Hasil Bahtsul Masail PWNU Jawa Timur tahun 2009 memutuskan nikah secara online tidak sah. Termasuk di dalamnya adalah nikah via telepon, video call, zoom dlsb. Salah satu dalil yang digunakan oleh PWNU Jatim itu adalah pendapat Syekh Zen bin Sumet Ba Alawi dalam kitabnya al-Fawaid al-Mukhtarah li Salik Thariq al-Akhirah. Dalam kitab itu ia mengatakan bahwa telepon merupakan kinayah (kalimat yang mengandung arti lain). Masalah inilah yang menarik: telepon adalah kinayah. Darimana Syekh Zen bin Sumet beristidlal hingga ia berkesimpulan bahwa telepon merupakan kinayah sehingga akad nikah yang menggunakan telepon dianggap tidak sah karena nikah membutuhkan lafadz yang shoreh (Lafadz yang jelas yang mengandung satu makna). Selain hasil keputusan BM Jawa Timur, ucapan Syekh Zen bin Sumet inipun digunakan sebagai dalil oleh Ijtima’ MUI tahun 2021 dan kolom Tanya jawab NU Online tahun 2021. Benarkah natijah Syekh Zen bin Sumet dalam menyimpulkan telepon adalah kinayah? Apakah pendapat itu dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah?
Sebelumnya mari kita perhatikan ucapan Syekh Zen bin Sumet dalam kitabnya tersebut:
اَلتِّلْفُوْنُ كِنَايَةٌ فِي الْعُقُوْدِ كَالْبَيْعِ وَالسَّلَمِ وَالْإِجارَةِ، فَيَصِحُّ ذَلِكَ بِوَاسِطَةِ التِّلْفُوْنِ،أَمَّا النِّكَاحُ فَلَا يَصِحُّ بِالتِّلْفُوْنِ لِأَنَّهُ يُشْتَرَطُ فِيْهِ لَفْظٌ صَرِيْحٌ، وَالتِّلْفُوْنُ كِنَايَة
“Telpon adalah kinayah dalam beberapa akad, seperti akad jual beli, akad salam dan akad sewa; maka akad-akad tersebut itu sah dilakukan dengan perantara telpon. Adapun akad nikah maka tidak sah, karena dalam akad nikah disyaratkan harus ada lafal yang jelas, sedangkan telpon itu kinayah (mengandung makna dua/lafal yang tidak jelas).” (halaman 246)”.
Menguji Natijah Syekh Zen bin Sumet Ba’alwi
Untuk menguji apakah kesimpulan Syekh Zen bin Sumet itu benar atau salah, maka sebelumnya kita harus mengetahui dulu pengertian “lafadz kinayah” dan perbedaannya dengan “lafadz shoreh” dalam pernikahan serta contohnya masing-masing.
Kinayah menurut ahli ilmu Balagah adalah: kalimat yang mengandung darinya dua makna yaitu: pertama “lazimul ma’na” (makna lazim: makna yang biasa difahami); yang kedua ”al ma’na al ashliy” (makna sebenarnya) (Hilyah Lubbil Masun h. 184).
Contoh kalimat bahasa Indonesia “Zaid si panjang tangan” adalah kinayah. Ia mengandung dua makna: makna lazim dan makna asli. Makna lazim dari “Zaid si panjang tangan” adalah zaid yang suka mencuri; sedang makna aslinya adalah “Zaid yang tangannya panjang”. Yang mengetahui apa yang diinginkan dari dua makna itu hanyalah niyat orang yang mengatakan.
Menurut para fuqaha, ijab-qabul dalam nikah harus dengan “lafadz sharih” (kalimat yang jelas mengandung satu makna saja). Ijab qabul nikah tidak boleh dengan lafadz kinayah walapun dengan niyat makna nikah, karena nikah memerlukan saksi, sedangkan saksi tidak bisa mengetahui niyat yang ada dalam hati (Al-Majmu’: 9/166).
