Sebagai orang NU yang telah diajarkan sikap tasamuh, tawazun dan ta’adul ( bersikap adil ) tentu melihat polemik nasab ini perlu kepala dingin dan jiwa yang lebar, tidak harus emosi dan nir akhlak, sebab polemik tersebut tidak dimaksudkan sebagai tujuan, tetapi efek dari perbedaan paham saja, meski kadang tajam. Dua tahun belakangan terisi polemik hampir di setiap ruang-ruang diskusi.
Sebenarnya warga Nahdliyyin relatif biasa menghadapi silang pendapat, terutama santri sudah terbiasa mudzakarah dan bahtsul masail. Terhadap polemik nasab ini pun sebenarnya tidak keruh, karena yang membuat keruh itu muhibbin habaib yang terlalu membelanya karena doktrin dzuriyat Nabi melekat sudah lama. Bagaimana mungkin sesuatu yang sudah jadi pandangan lama dan jadi umum berlaku, bisa berubah oleh pandangan baru meski ilmiah, ini kemudian jadi pangkal dari sikap yang cenderung mati-matian dalam pembelaannya.
Mungkin tidaklah viral dan menjadi polemik besar berkepanjangan jika saja ditanggapi secara dewasa oleh kalangan habaib dan tidak memperalat muhibbinnya untuk menanggapi secara emosional atas penelitian ilmiah terkait keabsahan nasab Habaib tersebut. Artinya jika awalnya langsung responsif dengan menulis bantahan ilmiah, bisa jadi resistensinya relatif kecil. Soal siapa yang paling benar, biar kebenaran yang mengatakannya.
Tidak bisa dihindari pasti akan terjadi pembelahan dukungan karena berangkat dari nasib yang dialami, yang mendukung penelitian ilmiah seperti berjalan di kegelapan malam tiba-tiba muncul cahaya rembulan yang meneranginya. Begitupun dukungan muhibbin atas habaib diibaratkan syahdu mengikuti irama hadroh, hingga saking syahdunya kemudian terlelap panjang meski mata yang terbelalak.
Dalam situasi seperti ini warga Nahdliyyin dimana pun agar menahan diri untuk tidak ambil sikap, meski pernyataan Rois Am belakangan terkesan mendukung kesahihan Ba’Alawi dan seolah itu pernyataan resmi PBNU, padahal kita harusnya dewasa memahami diksi dari ucapan al-mukarrom KH. Miftahul Akhyar, orang tua dan yang dituakan kita. Di sisi lain dukungan atas penelitian ilmiah tidak perlu kendur dan lenyap hanya karena ada pernyataan Rois Am. Dalam hal ini kita tetap menghormati dan memuliakan Romo Yai Rois Am, namun kita pun tetap mendukung penelitian ilmiah terkait nasab tersebut, karena dari dasar itulah kita sadar bahwa klaim pengakuan keturunan Rosulullah S.a.w tidak lagi jadi alat eksploitasi bahkan alat menjajah secara spiritual.
Mari kita berpikir lebih luas dan memegang teguh prinsip-prinsip kebangsaan kita yaitu persatuan, karena persatuan adalah kekuatan yang tak terkalahkan. Soal polemik biar berjalan menuju kebenarannya masing-masing, dan kita punya ketegasan dimana kita berpijak, namun di sisi lainnya kita punya akhlak yang jadi barometer dualitas sikap tersebut.
Terlalu besar jika NU dikerdilkan dengan sikap pembelaan sepihak, dan terlalu mulia jika NU menjadi wadah perdebatan yang ujungnya saling menghinakan, bahkan sangat disayangkan jika kita sesama warga NU saling cakar hanya karena pembelaan. Sikap kita tetap guyub, ngeriung bersama, ngopdar bareng, guyon sama sama, dan biasa kita ngaji. Tauladan kita adalah kiai pesantren, dan kiai pesantren adalah juga kiai NU.
Jalan yang kita pilih pastilah berbeda, tetapi bukan berarti saling jegal, kata yang terucap pastilah berbeda namun tidak untuk saling gibah dan fitnah, pemikiran pastilah berbeda tetapi bukan untuk medan pertikaian, dukungan pun pasti berbeda tetapi sekali lagi tidak untuk bermusuhan. Indonesia adalah rumah besar kita, dimana kita hidup dan matinya. Jagalah persatuan dan kesatuan, karena ini adalah harga diri kita.
Mecca, 2 Juni 2024
Penulis: Hamdan Suhaemi