Oleh: Hamdan Suhaemi
Tesis ibthal Nasab sudah digaungkan satu tahun lalu bersamaan tidak ada bantahan ilmiah dari Rabithah Alawiyah, tesis ini murni produk pemikiran kiai pesantren, dari pergumulannya menemukan dalil-dalil kuat atas konfirmasi terputusnya nasab habaib dari nasab Sayid Ahmad al-Muhajir bin Sayid Isa al-Rumi, cucu Sayidina Husein Ibnu Sayidah Fathimah binti Rosulullah S.a.w.
Dalam proses refleksi itu tidak secuil pun memakai pijakan pemikiran Wahabi atau Muktazilah, bahkan atau khawarij, saya pastikan tuduhan atas itu tidak tepat. Karena saya saksi hidupnya, bahwa tesis itu murni bermaksud meninjau ulang nasab habaib karena berawal dari para dawir habib yang meresahkan kiai-kiai dan ustadz-ustadz kampung yang diperas dan dipalak oknum habib, bahkan tak jarang beberapa penceramah habib selalu isi ceramahnya ujaran kebencian dan provokatif.
Sekali lagi tidak benar tesis itu berdasarkan pola Wahabi atau khawarij, karena sejak kecil hingga sekarang sepanjang saya temani tidak pernah bersentuhan dengan pemikiran Wahabi, apalagi berguru ke ulama Wahabi, kalau berteman dengan orang orang PKS dulu di era 2004-2005 iya benar, tapi berteman bukan berarti ia Wahabi. Ibarat datangi tukang minyak wangi kena wanginya tapi tidak bisa disebut ia penjual minyak wangi.
Bahkan penulis tesis tersebut Ketua RMI PWNU Banten, dan anggota LBM PBNU, masa iya jelas NU nya dibilang Wahabi, pemikirannya pun jelas NU, dan iya mengikuti MKNU bersama saya, guru-gurunya juga ulama NU, lalu kok dibilang mengadopsi paham Wahabi itu darimana?. Saya ini saksi hidupnya.
Berbanding terbalik ketika menuduh Wahabi atau Muktazilah atas ulama NU, ada banyak didapati video atau YouTube yang isi ceramah habaib itu melecehkan kiai-kiai NU, yang viral kini adalah hinaan Taufiq Assegaf terhadap Gus Muwafiq, namun terkesan didiamkan begitu saja. Kalau bicara melanggar kode etik organisasi, lalu apa kesalahannya atas organisasi?, kalau salah tesisnya tentang nasab habaib maka bantahlah dengan bantahan ilmiah pula. Umat kita tengah menanti itu meski dalam kebingungan.
Yang menyakitkan adalah saya ini dan penulis tesis nasab habaib yakni KH. Imaduddin Usman begitu gigih melawan paham Wahabi hampir di setiap waktu. Lah kok tega sekali dibilang punya pemikiran Wahabi.
Kita tidak sama sekali mau dibenturkan sesama NU, sesama Aswaja, sesama pribumi. Karena kita tahu bahwa rugi besar jika yang jadi lawan debat itu saudara kita sendiri sesama pribumi yang tidak paham persoalan nasab. Karena itu keluarlah wahai para Habaib yang alim-alim dan jawab ini.
Daftar 12 Pertanyaan untuk Rabithah Alawiyah (RA)
- Mengapa Ibnu Samrah (w. 586 H) dalam kitabnya Tabaqat Fuqaha al-Yaman tidak menyebut 8 (delapan) nama keluarga Ba Alawi yang masa hidupnya sebelum Ibnu Samrah meninggal, atau semasa dengan hidup Ibnu Samrah?
- Apakah Ali, ayah Faqih Muqoddam adalah sosok historis yang ada di Tarim pada tahun 575 Hijriah?
- Mengapa kakek Fakih Muqoddam yang bernama Ali Khali Qosam (wafat tahun 529 Hijriah), ulama besar menurut Baalwi, tidak disebut oleh Ibnu Samrah?
- Mengapa ayahnya Ali Khali Qosam yang bernama Alwi II, tidak dicatat?
- Mengapa ayahnya Alwi II yang bernama Muhammad tidak dicatat?
- Mengapa ayahnya Muhammad yang bernama Alwi I tidak dicatat?
- Mengapa ayahnya Alwi I yang bernama Ubaidillah tidak dicatat?
- Mengapa Muhammad “Sohib Mirbat” Ba Alawi (wafat tahun 550 Hijriyah) tidak disebut, tapi Muhammad bin Ali al-Qola’i (wafat tahun 577 Hijriyah) disebut oleh Ibnu Samrah?
- Mengapa Muhammad bin Ali al-Qola’i namanya disebut Ibnu Samrah, tetapi gurunya, Muhammad “Sohib Mirbat” Ba Alawi, dilupakan?
- Betulkah Muhammad “Sohib Mirbat” adalah guru dari al-Qola’i?
- Betulkah Muhammad “Sohib Mirbat” pembawa Madzhab Syafi’i di Mirbat?
- Apakah ada nama Muhammad Sohib Mirbat disebut di dalam kitab sejarah yang mu’tabar sebelum abad ke-sembilan yang dikarang bukan Ba Alawi?
Jangan lagi memperalat ulama pribumi karena pertanyaan itu bukan untuk ulama pribumi, jangan memperalat muhibbin yang kadung cinta buta itu untuk melancarkan fitnahan. Bukankah habib itu berjenis kelamin laki-laki? lalu untuk apa memperalat muhibbinnya.
Ma’la, 5 Juni 2024