Nasab Ba Alawi, selain direkontruksi oleh kitab al-Burqoh al-Musyiqoh karya Habib Ali bin Abu Bakar al-Sakran, ia dilandaskan dengan tahun yang lebih tua dari al-Burqoh (895 H) kepada sebuah manuskrip kitab yang disebut kitab al-Jauhar al-Syafaf. Kitab itu, katanya, karya Syekh Abdurrahman bin Muhammad bin Abdurrahman al-Khatib yang, katanya, wafat tahun 855 H. Bahkan, kata Gus Rumail, al-Khatib menulisnya tahun 820 H.
Siapa Syekh Abdurrahman bin Muhammad al-Khatib itu? Informasi tentangnya bagaikan “benang kusut yang diurai orang buta”.
Ada dua nama yang sama, dengan ayah yang sama, bahkan kakek yang sama, serta kitab yang sama, Tetapi masa hidupnya berbeda. Adalah sebuah Kebetulan yang yang jarang terjadi di atas muka bumi kita.
Dalam literasi karya-karya Ba Alawi, Abdurrahman al-Khatib disebut wafat tahun 855 H. ia murid Habib Abdurrahman bin Muhammad Maula Dawilah (w. 819 H.), kakek pendiri nasab Ba Alawi, Ali bin Abu Bakar al-Sakran. Ia menulis kitab bernama al-Jauhar al-Syafaf. Kitab itu berisi tentang keramat-keramat para wali di Tarim. Didalamnya juga tersebut silsilah Ba Alawi.
Tetapi, ketika ditelusuri dalam kitab-kitab biografi ulama, nama Abdurrahman al-Khatib dengan sejarah dan masa hidup seperti dalam literasi Ba Alawi itu majhul (tidak dikenal). Tetapi ada nama yang sama yang terdeteksi, dengan ayah dan kitab yang sama. Ia adalah Abdurrahman bin Muhammad bin Abdurrahman yang wafat tahun 724 H. ia disebut dalam kitab-kitab biografi para ulama seperti al-Suluk karya al-Janadi (w. 732 H), al-Uqud al-Lu’luiyyah karya Ali bin Hasan al-Khojroji (w. 812 H.), Qiladat al-Nahar karya Ba Makhramah (w. 947 H.), Mu’jam al-Muallifin karya Umar Rido Kahhalah, Hadiyyat al-Arifin karya Ismail Basya al-Babani . kelima kitab itu sepakat bahwa Abdurrahman bin Muhammad bin Abdurrahman ini wafat pada tahun 724 H bukan 855 H. ia mempunyai kitab bernama al-Jauhar al-Syafaf. Bedanya dengan literasi Ba Alawi, ia tidak bergelar al-Khatib.
Lalu bagaimana sampai ada nama dan kitab yang sama ? jawaban pertanyaan ini bisa dijawab pendek, bisa juga panjang; Bisa dengan skeptis bisa juga dengan husnudzon. Bagi banyak orang, Jawaban pendek dengan husnudzon bisa saja dilakukan dengan mengabaikan kenyataan dari premis-premis mencurigakan itu dengan mengatakan persamaan nama dan kitab itu hanya sebuah kebetulan. Keduanya memang sama-sama ada, dan sama-sama sebuah kebenaran yang berjalan apa adanya. Pengabaian terhadap premis-premis mencurigakan dari sejarah dan nasab Ba Alawi inilah yang dilakukan para ulama dan sejarawan Yaman masa lalu bahkan sampai sekarang.
Penguasaan sebagian resources manuskrip yang dilakukan Ba Alawi terhadap sejarah Hadramaut terutama sejarah keagamaan di Tarim, memungkinkan mereka untuk mengurut historiografi sebagaimana kontruksi sejarah yang mereka inginkan. Bila seorang sejarawan Hadramaut hari ini ingin menulis sejarah Hadramaut hanya berjalan dalam lorong-lorong perpustakaan yang hari ini tersedia atau disediakan Ba Alawi dengan husnudzon, maka ia sebenarnya bukan sedang menelusuri fakta sejarah Hadramaut, tetapi ia sedang berada di dalam ruang sejarah yang diciptakan. Jika ia ingin menelusuri sejarah Hadramaut yang sesungguhnya, Ia harus terbang tinggi meninggalkan Bumi Hadramaut lalu memandangnya dari ketinggian dan mencari sisa-sisa sumber yang masih suci dari tangan Ba Alawi. Dengan itu baru ia akan mendapatkan fakta sejarah yang sesungguhnya.