Contoh lafadz sharih dalam pernikahan adalah “aku nikahkan engkau” atau “aku kawinkan engkau”. Sedang contoh kinayah adalah “aku halalkan anakku kepadamu” (Tuhfatul Muhtaj: 7/222). Kalimat “aku halalkan anakku kepadamu” adalah lafadz kinayah, nikah dengan lafadz ini tidak sah, karena ia bisa mengandung dua arti yaitu menikahkan dan menyuruhnya berhubungan tanpa nikah.
Dari sini jelas bahwa kinayah itu berhubungan dengan lafadz ijab-qabul bukan berhubungan dengan alat seperti telepon atau zoom yang digunakan dalam ijab qabul. Lalu dari mana Syekh Zen bin Sumet sampai berkesimpulan bahwa telepon adalah kinayah, sehingga nikah menggunakan telepon adalah tidak sah?
Syekh Zen bin Sumet Keliru dalam Proses Assabru Wattaqsim
Menurut penulis, kesimpulan tidak tepat dari Syekh Zen bin Sumet itu karena ia keliru memahami frasa sebagian para fuqaha yang menyatakan bahwa “kitabah” (tulisan) adalah kinayah lalu ia mengqiyaskan telepon itu dengan tulisan. Dalam kitab I’anatuttalibin karya Syekh Muhammad Syato disebutkan:
الكتابة كناية سواء صدرت من ناطق أو من أخرس،
“Tulisan adalah kinayah. Sama hukumnya apakah ia muncul dari orang yang bisa bicara atau orang bisu” (I’anatuttalibin: 4/20)
Dalam pernikahan, apabila seorang ayah menulis “aku kawinkan engkau dengan putriku” itu tidak sah. Karena tulisan itu kinayah. Tulisan itu bisa sebagai hikayat saja atau hanya sedang belajar khat, atau makna sebenarnya. Yang mengetahui niat yang diinginkan dari tulisan itu hanya ayah tersebut. Dan saksi tidak bisa melihat niatnya. Maka ijab-qabul dengan tulisan tidak sah karena ia adalah kinayah yang bisa bermakna banyak. walau kemudian ia mengatakan bahwa niatnya betul-betul menikahkan, tetap seabgian para fuqoha menganggapnya tidak sah, kecuali dengan sarat-sarat tertentu yang akan penulis jelaskan.
Menyimpulkan bahwa ijab qabul suatu pernikahan dengan telepon tidak sah dengan mengqiyaskan kepada “tulisan ijab-qabul” tidak sah adalah kesalahan Syekh Zen bin Sumet dalam melakukan qiyas. Kesalahan Syekh Zen bin Sumet dalam qiyas itu karena ia keliru dalam proses qiyas yang disebut “Assabru Wattaqsim” (metode mengeluarkan illat atau alasan hukum) dari kitabah (tulisan). Lalu kekeliruan mengeluarkan alasan hukum “kitabah” itu menyebabkan ia keliru dalam menetapkan hukum.
Kekeliruan Syekh bin Sumet itu karena ia memandang “kitabah” (tulisan) itu sebagai alat. Lalu “alat” ini ia jadikan sebagai “illat hukum” kemudian menyamakan seluruh alat sebagai “illat”. Karena telepon adalah alat maka telepon ia anggap sebagai kinayah. Itu bangunan premis yang dibangun oleh Syekh Zen bin Sumet.
Dalam Ushul Fikih tidak semua sifat yang terdapat dalam hukum asal dapat dijadikan “illat” (alasan hukum). Sifat yang dapat dijadikan illat harus memenuhi tiga syarat: dzahiran, Mundabithan dan munasiban. Telepon dilihat dari dirinya sebagai alat tidak bisa dijadikan sebagai illat hukum, karena jika demikian, maka speaker yang digunakan sebagai alat ijab qabul-pun akan dianggap sebagai kinayah dan nikahnya tidak sah.
Lalu illat apa yang dihitung oleh ulama sehingga menjadikan tulisan sebagai kinayah? Tulisan dianggap kinayah karena tulisan itu bisa bermakna banyak. jika seseorang menulis “aku nikahkan anak perempuanku kepadamu”, yang demikian itu bisa betul-betul bermakna ia berniat menikahkan, bisa hanya sekedar membuat cerita fiksi, bisa hanya belajar khat dlsb. Maka, karena maknanya yang banyak itulah maka tulisan disebut kinayah, bukan dilihat dari sisi dia sebagai alat.
