Tangerang, RMI-NU Banten
Banten merupakan provinsi buah dari reformasi. Jauh sebelum Indonesia merdeka Banten merupakan sebuah keajaan yang berdaulat mutlak. Dibanten juga tercatat ada pelabuhan internasional yaitu pelabuhan Karangantu ratusan kapal berbendera asing bersandar di sana untuk mengangkut rempah-rempah hasil pertanian di Banten. Banten tempo dulu merupan kawasan eksotik, konon katanya kemolekan pantainya sebelum bencana besar letusan gunung krakatau yang terdasyat sepanjang sejarah mengalahkan pantai di kawasan Paris.
Era reformasi membawa berkah tersendiri bagi Banten, hasil jerih payah tokoh-tokoh Banten memperjuangkan Banten menjadi sebuah provinsi membuahkan hasil.
Kini Banten dibawah kepemimpinan Dr. H. Wahidin Halim, M.Si terus berbenah mengejar ketertinggalan dari provinsi-provinsi yang sudah mapan terutama dalam hal infrastuktur, disamping pembangunan SDM.
Banyak hal yang telah ditata oleh pemprov Banten, tetapi penulis hanya memframe pada eksistensi pesantren di Banten. Pesantren di Banten merupakan pesantren tertua di Nusantara sebagai warisan peradaban yang memiliki nilai luhur tiada tanding. Karena bagaimanapun pesantren merupakan wadah transmisi sanad keilmuan para ulama yang pada akhirnya bersambung kepada Rasulullah.
Dari atsar pesantren itu karakteristik keagamaan khususnya Islam di Nusantara memiliki wajah yang ramah sesuai dengan alam nusantara yang ramah molek dan eksotik. Karena bagaimanapun secara antropologi alam mempengaruhi psikologis penghuninya. Penghuni padang pasir yang tandus dan gersang tentu akan berbeda karakteristiknya dengan penghuni daerah yang eksotik asri seperti nusantara. Gaya komunikasi orang pesisir pantai dengan daerah dataran tinggi seperti pegunungan tentu juga berbeda.
Pesantren sebagai subkultur kata Gus Dur sesungguhnya mewarisi tradisi vihara Hindu-Budha dalam hal tatakrama. Tradisi cium tangan ke sang Kiai hanya ada di Nusantara di belahan bumi Arab tidak pernah dikenal. Zamakhasry Dhofier mengkaji begitu apik tentang pesantren, sehingga menyimpulkan pesantren dulu merupakan penancang kokoh teologi, hukum dan tasauf (akhlak). Karena perpaduan 3 unsur tersebut pesantren melahirkan generasi “lentur” tidak melihat agama sebagai fiqh oriented semata, tetapi dipadukan dengan sosial kemasyarakatan yang ada. Sehingga mengalami saling tarik menarik antara tarikan budaya dan agama tanpa mengenyampingkan keduannya. Dari itu ada “kemesraan” ritme kehidupan. Ini tampak pada perayaan maulid, resepsi pernikahan, debus dan penanggalan Jawa dengan istilah satu suro.
Pesantren sebagai subkultur pada era itu merupakan satu-satunya lembaga pendidikan yang memiliki otoritas segala hal mengenai kebutuhan hajat orang banyak. Pesantren kala itu kurikulumnya tidak hanya membahas ushuluddin tetapi juga membahas ilmu-ilmu yang terkait langsung dengan kehidupan real. Berdasarkan manuskrif kuno yang telah diteliti oleh Ahmad Baso pesantren kala itu mengajarkan juga ilmu pertanian, pengobatan, kelautan, sastra, dan budaya tulis menulis (literasi), bahasa asing disamping “kejadugan” kekuatan magis”.
Pesantren juga diakui sebagai benteng pertahan kokoh yang mengajarkan karateristik mulia atau budi pekerti. Di pesantren akhlak atau Moral dalam dialektika Barat, menjadi kebiasaan karena diteladankan oleh sang kyai. Pesantren jika di tinjau penanaman akhlaknya dalam kacamata Jesse Prinz pada bukunya The Emotional Contruction of Morals (2007) selaras. Karena akhlak sesungguhnya perilaku empiris yang dibakuan oleh perasaan emosional. Dari itu Jesse menolak teori yang dibangun oleh David Hume yang menyatakan moral sebagai sesuatu yang nativis dan bersipat ajeg tidak ada ruang untuk diperdebatkan karena sudah “given”.
Pesantren sebagai warisan budaya harus tetap ada sepanjang manusia nusantara itu ada dibelahan bumi ini. Kini pesantren terbukti mampu bertahan dalam gempuran kehidupan modern yang begitu dinamis. Pesantren sedikit-demi sedikit membuka diri secara alamiah menjawab tantangan jaman, dari itu pesantren kini sekalipun tradisional ada yang mengadopsi kurikulum barat, sehingga santripun tak asing dengan teori-teori ilmu sosial yang berasal dari Barat.
Dari catatan sekilas itu wajar jika kebijakan WH ada kepedulian terhadap eksistensi pesantren. Berdasarkan informasi situs resmi Web pemprov Banten. Pada tahun 2020 Provinsi Banten mengalokasikan Dana hibah untuk pesantren-pesantren yang ada di Banten sebesar Rp 117 milyar. Yang disalurkan kepada 3000-an pesanten. Di mana masing-masing pesantren mendapat @ 30 juta rupiah. Dana tersebut merupakan dana hibah yang diperuntukkan kegiatan pesantren termasuk biaya perawatan pesantren.
Dari bantuan hibah tersebut menunjukan pemerintah provinsi Banten berkomitmen memajukan eksistensi pesantren yang ada diwilayahnya. Kedepan semoga pemprov Banten bisa lebih memaksimalkan program tersebut. Karena dari alokasi dana tersebut belum seluruhnya pesantren yang ada mendapatkan dana hibah. Untuk itu perlu kiranya Pemprov Banten memiliki database utuh dan akurat sehingga bisa dipetakan mana pesantren yang sudah mendapat bantuan, mana pesantren yang sama sekali belum merasakan bantuan. Dari data tersebut tahap berikutnya diprioritaskan untuk pesantren yang belum mendapatkan bantuan. Sehingga pada akhirnya semua pesantren mendapatkan bantuan walaupun secara bergantian tiap tahun.
Untuk memudahkan inventarisir berbasis faktual lapangan, pemprov banten perlu kiranya menggandeng ormas, ataupun komunitas pesantren. Sudah menjadi keumuman pesantren khususnya yang memelihara tradisi kitab kuning adalah pesantren-pesantren Nahdlatul Ulama (NU). Di NU sendiri ada lembaga yang khusus membidangi pesantren yaitu Rabithah Ma’ahid al-Islamiyah (RMI). Di tambah secara kultural psikologis 80% masyarakat Banten adalah Nahdlatul Ulama. Maka salah langkah jika Pemrov hanya menggandeng ormas pesantren yang tak memiliki basis kultural kebantanan dalam menyalurkan bantuan dana hibah yang terbilang cukup besar untuk ukuran bantuan keagamaan. Dari itu semoga ulasan saya sebagai salah satu warga Banten yang peduli terhadap pesantren ini menjadi pertimbangan bagi pemprov dalam menjalin kerjasama untuk menyalurkan bantuan tidak bersumber tunggal dari satu ormas.
Kontributor: AA Bass