Penulis sering mendapati premis-premis manipulative dari kerangka sejarah dan nasab Ba Alawi, oleh karena itu penulis melaksanakan Skeptisisme filosofis dalam menghadapi historiografi Hadramaut dan Tarim jika sumber itu telah terjamah Ba Alawi. Hasilnya, penulis tidak mudah terjebak ke dalam cipta kondisi dari konklusi yang diinginkan Ba Alawi. Penulis pernah mengatakan jika para sejarawan Yaman dan Hadramaut bertemu penulis, maka mereka akan tercerahkan. Pernyataan itu bukan mengada-ada dan berlebihan, tetapi karena penulis mengira bahwa memang para sejarawan di sana hari ini belum menyadari tentang apa yang telah penulis sampaikan di atas. Atau bisa saja sebenarnya mereka telah menyadari, tetapi hegemoni Ba Alawi yang relative kuat bisa mengatasinya, sehingga kesadaran pikiran-pikiran itu tidak sampai ke public yang lebih luas dan mudah dideligitimasi dan dimarginalkan kembali.
Sebagai contoh kekinian, bagaimana usaha Gus Rumail mencari sumber sezaman untuk nasab Ba Alawi agar tersambung dari keterputusan 550 tahun itu. Ia menyajikan beberapa sanad hadis yang katanya berasal dari manuskrip yang ia temukan, manuskrip itu katanya ditulis sezaman dengan Ubaidillah. Di dalamnya terdapat nama-nama keluarga Ba Alawi yang tercatat sebagai seorang perawi hadits. Gus Rumail tidak mengatakan manuskrip itu ditemukan dari mana, ditulis oleh siapa, tahun berapa ditulis, hari ini manuskrip itu dipegang oleh siapa? ia hanya memperlihatkan foto manuskrip itu, tanpa mengatakan ia memfoto dari mana?
Tanpa keraguan sedikitpun Penulis berani menyatakan manuskrip itu halu dan isnad yang disebutkan adalah palsu. Santri Gunung dan Sani Uye, dua orang konten creator youtube telah dapat menelusuri sebuah isnad dari foto manuskrip yang paling penting itu, dan telah terbukti bahwa isnad itu palsu. Jika manuskrip itu halu dan sanadnya palsu lalu siapa yang memalsukan ? Jelas yang memalsukan itu adalah yang menulis. Lalu siapa yang menulis? Gus Rumail? belum tentu. Bisa saja ia hanya korban dari penulis manuskrip halu itu, Jika memang manuskrip itu memang pernah ditulis.
Penulis tidak tertarik untuk meneliti sanad dari “manuskrip” Gus Rumail itu. Bagi penulis, sebuah tulisan dalam kertas yang menulis sebuah angka tahun tua, itu tidak berarti ia ditulis di tahun itu. Jadi angka tahun dalam sebuah redaksi manuskrip itu tidak bermakna apa-apa bagi validitas dan orisinalitas sebuah manuskrip. Contoh begini:
“Nyai Ratu Rara Santang binti Prabu Siliwangi berkata: Aku bersama anakku Syarif Hidayatullah meninggalkan Mesir 1560 M.”
Kalimat yang menyebut angka 1560 Masehi itu tidak serta merta menunjukan bahwa bahwa manuskrip yang memuat itu ditulis pada tahun tersebut. Tidak pula menunjukan bahwa yang menulis itu adalah Nyai Ratu Rara Santang, kenapa? karena kalimat “Nyai Ratu Rara Santang binti Prabu Siliwangi berkata” menunjukan bahwa yang menulis bukan Nyai Rara Ratu Rara Santang. Ada orang lain yang bercerita bahwa Nyai Ratu Rara Santang mengucapkan demikian. Lalu siapa yang bercerita dan menulis itu ? nah, untuk mengetahui umur manuskrip harus diketahui siapa yang menulis itu. Setelah diketahui siapa yang menulis kemudian diteliti ia hidup tahun berapa? apa dengan diketahuinya masa hidup orang itu kita bisa mengatakan bahwa manuskrip itu ditulis di tahun itu ? belum. Harus dilihat dulu media manuskrip itu, apabila ia adalah berupa perunggu kita lihat perunggu model seperti itu biasa digunakan di masa tahun berapa? jika tahun kemungkinan perunggu itu dibuat, sesuai dengan masa hidup penulis manuskrip itu, maka bisa diyakini ia manuskrip asli. Jika tidak, maka harus diketahui manuskrip itu ditulis berdasar salinan tahun berapa dst.
