Secara epistemologis, ilmu nasab adalah merupakan cabang ilmu sejarah. Historiografi yang sudah matang dari sebuah sejarah dan nasab yang hari ini kita kenal, terkadang sebenarnya adalah cipta kondisi dari proyek masa lalu dari mereka yang memiliki otoritas dan sumberdaya dari komunitas yang diuntungkan dengan historiografi tersebut. Fabrikasi kisah-kisah keagungan seorang tokoh masa lalu, baik dari peran-peran heroisme di medan perang, maupun peran keagamaan sampai keramat-keramat wali yang difabrikasi sedemikan rupa, serta falsifikasi data-data pendukung, adalah dua cara yang lazim digunakan para pemalsu nasab dan sejarah demi mencapai tujuannya.
Cipta kondisi tersebut bertujuan untuk mencapai posisi penting dalam kawasan di mana historiografi itu dibentuk, lalu dijadikan sebagai legitimasi bagi sebuah otoritas kepemimpinan baik politik maupun sosial-keagamaan. Tidak hanya sampai di situ, hasil cipta-kondisi itu akan dapat dirasakan, bukan hanya untuk pelaku tapi juga, untuk anak-keturunannya. Biasanya, cipta kondisi yang berupa fabrikasi sejarah dan falsifikasi data itu dilakukan oleh sebuah komunitas pendatang di suatu kawasan, atau oleh komunitas local yang leluhurnya tidak mempunyai peran-peran penting di masa lalu dalam sejarah kawasan tersebut.
Sistem demokrasi yang memberi ruang yang sama bagi seluruh anak bangsa untuk tampil mengekspresikan potensi maksimal dan prestasi mereka, tanpa dilihat kesejarahan leluhurnya, kadang tidak membuat sebagian elemen percaya diri untuk bersaing dengan elemen lainnya, tanpa mengkapitalisasi unsur-unsur dari sisa-sisa feodalisme yang primitive. Di saat yang sama, adanya tafsir-tafsir keagamaan yang terlanjur diterima oleh sebagian faham keagamaan, misalnya tentang memberi penghormatan lebih terhadap keturunan Nabi Muhammad Saw, adalah salah satu factor yang memicu adanya usaha-usaha fabrikasi dan falsifikasi dari nasab dan sejarah leluhur.
Tetapi jangan khawatir, kebenaran mempunyai jalan yang telah diciptakan Allah Swt. untuk senantiasa mengawal manusia agar tidak dapat disesatkan oleh para pelaku pemalsuan tersebut. Diantaranya adalah teori kitab sezaman dalam menakar kesahihan nasab dan sejarah. Para ulama nasab dan sejarah telah membuat pola uji kesahihan sebuah nasab dan sejarah dengan cara: apakah klaim nasab dan sejarah dapat dibuktikan dengan sumber sezaman atau yang mendekatinya atau tidak?.
Sayyid Husain bin Haidar al-Hasyimi dalam kitabnya “Rasa’il fi Ilm al-Ansab” halaman 183-184 mengatakan tentang cara mendeteksi kesahihan nasab dengan kitab sezaman:
فإن الله يهيئ للقرون الابدال في الدين، والابدال في كل العلوم والحقائق التى في فلك الدين، فطريقة الحبر البدل في تحقيق الانساب وكشف زورها ان يقوم بتحرير السلسلة ودراستها دراسة كاملة متكاملة من جميع النواحي على النحو التالي:
- ان يدرس السلسلة المعروضة عليه دراسة نسبية محضة، فهو يلاحظ بحواسه كلها، ويصنف وينظم البيانات والمعلومات ويلخص الافكار، ويطبق خبراته. وهذه الدراسة على اي حال – في النسبة الصادقة او في الدعوى – تكون عبر مراحل يتبعها النسابة المحقق ، وهي:
أ- تحرير النسب بمعني ان يبسط النسب تارة ويشجره أخرى الخ
ب- يعد النسابة طبقات السلسلة ويقدر تواريخ الولادة والوفاة اذا جهلت لغير العلويين، ويوزع الطبقات على الفترة الزمنية التي شغلتها السلسلة ، ويوثق هذه الطبقات من المصادر المعتبرة ما امكن الى آخر طبقة يمكن توثيقها وتخريجها من تلك المصادر.
ت- متى صحت النسبة للفرد او للجماعة فان النسابة يقوم بتقويم السلسلة وتصويب الخلل الطارئ عليها – ما لو وجد- ما دامت صحيحة غير مكذوبة، واما الكذب فلا يتأتى معه اصلاح الخلل وضبطه ومراجعته على المصادر المتخصصة ومقابلته عليها.
