Mukadimah
Sejarah perlu diketengahkan ketika ada yang rumit untuk dijelaskan, dan ketika alurnya telah membelok. Bahkan yang tabu pun perlu dibuka sebagai sesuatu yang profan, bahwa sejarah adalah pelajaran hidup kita. Tidak boleh sejarah lalu dibilang hanya masa lalu semata, karena masa lalu adalah cerminan masa depan. Manusia hidup pasti mengisi ruang dan waktu dengan segala harapan dan tantangannya, disinilah manusia lupa bahwa dirinya adalah pelaku sejarah.
Dalam tulisan ini ingin menyodorkan semacam tesis tentang awal mula Islam di Nusantara ini, bahwa Sayyid Ali Rahmatullah bin Sayyid Ibrahim Samarkandi dinyatakan betul sebagai peletak awal Islamisasi Nusantara. Meski jauh sebelum Sayyid Ali Rahmatullah terdapat para penyebar Islam yang berprofesi pedagang, sebut dari Gujarat atau dari Persia dengan ditandai tetinggalnya makam-makam khas Gujarat atau Malabar dengan relief kaligrafi Arab model khufi di kampung Leran dekat Gersik Jawa Timur, perkiraan makam tersebut sudah ada sejak abad 13 M dan abad 14 M seperti makam Syaikh Maulana Malik Ibrahim.
Siapa Sayyid Ali Rahmatullah
Sayyid Ali Rahmatullah lahir tahun 1401 M di Champa, adalah putra dari Syaikh Ibrahim Zainuddin As-Samarqandy dengan Dyah Candrawulan, Dyah Candrawulan Puteri Raja Champa Kamboja, sementara Sayyid Ibrahim As-Samarqandy merupakan putra Sayyid Jamaluddin Akbar al-Husaini. Ayahnya ini berasal dari Samarkand, negeri yang kini masuk Rusia Selatan. Diceritakan bahwa sebelum tahun 1446 M, keluarga Ibrahim Samarkandi masih berada di Champa sebelum negeri itu jatuh oleh pasukan dari kerajaan Sangora. Meski demikian puteranya Ibrahim Samarkandi yang kedua yakni Sayyid Ali Rahmatullah sudah berada di Ampel Majapahit di tahun 1442, hingga ketika mendengar kabar menyakitkan itu Sayyid Ali Rahmatullah yang seharusnya pulang ke Champa, kemudian dicegah oleh Raja Brawijaya V ( suami dari bibinya ). Peristiwa tersebut tercatat dalam Serat Walisana.
Dalam catatan Kronik Tiongkok dari Klenteng Sam Po Kong, Sunan Ampel dikenal sebagai Bong Swi Hoo, cucu dari Haji Bong Tak Keng – seorang Tionghoa (suku Hui beragama Islam mazhab Hanafi) yang ditugaskan sebagai Pimpinan Komunitas Tionghoa di Champa oleh Sam Po Bo. Sedangkan Yang Mulia Ma Hong Fu – menantu Haji Bong Tak Keng ditempatkan sebagai duta besar Tiongkok di pusat kerajaan Majapahit, sedangkan Haji Gan En Cu juga telah ditugaskan sebagai kapten Tionghoa di Tuban. Haji Gan En Cu kemudian menempatkan menantunya Bong Swi Hoo sebagai kapten Tionghoa di Jiaotung Bangil ( Slamet Muljana : 2005 ).
Perbedaan asal usul Sayyid Ali Rahmatullah seperti di atas tidak perlu diperdebatkan, karena satu sama lainnya memiliki bukti baik primer maupun sekunder, tapi yang jelas ada relasi diantara data tersebut, kuncinya adalah Champa, yang masih bagian dari wilayah Tiongkok. Tetapi saya ingin mengambil data yang masyhur saja agar tidak ada perdebatan tajam soal asal usul sang Sayyid dari Champa ini.
