Senjata Utama Klan Habib Baalwi
Apa senjata utama Klan Habib Baalwi dalam mengaktivasi dan mengeksekusi grand desain Operasi Klandestin Baalwisasi-Yamanisasi? Senjata utama Klan Habib Baalwi adalah klaim, persepsi, dan keyakinan publik bahwa “Habib = [satu-satunya] Cucu Nabi”. Makna tanda dalam kurung adalah ia disampaikan secara implisit (subliminal narrative) tidak vulgar eksplisit. Subliminal narrative mem-bypass alam sadar—mem-bypass critical factor atau recticular activating system (RAS) manusia sehingga pesan yang bermuatan sugesti atau doktrin masuk menyusup dengan mulus ke alam bawah sadar dan mendekam kuat di sana. Mengkristalisasi menjadi keyakinan tersembunyi.
Frase ‘satu-satunya’ itu penting diperhatikan sebab jika tidak menjadi satu-satunya cucu nabi di alam persepsi dan keyakinan publik, maka Klan Habib Baalwi tidak bisa membentuk konsensus sosial-keagamaan bahwa merekalah otoritas tunggal tertinggi sosial-keagamaan (absolutism)—pemilik kekuasaan tunggal sosial-keagamaan.
Mengapa demikian?
Apabila ada kompetitor maka ada pembanding. Ada komparasi realitas yang dipahami masyarakat bahwa cucu Nabi itu banyak, dari banyak jalur, dan Klan Habib Baalwi bukanlah satu-satunya. Ketika ada pembanding—terlebih dalam jumlah yang banyak—dan tidak menjadi satu-satunya, keberadaan Klan Habib Baalwi yang mengandalkan faktor ‘Cucu Nabi’, faktor tersebut menjadi tidak spesial, menjadi biasa-biasa saja, status ‘cucu Nabi’ tidak memiliki power yang kuat, di mata masyarakat; faktor ‘cucu Nabi’ menjadi faktor standar. Masyarakat tidak menganggap penting faktor ‘cucu Nabi’-nya karena ‘toh semua orang seperti itu’. Jika semua memiliki faktor yang sama, lalu apa bedanya? Apa hebatnya? Nah, di situlah lantas masyarakat mencari dan menilai faktor-faktor lain di luar faktor ‘cucu Nabi’. Situasi itulah yang dihindari Klan Habib Baalwi.
Situasi tidak menjadi satu-satunya cucu Nabi dan komparasi atribut di luar faktor Cucu Nabi oleh masyarakat adalah situasi yang dihindari mati-matian oleh Klan Habib Baalwi sebab dukungan masyarakat bisa beralih ke Cucu Nabi yang lain yang ilmu, perilaku dan kesejarahannya jauh lebih baik dibanding Klan Habib Baalwi. Hal itu dapat Anda jumpai bagaimana struktur kampanye Klan Habib Baalwi. Mereka menciptakan keadaan habib adalah satu-satunya cucu Nabi dan di sisi lain mengkampanyekan habib kasar dan lembut itu sama-sama cucu Nabi yang wajib dihormati; meski kasar, bodoh, maksiat, jangan dicaci, jangan dihina, jangan dikritik, tetap wajib dihormati wajib dicintai. Masyarakat dicegah melihat atribut di luar atribut faktor ‘Cucu Nabi’ sementara masyarakat dikondisikan (disetting) merekalah satu-satunya cucu Nabi. Disebarkan pula bahwa habib yang bodoh, maksiat, lebih mulia daripada 70 kyai yang alim atau ulama amilin; mereka tidak terima bahwa ulama adalah pewaris para nabi dengan menyebarkan pemahaman bahwa posisi ulama adalah pengawal Habib, ente ikut Quran tidak ikut Habaib ente sesat.
Dengan positioning ‘satu-satunya cucu Nabi’ itulah yang memungkinkan Klan Habib Baalwi memposisikan diri atau diposisikan pemegang kekuasaan sebagai otoritas tunggal tertinggi sosial-keagamaan di persepsi masyarakat. Tanpa senjata utama itu Klan Habib Baalwi tidak dapat mengaktivasi dan mengeksekusi grand desain Operasi Klandestin Baalwisasi-Yamanisasi. Intisarinya: grand desain Klandestin Klan Habib Baalwi dibangun di atas pondasi ‘Habib = [satu-satunya] Cucu Nabi [= Rasulullah = Allah]’.
