Oleh : Hamdan Suhaemi
Mengenali peristiwa dan tokoh yang dikenal biasa kita temukan di catatan buku sejarah, akan berbeda ketika di balik peristiwa tersebut bukan tokoh menyejarah, sebut disini orang biasa. Sudah barang tentu tidak akan ditemukan di catatan sejarah. Dalam hal ini, menarik untuk diceritakan fakta sejarah dari peristiwa pergolakan ideologis yang pernah terjadi di Bakung Kamurang kecamatan Cikande Serang Banten, di tahun 1948-1958 pasca kemerdekaan Republik Indonesia.
Satu peristiwa yang memancing emosi kita yang terlahir belakangan. Peristiwa yang pecah akibat sikap idealitas atas komitmen kebangsaan dan sikap nasionalisme berhadapan dengan hipokritas pembangkangan atas nasionalisme. Tentu tercatat sebagai peristiwa kelam yang pernah dialami leluhurnya orang Cikande yang kuat dialiri darah juang dan jiwa patriot. Mungkin ini diwarisi pula oleh gelembung jiwa juang Nyi Mas Gamparan yang riwayatnya begitu heroik di awal abad 19 silam melawan penjajahan Belanda.
Heroisme Nyimas Gamparan dikenal dalam perang Cikande. Perang tersebut terjadi sekitar tahun 1829 hingga 1830. Perang tersebut terjadi lantaran Nyimas Gamparan yang memimpin puluhan pendekar wanita menolak Cultuurstelsel atau aturan tanam paksa yang dibuat oleh pemerintahan kolonial Belanda pada 1830 yang diterapkan kepada penduduk pribumi.
Nyimas Gamparan dan puluhan prajurit wanitanya menggunakan taktik perang gerilya untuk menghadapi pasukan Belanda. Pasukan Nyimas Gamparan ini memiliki markas persembunyian di wilayah yang kini disebut Balaraja, Kabupaten Tangerang.
Tahun 1954, menjadi catatan sejarah yang terabaikan pula, ketika rakyat Cikande saat itu tengah terprovokasi dengan isu agama (isu Darul Islam) yang secara masif di agitasi oleh kelompok-kelompok pendukung DI/TII Kartosuwiryo. Masifikasi gerakan dukungan berdirinya negara Islam, dan keberlakuan syari’at Islam di Serang bagian Utara dan Timur telah memicu perlawanan dari kelompok yang pro NKRI. Penampakan kontra ideologi antara kedua belah pihak kemudian menjadi klimaksnya ketika memakan korban akibat pergolakan tersebut.
Adalah Jaro Gebang Paniisan (kini Bakung) Cikande yakni Jaro Sarnadi yang secara afiliasi ideologis lebih kepada nasionalisme, dan ada kedekatan emosional dengan residen Banten KH. TB. Ahmad Khatib, adalah figur yang terlupakan ketika ia adalah ujung tombak perlawanan atas gerombolan DI/ TII di wilayah Cikande, yang meliputi Kemurang, Julang, Koper, Gembor Udik, Parigi, dan Songgom. Kampung-kampung yang menjadi basis pergerakan gerombolan DI/TII yang berpusat di Luwung Cabe (dulu masuk Kecamatan Carenang).
Kontak fisik antara dua kelompok pendukung setia NKRI dengan kelompok pro Darul Islam mulai terjadi secara dramatis, ketika pula dipicu oleh sentiman kekelahan seorang calon Jaro yakni H. Anwari yang dimanfaatkan oleh gerombolan DI TII untuk menghabisi Jaro terpilih yaitu Jaro Sarnadi yang pro NKRI. Itu diawali ketika ada salah satu warga Kemurang yang mengadakan hajatan nikahan yang kebetulan menggelar Jaipongan dan Ubrug (seni wayang orang khas Banten). Diantara yang menghadiri acara tersebut adalah sepasang kekasih dari anaknya Ki Ispar, yang kebetulan adik dari Jaro Sarnadi. Pasangan itu diculik oleh gerombolan DI TII dengan maksud memancing Jaro Sarnadi untuk datang sendirian membebaskan kedua pasangan tersebut.
Hari yang tragis bagi Jaro Sarnadi, ia dengan gagahnya menantang gerombolan DI/ TII tanpa membawa anak buahnya untuk mengadakan duel kesaktian, satu lawan satu. Namun yang terjadi kekalahan di pihak gerombolan itu, akibatnya timbul tipu muslihat dari salah satu gerombolan untuk menekan Jaro Sarnadi agar melepas kesaktiannya, jika masih memakai kesaktian terpaksa akan membunuh kedua pasangan tersebut. Jaro Sarnadi, tidak tega melihat adiknya yang terancam terbunuh, hingga ia berniat melepas kesaktiannya. Pada saat yang bersamaan satu dari orang DI TII tidak menyia-nyiakan peluang untuk menebas leher Jaro Sarnadi, akibatnya tebasan itu terkena punggung Jaro Sarnadi. Tidak puas dengan itu, merangseg lah beberapa orang DI TII untuk membacok kaki Jaro Sarnadi. Sejurus dari kilatan golok yang memuncratkan darah itu, maka Jaro Sarnadi tubuhnya tumbang bersimbah darah, dan ia tewas dalam kegagahan melawan gerombolan DI /TII.
Satu tokoh pro NKRI telah gugur, yaitu Jaro Sarnadi yang dianggap sebagai penghalang besar bagi gerombolan itu untuk melakukan tindakan-tindakan agitasi, provokasi dan kekerasan (kekejaman berkedok ayat jihad). Putera terbaik bangsa itu telah gugur atas kegigihannya melawan kelompok separatis DI /TII. Murid Ki Buyut Sekong itu terkenang sebagai tokoh di balik tragedi Bakung, sepanjang karirnya sebagai Jaro ( Lurah ) Bakung, ia adalah tokoh nasionalis yang satu paham dengan mentornya yakni KH. TB. Ahmad Khatib, sang Residen Banten yang legendaris itu.
Jaro Sarnadi, anak dari Ki Ispar, cucu dari Ki Bani bin Nursaman bin Abdul Putih (Ki Kuncung Putih) bin Syaikh Ali. Jaro Sarnadi telah gugur tahun 1954 satu tahun sebelum pemilu 18 April 1955. Tentu bangsa ini perlu menghormatinya atas kegigihannya mempertahankan keutuhan negara kesatuan Republik Indonesia yang beberapa tahun didirikan itu. Disamping ia melawan agresi militer Belanda I dan agresi militer Belanda II, ia dengan heroiknya melawan kelompok pemberontak DI/TII.
Ciujung 18-9-21
Pembaca Sejarah