Maka hasil Bahsul Masail yang menggunakan pendapat Syekh Zen bin Sumet yang mengatkan telepon sebagai kinayah adalah kurang tepat dan perlu diperbaiki. Jikapun menghukumi nikah dengan telapon tidak sah maka dalilnya bukan karena telepon itu kinayah tetapi karena saksi tidak melihat wujud sang calon suami. Dan dalilnya bukan ucapan Syekh Zen bin Sumet tetapi dalilnya adalah semisal ucapan Imam Ruyani dalam kitab Bahrul Madzhab (14/139):
لو سمع الشاهدان لفظ المتعاقدين من وراء حائل وعرف صوتها والحائل ثوب فإن كان ضعيفًا يمنع من تحقيق النظر لا تجوز الشهادة، وإن كان خفيفًا يشف فيه وجهان: أحدهما: يجوز لأنه لا يمنع من مشاهدة ما وراءه، والثاني: لا يجوز لأن الاشتباه معه مجوز.
Hukum Nikah dengan Telepon dan Video Call
Lalu bagaimana sebenarnya hukum nikah melalui telepon dan video call menurut penulis. Berbeda dengan keputusan Bahsul Masail PWNU Jawa Timur yang memutuskan nikah dan video call tidak sah dengan dalil salah satu diantaranya adalah pendapat Syekh bin Sumet tersebut . Maka menurut penulis hukum nikah dengan telepon di tafsil, sedangkan nikah dengan video call sah secara mutlak.
Nikah dengan telepon sah jika wali nikah yang ada di Indonesia dihadiri dua orang saksi dan calon pengantin pria yang ada di Saudi Arabia dihadiri pula dengan dua orang saksi. Inilah yang penulis maksud dalam kitab penulis Al fikrah al Nahdliyyah:
والأحوط عندي حيث جوزنا عقد النكاح بالهاتف ان يكون كل الطرفين بحضرة شاهدي عدل.
“Dan yang lebih hati-hati menurutku ketika kita membolehkan akad nikah melalui telepon adalah hendaklah kedua belah pihak dihadiri dua orang saksi.”
Kalimat penulis dalam kitab Al Fikrah itu, penulis nyatakan setelah penulis menyebutkan perbedaan pendapat ulama-ulama Timur-Tengah tentang nikah dengan telepon. Diantara mereka ada yang melarang dan ada yang membolehkan walau saksi hanya ada di salah satu pihak. Penulis memahami pendapat ulama Timur Tengah yang membolehkan nikah melalui telepon walau saksi hanya ada di salah satu fihak itu, karena dalam madzhab selain Imam Syafi’i orang buta bisa menjadi saksi nikah. Walaupun saksi hanya melihat dan mendengar dari salah satu pihak, sedang di pihak penelpon ia hanya mendengar suara, maka dalam selain madzhab Sayfi’I sah, di qiyas dengan orang buta ketika bersaksi. Tetapi dalam madzhab Sayafi’I orang buta tidak bisa menjadi saksi nikah, oleh karena itu difihak sebelah juga harus ada saksi yang melihat dan mendengar ketika ia ber-qabul.
