunya di era Sultan Abul Mafakhir). Beberapa tahun kemudian, Qodli Banten dijabat oleh Pangeran Aliyudin, putera Sultan Banten yang dipersiapkan menjadi Sultan. Jabatan Qodli yang diembannya berakhir ketika ia dilantik sebagai sultan Banten penerus leluhurnya.
Saat kekuasaan Sultan Aliyudin tidak dikisahkan ada Qodli, kalaupun ada data sejarah belum ditemukan, tetapi kitab perundang undangan Surosowan jadi aturan baku semacam KUHAP. Kemungkinan yang menghakimi dan memutuskan langsung sang sultan sendiri, ini masih asumsi.
Jelang keberakhiran kekuasaan Sultan Syafiuddin, jabatan Qodli di lembaga Faqih Najmudin diamanatkan kepada KH. Yahya Gudang Batu atau masyarakat Waringin kurung memanggilnya Kiai Wakhiya, guru dari KH. Wasid bin Abbas, seorang pemimpin perjuangan Geger Cilegon th. 1888.
Jabatan Qodli KH. Yahya ini berakhir di tahun 1852 setelah melakukan perlawanan atas kolonial Belanda, dan setelah itu jabatan Qodli dipegang oleh Kiai Muhammad Adian (ini mungkin yang terakhir ), lalu perjalanan lembaga hukum faqih Najmudin dibubarkan seiring berakhirnya eksistensi kesultanan Banten, baru beberapa tahun sepeninggal kiai Muhammad Adian tersebut jabatan Qodli yang diteruskan oleh pihak kolonial Belanda dijabat oleh Syaikh Arsyad, tapi bukan Syaikh Arsyad thowil atau Syaikh Arsyad Qosir. Memang ada kemiripan nama tetapi menurut sejarawan Banten Yadi Ahyadi itu berbeda orang.
Kebaradaan Qodli sejak awal hingga berakhir di kiai Muhammad Adian, tetapi Qodli era kekuasaan kolonial Belanda tersebut berakhir di tahun 1936 M, yang saat itu dijabat oleh Kiai Raden Muhammad Ishaq. Setelah itu sudah tidak ada Qodli Banten lagi.
Menurut Ayang Utriza (Doktor dari Institut de Recherche-religions, spiritualités, Cultures, Sociétés Université Catholique de Louvain Belgia) dulu pengadilan Qodli meliputi semua kasus hukum. Kalau sekarang pengadilan agama hanya mengurusi hukum keluarga muslim, seperti talak, rujuk, warisan, dan seterusnya.
Ayang menyebutkan, kasus utang piutang misalnya, cukup banyak terjadi di Banten, ada 600-an kasus. Lalu talak 90-an kasus, budak 80-an kasus, kesaksian 40-an kasus, dan 40-an lebih kasus lainnya yang ditangani oleh Qodli Paqih Najamuddin.
Qodli sejak awal diangkat oleh kesultanan Banten bertugas untuk memutuskan perkara-perkara hukum dengan penerapan kitab hukum perundang-undangan Surosowan, yang dibantu penegakannya oleh jaksa dan penghulu, dibantu pula oleh lembaga Nayaka (kini Kepolisian) juga dibantu oleh Punggawa, semacam Satpol-PP.
Kesultanan Banten, adalah landskap kekuasaan Islam di Jawa bagian kulwan (Barat) yang membentang pengaruh kekuasaannya dari Karawang hingga Lampung, Indrapura Jambi, Johor, Mindanao Filipina, Muangthai (kini Thailand) hingga Malabar India.
Serang 2 Juni 2023
Sumber:
- Sajarah Banten Besar
- Historia.
- Wawancara Yadi Ahyadi