Oleh : Hamdan Suhaemi
Sudah lama anak negeri ini dijajah, ratusan silam dalam tekanan dan ketakutan. Begitu merdeka ternyata tidak merdeka seutuhnya, fisik boleh merdeka dari belenggu penjajahan Belanda atau penjajahan Jepang, tetapi pemikiran sepanjang sejarahnya selalu dipasung oleh anak negeri sendiri. Ketidaksukaan karena berbeda selalu menyeruak dibalik itu. Beda paham selalu jadi musuh atas paham tersebut, begitu seterusnya.
Kita ini bangsa yang plural, bukan hanya keyakinan, kepercayaan tetapi juga warna kulit, bukan hanya bahasa tetapi juga adat istiadatnya, semuanya dalam titik perbedaan masing-masing, tetapi disatukan oleh tekad bersama, disatukan oleh nasib yang sama, disatukan pula oleh cita-cita bersama. Dasar inilah bangsa Indonesia disatukan dalam payung bhineka tunggal Ika, sebagai falsafah yang tumbuh dari saripati kehidupan bangsa -bangsa Nusantara.
Belakangan, belenggu itu ada di doktrin agama dengan cara rapih, jenial, halus untuk dijadikan objek kapitalisasi kepentingan pribadi dan kelompok. Bangsa pribumi ini sudah lama tertidur dalam rantai cinta yang ternyata mematikan nalarnya yang harusnya merdeka. Rantai cinta itu bernama cinta habib cinta Rosulillah S.a.w, dan cinta Rosulillah S.a.w sama halnya cinta pada Gusti Allah S.w.t. hadits yang menjelaskan ini telah diperalat untuk kepentingan kelompok ras habaib di Indonesia untuk diistimewakan, didudukkan di atas kemuliaan sebagai dzuriyat Rosul.
Ini disebut titik nadir bangkitnya nalar kesadaran sebagai anak negeri pribumi asli yang punya hak mengatur negaranya, mengatur prihidupnya, mengatur nasibnya sebagai anak -anak alam semesta raya ini. Titik nadir kesadaran bahwa kita pribumi jauh lebih berhak, jauh lebih mulia, bahkan kitalah pemegang kedaulatan atas negeri yang kita cintai ini, persetan atas doktrin-doktrin cinta dan hormat atas habib, yang diidentifikasikan sebagai oknum habib yang telah berbuat kerusakan, mafsadat, pemecah belah persaudaraan sesama anak bangsa. Sudah saatnya anak negeri ini terbangun kesadarannya sebagai bangsa yang hebat, pintar dan beradab.
Yang kita lihat pada figur dan ketokohan seseorang bukan pada gelar habib yang secara epistemologis tidak terkonfirmasi sebagai cucu Nabi ( lihat kitab-kitab nasab abad 6,7,8 hijriah) tetapi lebih karena melihat kemanfaatan ilmunya, ajarannya yang dilandasi akhlakul karimah, sikapnya dan perlakuannya pada kita anak negeri ini. Habib tidak lebih mulia dari Tubagus atau Raden, tidak lebih terhormat dari Andi atau lora. Semua kemuliaan itu ternilai di titik ilmu dan akhlaknya.
Tuhan yang maha besar, Allah azza wa jalla telah memuji orang-orang yang memiliki ilmu pengetahuan, sebagaimana tersurat dalam surat Ali Imran ayat 18, yaitu.
شَهِدَ اللّٰهُ اَنَّهٗ لَآ اِلٰهَ اِلَّا هُوَۙ وَالْمَلٰۤىِٕكَةُ وَاُولُوا الْعِلْمِ قَاۤىِٕمًاۢ بِالْقِسْطِۗ لَآ اِلٰهَ اِلَّا هُوَ الْعَزِيْزُ الْحَكِيْمُ
Artinya : Allah menyatakan bahwa tidak ada tuhan selain Dia (demikian pula) para Malaikat dan orang-orang yang berilmu yang menegakkan keadilan, tidak ada tuhan selain Dia, yang Maha Perkasa, Maha Bijaksana.
Lihat di kitab Adab al-Dunya wa al-Din pada bab Adab al-‘Ilm, sebagai berikut:
روي عن النبي صلّى الله عليه وسلّم أنّه قال: أوحى الله إلى إبراهيم عليه السّلام: إنّي عليم أحبّ كلّ عليم
Artinya: diriwayatkan dari Nabi Saw. beliau bersabda: Allah Swt memberi wahyu kepada Ibrahim as ” sesunggunya Aku (Allah ) maha mengetahui, Aku (Allah) mencintai orang-orang yang berilmu”.
Sahabat Kanjeng Nabi Mu’adz bin Jabal RA, pernah berujar.
تَعَلَّمُوْا الْعِلْمَ فَإِنَّ تَعَلُّمَهُ حَسَنَةٌ وَطَلَبَهُ عِبَادَةٌ وَمُذَاكَرَتَهُ تَسْبِيْحٌ وَالْبَحْثُ عَنْهُ جِهَادٌ وَبَذْلُهُ قُرْبَةٌ وَتَعْلِيْمَهُ لِمَنْ لَا يَعْلَمُهُ صَدَقَةٌ
Artinya: Belajarlah ilmu, sesungguhnya mempelajari ilmu adalah suatu kebaikan, mencari ilmu adalah ibadah, mengingatnya adalah tasbih, membahas suatu ilmu adalah jihad, bersungguh-sungguh terhadap ilmu adalah pengorbanan, mengajarkan ilmu kepada orang yang tidak memiliki pengatahuan adalah sedekah.
Imam Sufyan bin ‘Uyainah Radliyallahu Anhu, berpesan pada kita.
أَرْفَعُ النَّاسِ عِنْدَ اللّه مَنْزِلَةً مَنْ كَانَ بَيْنَ اللّهِ وَبَيْنَ عِبَادِهِ وَهُمْ الأَنْبِيِاءُ والْعُلَمَاءُ
Artinya : kedudukan tertinggi manusia di sisi Allah adalah para Nabi dan ‘Ulama (orang yang berilmu.
Dengan pijakan inilah, kita anak negeri sudah harus sadar sesadarnya bahwa pangkat, gelar, sebutan mulia lainya bukan sesuatu yang dibanggakan, bukan sesuatu yang ditonjolkan, bukan pula untuk memuluskan kepentingan, dan sekali lagi bukan untuk memperalat demi cuan dan pelayanan yang berlebihan. Tetapi gelar nasab, gelar kehormatan bukan titik tekan sebagai bangsa yang beradab. Pada titik ilmu, agama dan akhlak lah bangsa ini menjadi maju dan beradab dalam bingkai NKRI, dalam ikatan persaudaraan, dan dalam payung kesamaan sebagai bangsa Indonesia.
Orang Islam tidak boleh membenci karena beda agama dan keyakinan, orang Islam tidak boleh memaksa yang berbeda madzhabnya, orang Islam tidak boleh membenci yang berbeda partai dan organisasinya, karena organisasi hanya warna yang berbeda dalam upaya menghimpun kekuatan dan kebersamaan. Orang Islam harus tampil sebagai penggerak utama yang progresif revolusioner menuju Indonesia maju dan beradab. Pada ibu kandung negeri inilah segalanya kita mulai.
Serang 13 Mei 2023