Oleh: Kyai M. Hamdan Suhaemi
Seolah kiamat benar-benar akan terjadi sesuai prediksi mereka. Seolah dengan cara memvisualisasikan tanda-tandanya adalah klaim kebenaran tanpa sedikitpun narasi itu berdasarkan iradat Allah SWT yang maha kuasa. Kita memang belum mengenali tujuannya dan maksudnya. Apakah menakut-nakuti agar manusia sadar kembali ke jalan yang benar, ataukah tengah memposisikan sebagai cenayang yang mampu membuktikan hal itu benar terjadi.
Kanjeng Nabi Muhammad SAW telah mengingatkan pada kita “Berbuatlah (amal) untuk duniamu seakan kamu hidup selama-lamanya, dan berbuatlah untuk akhiratmu seakan-akan kamu mati besok”. Hadits tersebut diriwayatkan oleh Imam al-Baihaqi.
Optimisme hidup dengan agama sebagai petunjuk, sebagai pedoman tentu tidak perlu ketakutan ketika bicara kiamat, sebab dari ajaran agama lah kita paham bahwa kiamat itu pasti terjadi, soal waktunya itu sudah ketentuan Allah.
Mempercayai akan terjadinya hari kiamat adalah ciri orang beriman. Dengan demikian meniadakannya adalah ciri kekafiran, ingkar dan nenolak takdir Tuhan. Dalam surat Al-Baqarah ayat 3-5 telah jelas disampaikan terkait itu.
Apakah sudah benar soal kiamat itu perlu disampaikan, jawabnya perlu. Untuk menambah tingkatan kesadaran kita dalam beramal soleh serta meninggalkan perbuatan keji dan mungkar. Tapi apakah punya hak menentukan kapan terjadinya dengan dikuatkan dalil, hujjah dan fakta fakta tanda kiamat. Jawabnya tegas tidak berhak. Seperti halnya wajib menyampaikan kebenaran, tapi tidak wajib mengatur kebenaran milik siapa.
Kini, kita memasuki satu fase manusia dunia cenderung agnostik. Kehidupan yang sekuler, kehidupan individualistis, hedonis dan egois. Fenomena ini bagian dari perkembangan peradaban manusia. Melihat itu adalah melihat dua sisi, satu sisi adalah puncak pencapaian manusia hidup, sisi lain adalah mulai memudarnya dan cenderung meniggalkan kebahagiaan yang sebenarnya. Yaitu kebenaran ilahiyat, dimana ajaran agama menjadi prinsip hidup.
Mari kita ukur soal keimanan, apakah kita masih memilki iman, ataukah sudah tidak ada iman. Karena iman tidak bisa diketahui, hanya bisa kita lihat cirinya. Semakin keimanan seseorang naik semakin mendekati Tuhannya, dan itu semakin kuatnya cinta pada sesama manusia dengan sikap welas asihnya.
Bagi kita muslim, perlu kiranya membedah sendiri di posisi apa keimanan kita itu.
- Iman Taqlid
وهو من يعتقد على وحدنيته تعالى و رسالته و نبويته صلى الله عليه وسلم على الاذعان بالتقليد
Orang yang meyakini keesaan Allah, dan risalah Allah, serta kenabian Muhammad SAW
- Iman Ilmu
وهو مايعتقد على ذلك الدليل
Suatu yang diyakini berdasarkan dalil (petunjuk)
- Iman ‘Ayyan (‘ain)
وهو مايعتقد على ذلك بعين اليقين و الذوق
Suatu yang diyakini berdasarkan nyatanya yakin dan rasa peka.
- Iman Hak
وهو مايعتقد على ذلك بحق اليقين و الكشف و الرؤية
Sesuatu yang diyakini berdasarkan benarnya keyakinan, benarnya hasil mukasyafah ( terbukanya penglihatan atas Tuhannya ) dan kemampuan melihat.
- Iman Hakikat
وهو مايعتقد على ذلك بالشهود و الشهادة و المشاهدة و المفاتحة
Sesuatu yang diyakini berdasarkan kesaksian langsung, menyaksikan, saling bersaksi, dan mencapai terbuka.
Bila, posisi keimanan kita bisa dikenali tentunya tidak ada keraguan atas apa yang diyakini. Terutama soal meyakini taqdir, umur, jodoh dan Rizki serta ajal. Ini bisa pula kita ukur atas keyakinan terhadap hari kiamat.
Masalahnya, apakah kita masih punya iman? Sementara kita sibuk dan menjadi orang-orang Ghofilin (melupakan Allah), sementara kita masih biasa bersikap nifaq (munafiq), dan sementara kita masih dholim pada manusia dan alam. Sungguh ciri iman masih kita miliki meskipun yang terendah, itu adalah ketika melihat duri di jalanan kita ambil dan kita buang. Ciri iman itu mencapai martabat yang lebih tinggi, itu kita lihat pada kesalehan dan perilaku welas asihnya pada manusia tanpa membedakannya.
عَنْ أَبِيْ حَمْزَة أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ رَضِيَ اللهُ تَعَالَى عَنْهُ خَادِمِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: (لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ لأَخِيْهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ) رَوَاهُ اْلبُخَارِيّ وَمُسْلِمٌ
Dari Abu Hamzah Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu (pembantu Rasulullah) dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda:
”Tidaklah salah seorang di antara kalian beriman (dengan keimanan yang sempurna) sampai dia mencintai untuk saudaranya apa yang ia cintai untuk dirinya sendiri.” (HR. Al Bukhari dan Muslim).
Kesimpulannya, yang paling penting dalam tulisan ini adalah merawat dan memperbaiki keimanan kita jauh lebih penting dari pada kita ketakutan terhadap hal-hal yang berhubungan dengan iman, tapi justeru menggelincirkan pada posisi mengimani sesuatu yang mampu membuktikan padahal itu diluar ketentuan dan irodatnya Allah.
Hati-hatilah pada kelompok pendakwah yang menakuti, meciptakan suasana horor, memvisualisasikan situasi mencekam, membuat opini dan pola fikir yang menimbulkan kebencian terhadap orang yang berbeda faham dan agama.
Sesungguhnya kita memilih untuk mengamalkan ajaran Islam dengan ikhlas, dengan kegembiraan, kemudahan, ketenangan,kedamaian dan membahagiakan.
Maka madzhab Ahli Sunnah Wal Jama’ah, adalah satu dari sekian madzhab dalam Islam, yang konsisten membimbing umat ke jalan yang benar dan lurus. Konsistensi tersebut dikuatkan oleh ilmu-ilmu agama, karena dari sumber itulah ketersambungan ajaran Islam dari Rosulullah Saw hingga sekarang tetap terjaga.
Wa Allahu a’lam bi al-Showabi
Wakil Ketua PW GP Ansor Banten
Ketua PW Rijalul Ansor Banten