Oleh: Hamdan Suhaemi
Penjelasan
Mengawali pahaman tentang tauhid, saya harus mengurai artinya secara epistemologis. Menurut rumusan Imam al-Jurjani dalam kitabnya al-Ta’rifat bahwa tauhid itu:
تجريد الذات الالهية عن كل ما يتصور في الافهام و يتخيل في الاوهام و الاذهان
Artinya: “Memuluskan/memurnikan zat ketuhanan dari setiap sesuatu yang digambarkan dalam pemahaman, dan sesuatu yang dikosongkan dari segala dugaan dan merendahkan”.
Masih menurut al-Jurjani, bahwa bertauhid itu:
معرفة الله بالربوبية و الاقرار بالوحدنية و نفي الانداد عنه جملة
Artinya: “Mengenal Allah dengan sifat ketuhanan dan mengikrarkan ke-esa-nya dan meniadakan bilangan darinya dengan jumlah”.
Sementara dalam kitab Is’adu al-Rofiq wa bughyatu al-Shodiqi, al-Habib Syaikh Abdullah bin Husein Ba’lawi merinci maksud تشهيد (kesaksian) ketuhanan atas diri Allah SWT yakni dengan ان تعلم (mengetahui) dengan ilmu, dari ilmu itu ada keyakinan hingga tidak ada ragu dan tidak pula menolak. Setelah itu dengan ان تعقد (meyakini) tentu keyakinan yang tumbuh dalam hati, dan ان تؤمن (mengimani) atau membenarkan (تصديق) bahwa tidak ada yang patut disembah (لا معبود) dengan benar (حق) dalam wujud kecuali Allah SWT yang satu dan tunggal (tidak menurunkan anak dan tidak dari anak), yakni zat (zat muthlaq) yang tidak ada keduanya.
Hujjatul Islam Imam Abu Hamid al-Ghozali dalam kitabnya Ihya Ulumiddin, menandaskan tauhid sebagai pondasi aqidah (keteguhan yakin) dengan kejelasan bahwa zat Allah itu satu (wahid) tidak ada sekutu (syarik) baginya, ia tunggal yang tidak ada sepertinya, ia tempat bergantung yang tidak ada tandingnya, ia yang sendiri dan tidak ada bilanganya, ia yang tunggal dahulu dan tidak ada yang awal darinya, azali tidak ada yang mengawali, tiada akhir baginya hingga abadi, tanpa keberakhiran dalam keberadaannya, tidak pernah hilang sifat-sifat keagunganya.
Sementara, ulama ahli tadqiq yakni al-‘Alim al-‘Allamah Syaikh Muhammad Nawawi al-Bantani dalam kitabnya Syarah al-Riyadl al-Badi’ah telah mewajibkan muslim untuk meneguhkan aqidah dengan tidak dicampuri hal-hal yang mengarah pada kemusyrikan, yakni bahwa menguatkan aqidah adalah:
الواجب الاعتقاد الجازم مع الدليل و لا يلزم التلفظ بالعبرة فالمعرفة جزم مطابق للواقع نشيء عن دل فخرج به الظن و الشك و الوهم في العقاءد فان صاحبها كافر و اما من حفظ الفاظ العقاءد بادلتها من افواه المشايخ من غير تامل و استدلال منه
Artinya: “Yang wajib itu menyatakan ittikad yang teguh disertai dalil dan tidak lah tetap ucapan dengan pengibaratan. Maka pengetahuan itu sesuai dengan bukti dan adanya dalil. Jika keluar darinya ada dugaan, keraguan, dan sangkaan dalam aqidah maka sesungguhnya yang mempunyai hal itu adalah telah kafir, adapun siapa yang menjaga aqidah dengan disertai dalil-dalilnya dari pandangan masyayikh (ulama) dan tidak bersumber dari hanya angan angan dan tentu dengan dalil darinya. Ini kita pahami sebagai prinsip penguatan aqidah”.
Toleransi Tanpa Aqidah
Aqidah kemudian diartikan sebagai keyakinan yang bersumber dari hati. Aqidah Islam tentu keyakinan akan keesaan Allah SWT tanpa dicampuri keraguan, sangkaan, dan persoalaan kebimbangan hati. Aqidah dibangun dengan pondasi iman, dan iman itu dikuatkan dengan تصديق في القلب dan diucapkan اقرار بللسان serta diamalkan عمل بالاركان. Selama tiga prinsip dasar iman tidak diganggu hal-hal lannya seperti keraguan atau tidak pernah dipraktikan dalam amal yang sholeh tentu dengan sendirinya tidak tampak ada iman, atau pudarnya keimanan.
Akhir-akhir ini soal tradisi dan budaya keagamaan semakin dipertanyakan oleh para pengusung kemurnian tauhid tentu dengan niat bahwa kekewatiran memang diperlukan untuk menghindari tergelincir dari pudarnya keteguhan iman tentu dengan prinsip.
و خصص بلاحكام التي شرعها الله تعالى و بينها لعباده لانهم اطاعوا و امتثلوا لها
Namun kehati-hatian dalam berbaur tentu juga diperlukan untuk kemudian dipahami (kredo) sebagai yang utuh dan ajeg.
Hidup, sebagai manusia sosial secara “design in der welt” tentu ada pergumulan dan percampuran sikap, makna hidup dan pemikiran yang kemudian membentuk peradaban. Ini adalah jalan manusia yang pasti dilalui, dan agama sekali lagi sebagai petunjuk ke arah kebenaran dan kebaikan.
Kita cukup diingatkan oleh Syaikh Ibnu Athoillah al-Iskandari untuk bersikap. Dalam kitabnya Syarah Hikam beliau menasihati kita.
لا يخاف عليك ان تلتبس الطرق عليك و انما يخاف عليك من غلبة الهوى عليك
Artinya :
“Bukan ketidakjelasan jalan yang dikhawatirkan dari dirimu, melainkan yang dikhawatirkan adalah menangnya hawa nafsu atas dirimu”.
Dalam hal apapun kuncinya pengetahuan, keterbukaan, kesadaran dan kemudian keteguhan dalam prinsip. dan beragama sekali lagi adalah bagaimana hubungannya dengan Allah (بل من الله ) dan hubungannya dengan manusia (حبل من الناس). Sedangkan aqidah adalah kekuatan sikap beragama. Untuk tegaknya aqidah harus berdasarkan keteguhan iman. Iman yang kuat ialah takutnya kepada Allah SWT dengan keteguhan yang totalitas padanya.
Ciujung Serang Banten
Wakil Ketua PW Ansor Banten