Silsilah
Masyhur di kalangan para pencatat silsilah, bahwa Sayyid Ali Rahmatullah atau Raden Rahmat atau Susuhunan Ampel, adalah mursyid tarekat Naqsyabandiyah, bahkan telah sampai maqom Qutub, ulama besar Ahli Sunnah wal Jama’ah yang bermazhab Syafi’i. Sayyid Ali Rahmatullah ini meski terlahir di Champa tapi garis leluhurnya adalah dzuriyatnya Rosulullah S.a.w. Dalam versi jalur An-Naqowi al-Bukhari al-Husaini, nasab Sayid Makhdum Ali Rahmatullah tersambung hingga Rosulullah S.a.w.
Nabi Muhammad SAW, berputeri
- Sayyidah Fathimah Az-Zahra, berputera
- Sayidina Husain, berputra
- Sayidina Ali Zainal Abidin, berputra
- Sayidina Muhammad Al Baqir, berputera
- Imam Jafar Shadiq, berputra
- Imam Musa Al Kazhim, berputra
- Imam Ali Ar-Ridho, berputera
- Sayid Muhammad Al-Jawad At-Taqi, berputera
- Sayid Ali Al-Hadi An-Naqi, berputera
- Sayid Ja’far Dzaki, berputera
- Sayid Ali Asyqari, berputera
- Sayid Abdullah, berputera
- Sayid Ahmad Abu Yusuf, berputera
- Sayid Mahmud, berputera
- Sayid Muhammad, berputera
- Sayid Ja’far, berputera
- Makhdum Ali, berputera
- Makhdum Husain Jalaluddin Al Bukhari/Mir Surkh /Jalal Azamat Khan, berputera
- Makdum Ahmad Kabir, berputera
- Makhdum Jalaluddin Husain, berputera
- Makhdum Mahmud Nashrudin, berputera
- Makhdum Jamaludin Akbar / Jumadil Kubro, berputera
- Makhdum Ibrahim Samarkandi, berputera
- Makhdum Ali Rahmatullah (Sunan Ampel)
Guru Keluarga Majapahit
Pada era Raja Brawijaya V, kehidupan masyarakat Majapahit terutama keluarga keraton Wilwatikta mengalami kemunduran yang sangat signifikan, terutama dalam hal moral. Akibat dari perang yang tidak berkesudahan, seperti perang Paregreg dan intrik-intrik pengambilalihan kekuasaan baik di keluarga keraton maupun di wilayah taklukan Majapahit pasca mangkatnya Maharaja Hayam Wuruk. Itu terjadi di akhir abad 14 dan sampai di pertengahan abad 15 M.
Dampak dari konflik sosial politik di kerajaan Majapahit itu sangat dirasa berat di kalangan masyarakat waisa dan sudra, belum lagi keonaran-keonaran ditimbulkan akibat ketercanduan atas arak dan madat. Gambaran sosiologis masyarakat Majapahit di tahun 1440-an memicu keinginan kuat sang permaisuri Raja Brawijaya V, yakni Ratu Diyah Dwarawati untuk meminta tolong keponakannya di Champa agar berkenan untuk membimbing keluarga keraton yang tengah mengalami kemerosotan moral tersebut.
Keponakan sang Ratu dari Champa itu baru sampai di Trowulan ibukota Majapahit, di tahun 1442 yang sebelumnya menetap sebentar di Tuban. Sang Ratu pun mengusulkan kepada Raja Brawijaya V agar Sayyid Ali Rahmatullah diterima sebagai keluarga besar Keraton Majapahit, hingga sang Sayyid dari Champa ini lalu diberi gelar Raden, akhirnya yang lebih dikenal panggilan Raden Rahmat.
Ajaran Molimo Raden Rahmat ini menjadi efektif dalam upayanya merubah kebiasaan buruk para anggota keluarga keraton Wilwatikta, sampai kemudian keberhasilannya diakui oleh sang Raja dengan memberikan sebidang tanah di dekat Surabaya, namanya Ampel. Di Ampel inilah perjuangan Raden Rahmat mencapai puncaknya ketika Ampel menjadi pusat pembelajaran agama Islam sekaligus pusat dakwahnya, hingga Ampel terkenal terutama bagi masyarakat Majapahit yang ada di Trowulan hingga pengaruhnya sampai di Sukadana Kalimantan ( Agus Sunyoto: 2013).