Keberhasilan Doktrinasi Klan Habib Baalwi
Doktrin atau program pikiran ‘Habib = [satu-satunya] Cucu Nabi’ dicekokkan ke masyarakat melalui beragam instrumen, kanal komunikasi, dan cara. Melalui doktrinasi, klaim, propaganda, pengubahan sejarah, pemalsuan makam, pemalsuan sanad thariqoh, dan lain-lain yang ujung atasnya semuanya mengerucut kepada superioritas ras Klan Habib Baalwi; melalui majelis, haul, konser shalawat, ceramah; di offline dan online; melalui kerja tulisan dan lisan; secara eksplisit atau implisit.
Operasi tersebut berhasil. Keberhasilan itu dapat dijumpai pada fakta di mana masyarakat dan kyai-kyai meyakini habib sebagai dzurriyah Nabi dan menganggap diksi ‘habib’ sama dengan dzurriyah Nabi. Atau, diksi ‘habib’ digunakan sebagai kata ganti ‘dzurriyah Nabi’ di percakapan sehari-hari. Mengenai mispersepsi dan kesalahan berbahasa ini penulis urai lebih panjang di tulisan lain berjudul ‘Dekonstruksi Gelar Habib Menghentkan Penjajahan Khususnya untuk Warga NU dan Muhammadyah’[1].
Keberhasilan operasi tersebut dikarenakan beberapa hal. Pertama, ketidakpedulian masyarakat Islam Nusantara terhadap ilmu nasab atau adanya kultur atau anggapan bahwa nasab itu tidak penting. Sebagai catatan pinggir pada poin pertama, ini tidaklah berarti bernilai pasti negatif (buruk) atau pasti positif (baik); apa yang penulis tuliskan hanya pendeskripsian atas realitas. Kedua, akibat poin pertama itu menciptakan ruang kosong di alam pengetahuan masyarakat Islam Nusantara tentang ilmu nasab. Ketiga, ruang kosong itu menciptakan blind spot. Blind spot itulah yang kemudian dieksploitasi oleh Klan Habib Baalwi dan budak-budaknya guna menancapkan paradigma ‘Habib = [satu-satunya] Cucu Nabi’. Di blindspot atau di sleeping market itulah Klan Habib Baalwi berdiri sendirian mendominasi sebagai [satu-satunya] Cucu Nabi. Nantinya kita dapat membahas ini lebih panjang dengan menggandeng khazanah ilmu Marketing-Branding.
Trah Walisongo, Kompetitor Yang Harus Dieliminir
Untuk membentuk keadaan psiko-sosial otoritas tunggal sosial-keagamaan berdasar nasab satu-satunya cucu nabi, kompetitor harus dieliminir. Siapa kompetitor itu? Trah Walisongo. Makanya kemudian dapat dipahami mengapa dan apa maksudnya dari perilaku Klan Habib Baalwi yang terlihat mati-matian ‘membunuh’ keberadaan Trah Walisongo di tengah masyarakat.
Bagaimana membunuh keberadaan Trah Walisongo?
Pertama. Walisongo dipropagandakan sebagai habib (padahal bukan) yaitu jalur Ubaid bin Ahmad bin Isa. Baik melalui kerja tulisan, lisan, dan arkeologi;
Kedua. Keturunan Walisongo digembar-gemborkan terputus karena bukan jalur laki-laki. Kalau pun ada, dari jalur Ibu, kalau jalur Ibu terputus. Aturan ‘garis lurus laki’ ini juga alat mengeliminir kompetitor.
Ketiga. Jika ada yang mengaku sebagai Trah Walisongo, ia diintimidasi, diteror dan dipersekusi: dipukuli, ditampar, ditendang, bahkan diinjak kepalanya. Ini untuk menciptakan ketakutan pada Trah Walisongo agar status atau identitas itu tidak muncul di tengah masyarakat. Di sisi lain, juga me-maintain keadaan persepsi di masyarakat bahwa satu-satunya cucu Nabi adalah Klan Habib Baalwi;
Keempat. Menciptakan persepsi di tengah masyarakat siapa saja yang mengaku Trah Walisongo—karena Walisongo adalah Habib—maka dia harus melewati verifikasi lembaga Rabithah Alawiyah (Alwiyah)/RA; karena RA lembaga yang memverifikasi habib. Jika tidak diakui RA maka dia bukan keturunan Walisongo. Di permukaan publik diciptakan persepsi dan keyakinan seperti itu, sementara ada mekanisme gelap di belakang layar yang tak diketahui publik Trah Walisongo ditolak, dinyatakan, terputus oleh (sistem) RA. Inilah posisi dan fungsi RA dipropagandakan ke masyarakat sebagai satu-satunya lembaga validasi nasab dzurriyah Rasul yaitu menjadi otoritas tunggal kenasaban dzurriyah Nabi guna mentiadakan kompetitor.