Setelah orisinalitas manuskrip itu diketahui, maka kemudian baru validitasnya, benarkah informasi yang terdapat dalam manuskrip itu sesuai dengan sumber lainnya? benarkah Rara Santang adalah anak Prabu Siliwangi? benarkah Syarif Hidayatullah adalah anak Rara Santang? benarkah Rara Santang pernah ke Mesir? dst.
Isnad palsu milik Gus Rumail yang dibongkar Santri Gunung, ketika dibandingkan dengan kitab lainnya di situ ada nama yang kemudian dibiaskan kenama orang lain yang mirip. Dalam manuskrip Gus rumail disebut nama Abul Qosim annaffat terus sampai ke Ubaidillah, ternyata isnad ini adalah hasil “merampok” dari isnad asli dalam kitab Tuhfatul Huffadz karya al-Dzahabi, nama yang benar dari perawi itu adalah Abul Qosim al-Tabrani, bukan Abul Qosim al-Naffat.
Isnad yang lain yang ditampilkan Gus Rumail itu, kemungkinan besar, akan sama kedudukannya dengan isnad yang telah jelas kepalsuannya itu.
Kembali ke kitab al-Jauhar al-Syafaf karya Abdurahman al-Khatib. Kitab yang berupa manuskrip itu penulis memiliki salinan mikrofilmnya. Tulisannya tulisan baru, dengan gaya khot baru, disalin oleh Salim bin Ali bin Husain bin Abdurrahman bin Abdullah bin Umar al-Khatib tahun 1410 H. berarti hanya baru 35 tahun yang lalu. Dari namanya yang pakai al-Khtaib, agaknya penyalin itu keturunan dari Abdurrahman al-Khatib yang disebut sebagai penulis kitab itu. Manuskrip ini sungguh tidak dapat menjadi rujukan, karena penyalin tidak menyebutkan dari manuskrip tahun berapa ia menyalin. Bisa saja ia bukan disalin tetapi baru ditulis. Atau ia disalin dengan diinterpolasi di sana sini.
Yang sangat mencurigakan sekali adalah, ketika sang penyalin ini menuliskan angka tahun wafat Abdurrahman al-Khatib, pertama ia menulis angka tahun 855 Hijriah, lalu angka ini dicoret dan diganti dengan angka baru yaitu 641 hijriah (lihat manuskrip al-jauhar halaman 249). Agaknya ia sendiri ragu akan kapan Abdurrahman al-Khatib ini wafat. Jangan-jangan al-Khatib yang ia sematkan kepada Abdurrahman sebagai pengarang al-jauhar al-Syafaf ini salah orang.
Jadi, kasusnya mirip dengan nasab Ba Alawi. Ketika ada nama Abdullah dalam kitab al-Suluk tahun 732 H., kemudian dikira ia adalah leluhur Ba Alawi yang bernama Ubaid. Begitupula, ketika ada nama ulama besar bernama Abdurrahman bin Muhammad al-Hadrami yang wafat tahun 724 H., lalu keturunannya mengira bahwa ia adalah orang yang sama dengan kakeknya yang wafat 855 H. Ketika dalam kitab-kitab tua disebut ia mempunyai kitab al-jauhar al-Syafaf, dan manuskripnya tidak ditemukan, maka kemudian kitab itu sengaja ditulis, padahal kitab yang ditulis itu bukan karya Abdurahman bin Muhammad al-Hadrami yang dimaksud kitab tua itu, sehingga akhirnya, sekarang timbul kerancuan yang tiada henti, kitab itu tidak berani untuk dicetak, karena kesejarahan pengarangnya sangat problematik. Urutan tahun yang tidak sama sulit untuk dikompromikan, karena jarak perbedaan tahunnya mencapai 131 tahun.
Penulis: Imaduddin Utsman al-Bantani