“Maka sesungguhnya Allah menyiapkan bagi setiap masa para ‘abdal’ dalam agama. Para abdal itu (ada) dalam setiap ilmu dan hakikat yang ada dalam orbit agama, maka cara ‘al-habr’ (orang alim) yang ‘al-badal’ (ulama utama dalam setiap masa) dalam memverifikasi silsilah dan mengungkap kepalsuannya adalah dengan meneliti silsilah dan mengkajinya dengan kajian yang sempurna dan terintegrasi dari segala aspek sebagai berikut:
- Ia mempelajari silsilah yang disajikan kepadanya dengan kajian nasab yang murni, mengamati dengan seluruh indranya, mengklasifikasikan dan menyusun data-data dan informasi-informasi, merangkum pemikiran-pemikiran, dan menerapkan pengalamannya. Kajian ini, bagaimanapun juga – baik dalam silsilah yang benar maupun (silsilah yang hanya) pengakuan – berlangsung melalui tahapan-tahapan yang (biasa) dijalankan oleh seorang ahli nasab yang muhaqiq (mentepakan berdasar dalil), yaitu:
a) Penelitian nasab, yaitu ia menulis nasab secara mubassat (ditulis dari ayah ke anak) dalam satu waktu, dan membuat musyajjar (susunan pohon nasab dari anak ke ayah) dalam waktu lainnya. Dst.
b) Ahli nasab (peneliti) menghitung (ada berapa) tobaqot (lapisan) silsilah itu. Lalu memperkirakan tanggal lahir dan kematian (nya masing-masing), jika tidak diketahui, (ini) bagi (silsilah) orang non-Alawi (jika ia alawi biasanya tanggal lahir dan wafat tercatat rapih), lalu membagi tobaqot-tobaqot tersebut dengan periode waktu (tahun hidup) yang ditempati silsilah tersebut, dan menguji keabsahan setiap tobaqot (silsilah) tersebut dengan sumber-sumber (kitab atau yang lainnya) yang dapat dipercaya semaksimal mungkin hingga tobaqot terakhir yang dapat diuji kesahihannya dan di takhrij dari sumber-sumber tersebut.
c) Ketika nasab itu sahih untuk seseorang atau suatu kelompok, maka ahli nasab akan memperbaiki cacat yang terjadi di dalam silsilah itu, jika ada, dan jika nasab itu nasab yang benar bukan nasab yang dusta. Jika nasab itu dusta, maka tidak akan bisa diperbaiki, didobiti (diluruskan), (tidak akan pula dapat) di cari referensinya dari sumber-sumber khusus itu (serta tidak dapat) di muqobalah (dihadapkan) dengan sumber-sumber itu.”
Dari kutipan penulis di atas, jelaslah bagaimana narasi yang dibangun oleh para pembela nasab Ba Alawi, bahwa tidak ada ahli nasab yang mensaratkan adanya kitab sezaman itu tidak benar. Persaratan sumber sezaman bagi nasab dan sejarah adalah mutlak bagi siapa saja orang yang ingin meneliti kesahihan klaim nasab dan sejarah.
Pesantren-pesantren kita, harus selangkah lebih maju dalam pemikiran keagamaan, bukan hanya dalam bagaimana mempertahankan legacy yang baik, tetapi bagaimana mengambil peran dalam mengembangkan sesuatu yang baru yang lebih baik. Kita juga, harus mulai memperkenalkan pemikiran-pemikiran yang progresiv kepada para santri kita, pemikiran-pemikiran yang akan mengangkat harkat kemanusiaan mereka sebagai manusia merdeka yang melekat akal-budi yang difitrahkan Allah Swt sebagai manusia yang sempurna.
Sebagaimana Imam Malik mempunyai santri Imam Syafi’i. Imam Malik adalah guru yang berhasil mengangkat Imam Syafi’I menjadi salah satu manusia utama di muka bumi ini, kenapa? Karena imam Malik mendidik Imam syafi’I bukan dengan doktrin kebarokahan mengikuti guru, tetapi mendidiknya agar Imam Syafi’I mampu menemukan hakikat kebenaran yang diyakininya sebagaimana gurunya telah mencapai derajat itu, walau dengan itu muridnya kemudian mempunyai kesimpulan yang berbeda dengan gurunya dalam memahami kebenaran yang diyakini.
Penulis: Imaduddin Utsman al-bantani