Hal itu senada dengan apa yang disebutkan dalam kitab Al-Majmu’ karya Imam Nawawi:
قَالَ أَصْحَابُنَا وَحَيْثُ حَكَمْنَا بِانْعِقَادِ النِّكَاحِ بِالْمُكَاتَبَةِ فَلْيَكْتُبْ زَوَّجْتُكَ بِنْتِي وَيَحْضُرُ الْكِتَابَ عَدْلَانِ وَلَا يُشْتَرَطُ أَنْ يُحْضِرَهُمَا وَلَا أَنْ يَقُولَ لَهُمَا اشْهَدَا بَلْ لَوْ حَضَرَا بِأَنْفُسِهِمَا كَفَى فَإِذَا بَلَغَ الْكِتَابُ الزَّوْجَ فَلْيَقْبَلْ لَفْظًا وَيَكْتُبُ الْقَبُولَ وَيَحْضُرُ الْقَبُولَ شَاهِدَا الْإِيجَابِ فَإِنْ شَهِدَهُ آخَرَانِ فَوَجْهَانِ (أَصَحُّهُمَا) لَا يَصِحُّ لِأَنَّهُ لَمْ يَحْضُرْهُ شَاهِدٌ لَهُ(وَالثَّانِي) الصِّحَّةُ لِأَنَّهُ حَضَرَ الْإِيجَابَ وَالْقَبُولَ شَاهِدَانِ وَيُحْتَمَلُ تَغَايُرُهُمَا كَمَا اُحْتُمِلَ الْفَصْلُ بَيْنَ الْإِيجَابِ وَالْقَبُولِ ثُمَّ إذَا قَبِلَ لَفْظًا أَوْ كِتَابَةً يُشْتَرَطُ كَوْنُهُ عَلَى الْفَوْرِ هَذَا هُوَ الْمَذْهَبُ وَفِيهِ وَجْهٌ ضَعِيفٌ كَمَا سَبَقَ فِي الْبَيْعِ وَاَللَّهُ أَعْلَمُ
“Berkata Ashab Syafi’i: dan ketika kita menghukumi sahnya nikah dengan saling mengirim surat, maka hendaklah ia (wali) menulis ‘aku kawinkan engkau dengan anakku’, dan tulisan itu dihadiri oleh dua orang (saksi) yang adil. Dan tidak disyaratkan wali itu mengundangnya untuk hadir, dan tidak pula disyaratkan ia berkata ‘saksikanlah’, tetapi jika mereka berdua hadir sendiri itu sudah cukup. Maka ketika surat itu telah sampai kepada calon suami, maka hendaklah ia qabul secara lafadz dan menulis qabul itu. Dan tulisan qabul itu disaksikan oleh dua orang saksi ijab (yang menyaksikan wali). Jika disaksikan oleh dua saksi lain selain saksi ijab, maka ada dua wajah, qaul asoh adalah tidak sah, karena tidak disaksikan oleh saksi ijab. Qaul yang kedua sah. Karena ijab dan qabul telah dihadiri oleh dua orang saksi. Dan dimungkinkan berubahnya kedua seperti dimungkinkan pula adanya jeda antara ijab dan qabul. Kemudian ketika calon suami meng-ijab secara lafadz atau tulisan disaratkan ijab itu segera. Ini adalah madzhab (syafi’i) dan didalamnya ada wajah yang dloif seperti dalam jual beli. Wallhu a’lam.”
Coba kita perhatikan pendapat Ashab Syafi’I yang dikutip oleh Imam Nawawi ini. dalam ibarat itu surat menyurat saja boleh untuk ijab dan qabul pernikahan. Artinya tidak ada sarat satu majlis di sana. Jika surat-menyurat saja diperbolehkan, dengan telepon tentu lebih diperbolehkan lagi, karena dalam surat menyurat ada jeda sedangkan dalam telepon tidak ada jeda. Walau demikian, harus dinyatakan terlebih dahulu bahwa calon suami yang ada ditelpon itu adalah calon suami yang dimaksud.
Ketika nikah dengan telepon diperbolehkan maka dengan video call, zoom dlsb tentu lebih diperbolehkan lagi. Dan ijab qabul dengan menggunakan video call tidak disaratkan adanya dua orang saksi dikedua belah pihak, cukup disalah satu pihak. Pendapat ini adalah salah satu pendapat dari beberapa pendapat tentang nikah online yang berhujjah dari kitab-kitab para ulama Syafi’iyyah yang muktabar.
Penulis: Imaduddin Utsman Al-Bantani
Memahami Tasawuf, Tarekat dan Organisasi Tarekat
Oleh: Hamdan Suhaemi Ada yang bertanya apa itu tasawuf, apa itu tarekat, lalu belakangan ada timbul pertanyaan kenapa ada organisasi...
Read more