Peletak Islam Nusantara
Sayyid Ali Rahmatullah yang kemudian berubah sebutan Raden Rahmat, pada tahun 1470 M memfokuskan pada pengembangan jejaring penyebar Islam dengan penguatan mujahadah dan riyadoh dalam mendidik santri-santrinya, disamping penguatan jejaring dakwah Islam, Raden Rahmat pun menguatkan dengan pertalian nasab.
Dalam Babad Ngampeldenta, Raden Rahmat memperistri Mas Karimah Puteri Ki Bang Kuning yang masyhur dikenal Mbah Karimah, dari istrinya ini memiliki 2 anak perempuan yaitu Murtasiah dan Murtasimah. Lalu Murtasiah dinikahkan dengan santri sekaligus keponakannya yaitu Raden Paku bin Maulana Ishaq alias Raja Wali Lanang. Kelak ketika Raden paku menetap di Giri namanya masyhur dengan sebutan Susuhunan Giri, atau Prabu Satmata. Dari jalur Murtasiah inilah Sunan Ampel menurunkan para penyebar Islam berikutnya yaitu putera dari Sunan Giri yakni Sunan Dalem dan cucunya yakni Sunan Prapen, dari tangan mereka inilah Islam tersebar hampir menyeluruh di pelosok Nusantara.
Sementara dari anaknya yang kedua yaitu Murtasiah atau Asyikoh, Sunan Ampel menikahkan dengan Raden Fatah bin Prabu Brawijaya V. Dari jalur ini lahirlah para penguasa Islam, hingga lewat kekuasaan politik dakwah Islamiyyah di seluruh Nusantara tidak lagi mendapatkan tantangan dan rintangan.
Sunan Ampel dalam waktu yang bersamaan menikahi Puteri dari Arya Teja, Adipati Tuban dan Arya Teja adalah keturunan Ranggalawe, yakni Nyai Ageng Manila. Dengan Nyi Ageng Manila ini sunan Ampel dikaruniai putera Puteri yaitu Sayyidah Fatimah, Sayyidah Willis, Sayyidah Taluqi atau Nyi Ageng Maloka, Sayyid Makhdum Ibrahim, Sayyid Qosim. Kedua nama terakhir ini adalah para penyebar Islam yang paling gigih di seantero Nusantara. Sayyid Makhdum lebih dikenal dengan Sunan Bonang sedangkan Sayyid Qosim dikenal dengan Sunan Derajat.
Islam yang disampaikan oleh para Wali Songo tentunya berpijak pada induknya para wali songo yaitu Sayyid Ali Rahmatullah, atau Raden Rahmat alias Sunan Ampel, yang telah menanamkan ajaran Islam dengan cara moderat, dan toleran. Hingga Islam yang dipeluk oleh bangsa Nusantara terkhusus Jawadwipa adalah Islam ala Ahli Sunnah wal Jama’ah.
Dari ajaran Sang Mursyid Tarekat Naqsyabandiyah inilah ada perpaduan tradisi Champa yang dibawanya dengan budaya Jawa, dan Islam yang disampaikan oleh sang Mursyid tersebut adalah agama yang tidak menolak adat, tidak juga mencampurkan dengan adat, membumikan Islam dengan cara pendekatan budaya, dengan pendekatan sufistik maka dari inilah Islam di Nusantara ada kekhasannya. Karena khas itulah kemudian kita kenali Islam Nusantara.
Serang 29-11-2022
Oleh : Hamdan Suhaemi (Wakil Ketua PW GP Ansor Banten, Ketua PW Rijalul Ansor Banten, Sekretaris komisi Haub MUI Banten, Sekretaris Tsani Idaroh Wustho Jatman Banten)
Editor: Didin Syahbudin