Oleh: Kyai M. Hamdan Suhaemi
Menjelang satu abad NU di Indonesia dari perjalanannya yang panjang sejak kelahirannya 31 Januari 1926, NU (Nahdlatul Ulama) adalah satu dari organisasi keagamaan yang terdepan dalam hal kecintaanya pada negeri. Konsekuensi epistemoligis yang dipilih oleh NU untuk berdiri kokoh dalam sikap agama, sikap budaya dan sikap politik dalam bingkai nasionalisme kerap mendapatkan tudingan dan kritik tajam dari mereka yang hanya memiliki naluri membela agamanya an sich (tegaknya Syari’at Islam). Bahkan NU harus dimusuhi hanya karena beda pandangan politik, beda dalam pandangan furu’iyyah. Tak jarang pula pelajar yang berasal dari sekolah umum dan hanya mendapatkan diklat pendidikan agama secara singkat atau pesantren kilat sudah berani mengkritik dan menyalahkan kiai-kiai NU yang duduk di jajaran Dewan Syuriah yang secara penguasaan ilmu agama jauh lebih luas (faqih) dan detil darinya.
Deliar Noer dalam karyanya The Modernist Musim Movement in Indonesia 1900-1942 menguraikan bahwa Kiai Hasyim Asy’ari di tahun 1935 dalam ajang Muktamar NU di Banjarmasin Kalimantan Selatan telah mengelurkan sebuah sirkuler (pernyataan seruan) yang menyeru kepada semua ulama peserta kongres (muktamar) untuk mengesampingkan semua pertikaian, membuang perasaan ta’assub (fanatik) dalam berpendapat, melupakan segala cacian dan celaan terhadap sesama serta menegakan persatuan, Kiai Hasyim mendesak mereka untuk mepertahankan al-Quran dan Allah serta menolak yang salah, teguh tegak dalam hal-hal yang prinsipil saja, belalah agama Islam, berijtihadlah menolak orang-orang yang menghina al-Quran dan sifat-sifat Tuhan. Sirkuler Kiai Hasyim Asy’ari itu tertuang dalam risalah berjudul al-Mawai’dh.
Sikap Kiai Hasyim Asy’ari dalam upayanya meredam pertentangan sesama umat Islam khususnya yang berhaluan modern yang diwakili oleh PSI, PII, MD dan al-Irsyad dengan yang berhaluan tradisional yang diwakili oleh NU merupakan perwujudan dari kebesaran jiwa dan pengaruhnya yang dialiri prinsip nasionalismenya dengan titik dasarnya hubbul athon minal iman. Meski demikian kalangan Islam modernis yang diwakili M. Natsir cenderung menolak pola kebangsaan dari kalangan NU, tokoh muda Persis ini di tahun 1939 menyuarakan perjuangannya bahwa“ selama (negeri) belum didasarkan dan diatur menurut susunan hukum kenegaran Islam perjuangan itu tidak berhenti “.
Tercatat dalam sejarahnya bahwa Kiai Hasyim Asy’ari sebelum sidang BPUPKI tanggal 1 Juni 1945 menerima utusan Soekarno dengan maksud meminta fatwa atas Pancasila sebagai dasar negara Republik Indonesia. Kemudian Kiai Hasyim Asy’ari merestui Pancasila sebagai dasar negara beradasarkan pandangan ijtihadiyah dan restu Allah melalui sholat istikharoh yang dilakukan oleh Kiai Hasyim selama 3 hari. Fatwa Kiai Hasyim Asy’ari atas Pancasila sebagai dasar negara bagi Soekarno adalah pegangan spiritual yang kuat. Pada kondisi inilah NU berperan begitu vitalnya dalam mewujudkan negara bangsa dengan kesepakatan-kesepakatan para pendiri negara (daar al-mitsaq), namun tetap berpegang teguh pada teologi Islam Ahlu Sunnah Wal Jama’ah sebagai manhaj beragama.
Selanjutnya bahwa fenomena kebencian dan penghinaan atas NU itu bukan baru-baru ini, tapi hal itu sudah sejak kelahirannya NU selalu dibenci, dikritik dan dihinakan. Entah karena NU selalu kontroversial, ataukah karakternya yang inklusif, moderat dan mengayomi. Seringnya mereka tuduhkan NU sebagai organisasi yang oportunis, munafik dan dlalal (sesat). Kita ingat sejarah masuknya NU dalam NASAKOM (Nasionalis Agamais Komunis) di era 60-an, tokoh-tokoh Masyumi mengeluarkan pernyataannya bahwa NU telah khianat, padahal itu hanya siyasah (taktik) dengan berpegang pada prinsip ghoir mukholith (tidak bercampur), Kiai NU saat itu KH. Wahab Chasbullah dengan nalarnya yang tajam didasari prinsip epistemologi NU (Qonun Asasi) dan didasari prinsip khususiat (muroqobah ila Allahi bi al-Istikhoroti) memilih untuk bergabung dengan NASAKOM dalam upaya penghalangan pengaruh dan propaganda PKI secara policy (kebijakan pemerintah) dan secara konstitusional dalam upayanya merubah Pancasila.
NU seperti ibu kandungnya bagi NKRI ( Nlegara Kesatuan Republik Indonesia ) sejak awal pendirianya terus menumbuhkan semangat nasionalisme (cinta negeri) pada semua pihak tak terkecuali terhadap kaum pergerakan, NU secara massif mendakwahkan kecintaanya pada negeri dengan prinsipnya yang terkenal “hubbul wathon minal iman “ (cinta tanah air adalah sebagian dari iman). Suluh nasionalisme yang selalu dikobarkan oleh kiai-kiai NU seperti halnya yang dilakukan oleh KH. Wahid Hasyim ketika menerima pencoretan 7 kata dalam pembukaan di Piagam Jakarta (Jakarta Charter) sebagai sikap kebangsaan yang dipilih sehingga menuai kritik dari golongan Islamis sebagai kekalahan Islam secara konstitusional. Padahal Kiai Wahid secara rasional dan spiritual selalu membangun komunikasi yang intensif dengan orang tuanya yakni Hadratus Syaikh Hasyim Asy’ari di Tebuireng, tentunya hal yang prinsipil tersebut tidak luput dari perhatian 2 tokoh NU yang berpengaruh itu. Sikap nerima pencoretan 7 kata tersebut bagi Kiai Wahid adalah bukan sebagai kekalahan Islam tapi mempertegas sebagai kemenangan bersama semua rakyat Indonesia yang satu ittikad mempertahankan kehidupan yang rukun, toleran dan damai dalam kemajemukan pada bingkai kebangsaan yang utuh.
Kini, NU yang selalu takdirnya berbeda dengan haluan kalangan Islam modernis, khususnya HTI yang menghendaki sistem khilafah ditegakkan sebagai pengganti dari sistem demokrasi dan mengganti dasar negara. Pada situasi ini NU dituduh anti-Islam, dianggap membela kaum penista agama, dicap kafir dan sesat. Namun NU tak surut dan tak pernah mundur setapak pun untuk mempertahankan Pancasila dan NKRI sebagai yang final dan harga mati. Jikapun ada kekuatan dari dalam atau dari luar yang merongrong kadaulatan negara, dan juga yang merusak agama serta yang mengoyak keutuhan bangsa, maka NU meneguhkan kesetiaannya atas agama, bangsa dan negaranya. Ini sikap tegas pembelaan NU sejak dulu hingga sekarang.
Serang, 16 November 2021