Oleh: Alwiyan Qosyid Syam’un (Pengasuh Pesantren Al-Khaeriyah Citangkil Cilegon)
Banyak yang tersentak dan tidak mampu menjawabnya ketika dihadapkan dengan pertanyaan, mengapa kita dan para ulama percaya bahwa dalam kitab shahih Bukhari benar-benar berisikan kata-kata Nabi Saw? Padahal kitab tersebut ditulis jauh setelah Nabi Saw dan para sahabatnya wafat.
Kitab Shahih Bukhori dipercaya sebagai kitab yang berisikan kata-kata Nabi Saw bukan karena personifikasi Imam Bukhori ansich tapi karena standar epistemologi, ontologi dan aksiologi terutama metodologi Imam Bukhari yang dipandang ilmiah dan ketat oleh para ulama. Dari sekian puluh ribu matan hadits yang dihafal oleh Imam Bukhari berikut rangkaian sanad dan perawinya tapi yang dimasukan ke dalam kitab shahihnya hanya kisaran 7.000an hadits dan selebihnya yang puluhan ribu matan tidak dimasukan karena oleh Imam Bukhori dipandang tidak memenuhi standar metodologi yang digunakan oleh Imam Bukhari, baik dari sisi matannya, sanadnya maupun perowinya dengan syarat-syarat yang telah ditentukan kepada masing-masingnya.
Hal tersebut mengisyaratkan betapa ketatnya standar metodologi Imam Bukhari dalam menetapkan syarat syarat terhadap matan, sanad dan perowi sebagai wujud kehati-hatian dalam menetapkan status sebuah hadits. Inilah mengapa sebagian besar ulama mempercayai bahwa di dalam kitab Shahih Bukhari isinya adalah kata-kata Nabi Saw, bahkan jumhur ulama berpendapat bahwa kitab yang paling shahih setelah Alqur’an adalah kitab Shahih Bukhari. Bahkan ketika Imam Bukhari menilai seorang yang meriwayatkan hadits dalam konteks jarh wata’dil dengan fihi nadzor, maka tidak satupun hadits shahihnya yang mengambil riwayat dari orang dengan status fihi nadzor.
Apa intinya?
Kebenaran itu bukan ditentukan oleh siapa yang mengatakannya atau karena sedikit atau banyak yang setuju atau tidak setuju tapi karena syarat syaratnya terpenuhi. Karenanya, tak perlu silau kepada seseorang kecuali ia adalah sosok pemilik otoritas kebenaran seperti para Nabi dan Rasulullah. Lihatlah apa yang dikatakannya bukan siapa yang mengatakannya, periksalah secara epistemologis sebagai upaya verifikasi dan validasi pengetahun, karena siapapun itu jika tidak memiliki skill berpikir epistemologis maka patut diduga kesimpulannya salah. Epistemologi merupakan mahkamah konstitusi scientific yang berfungsi menguji validitas pengetahuan atau pernyataan scientific.
Seperti halnya perkara benar atau tidaknya pengakuan Ba’alawi atau para habaib bahwa nasab geneologis mereka tersambung kepada Nabi Saw harus dibuktikan secara ilmiah dengan standar metode tertentu bukan karena perkataan seseorang yang tidak teruji kebenarannya. Konsekuensi dari sebuah pengakuan adalah pembuktian, sama dengan ketika kanjeng Nabi Muhammad Saw mengaku sebagai utusan Allah, masyarakat minta bukti, maka turunlah mukjizat. Begitupun ketika ada orang yang mengaku cucu Nabi Saw, masyarakat minta pembuktian, ya tinggal dibuktikan saja secara ilmiah, biasa saja kan?
Kita ketahui bersama bahwa perkara pengakuan nasab Ba Alawi yang tersambung kepada Rasulullah Saw bukanlah perkara agama, karena tidak ada satupun teks agama yakni Alqur’an atau hadits secara tersurat maupun tersirat yang mengatakan bahwa Ba’alawi adalah dzuriyyat Nabi Saw. Bukan pula perkara yang bersifat subjektif seperti barokah atau tidak barokahnya Ba’alawi, baik atau buruknya akhlak seorang Ba’alawi, cerdas atau bodohnya seorang Ba’alawi, berjasa atau tidaknya hidup seorang Ba’alawi, membenci atau mencintai Ba’alawi, banyak yang setuju atau menolaknya “TETAPI” perkara yang harus dibuktikan melalui penelitian secara ilmiah, itu baru namanya objektif dan adil menempatkan sesuatu pada tempatnya, Wallahu a’lam.
RESIKO PERNIKAHAN SEDARAH DARI KLAN HABIB BA’ALWI DITINJAU DARI SISI GENETIKA
"Saya seorang Muslim dan agama saya membuat saya menentang segala bentuk rasisme. Itu membuat saya tidak menilai pria mana pun...
Read more