Kelima. Menciptakan struktur gelar keturunan Nabi yang tertinggi adalah habib. Sayyid-Syarif di bawah habib. Untuk diakui sebagai sayyid-syarif harus memperoleh pengakuan dari RA. Sedangkan sudah disetting keturunan Walisongo dinyatakan terputus dan tertolak oleh RA. Maka jadilah Sayyid-Syarif hanya dari jalur Klan Habib Baalwi. Dengan demikian gelar tertinggi dzurriyah Nabi yaitu habib hanya bisa dikenakan oleh Klan Habib Baalwi saja.
Melalui propaganda dan skema di atas masyarakat dibikin berpersepsi dan berkeyakinan bahwa satu-satunya cucu Nabi yang valid di Indonesia bahkan di Seluruh dunia adalah Klan Habib Baalwi; tidak ada selain mereka.
Penggunaan Senjata Satu-Satunya Cucu Nabi
Dengan senjata dan jubah ‘Habib = [satu-satunya] Cucu Nabi’ Klan Habib Baalwi menundukkan psikologis dan mental pribumi melalui penyebaran doktrin-doktrin wajibnya cinta dan taat pada habib; jika tidak cinta dan percaya kepada habib serta tidak taat kepada habib; maka kualat, dapat adzab, kafir, murtad, mati su’ul khotimah dan tidak mendapat syafaat Nabi. Model doktrinnya: Habib = Ahlul bait = Cucu Nabi = Rasulullah = Allah ; Habib = Allah[2].
Manusia awam mana yang tidak takluk dan tunduk jika dihadapkan dengan ancaman dan tekanan melawan Rasulullah dan Allah sedangkan yang mengeluarkan ancaman dan tekanan itu adalah ‘cucu Nabi’ itu sendiri? Yang berilmu saja goblok mendadak apalagi mereka yang awam.
Dengan mengenakan jubah cucu Nabi itu mereka dapat mengelimir hambatan dan penentangan ketika masyarakat menyaksikan kejahatan-kejahatan mereka. Hampir dapat dikatakan tidak ada interupsi yang berarti dari masyarakat karena masyarakat takut dan mengalami konflik batin. Maka melenggang lancarlah pem-Baalwisasi-an sejarah leluhur pribumi, pahlawan, sejarah NU-Muhammadiyah-Bangsa Indonesia, sejarah kemerdekaan, mengubah identitas dan silsilah makam-makam leluhur pribumi Nusantara, thariqoh yang tertinggi adalah thariqoh alawiyah, sanad thariqoh semuanya berpangkal pada thariqoh alawiyah, penyebaran doktrin sesat dan khurafat, dawir, persekusi, politisasi agama, pengkonversian otoritas cucu Nabi ke berbagai bidang lain dan berbagai kategori data lainnya.
Salah satu yang paling menyakitkan dan melukai hati penulis secara mendalam adalah ke-Islam-an dan ilmu yang kami—pribumi—dapatkan katanya dari Klan Habib Baalwi (sebagai Cucu Nabi) dan kita ditagih-tagih balas budi kepada mereka atas nama Cucu Nabi. Jadi, ‘Islam’ (dalam tanda kutip) ini agama yang nagih-nagih jasa dan ilmu ya? Manusia-manusia penerima kebaikan, keluhuran dan ilmu dari ‘Islam’ wajib jadi budak Klan Habib Baalwi? Jadi, orang diajak-ajak masuk Islam, setelah masuk Islam wajib menjadi budak Klan Habib Baalwi karena kalau tidak akan dikutuk Rasulullah dan Allah?
Begitu?
Meniru model penagihan Taufik Assegaf dan Habib-habib lainnya: sejak kapan Syaikh Nawawi Al Bantani, Mbah Kholil Bangkalan, Mbah As’ad Samsul Arifin, Mbah Wahhab, dan Mbah-Mbah NU lainnya mengajarkan Islam untuk kemudian menagih-nagih lalu memperbudak?
Sejak kapan?
Coba yang jelas… biar kami—pribumi—yang bukan ‘Cyucyu Nabi’ ini mengerti sejatinya NU ini konsep implementasi Islamnya bagaimana. Ndak perlu sembunyi-sembunyi. Ayo yang jelas-jelas aja. Jangan ada tipu-menipu di antara kita.
[1] https://rminubanten.or.id/dekonstruksi-gelar-habib-menghentikan-penjajahan-khususnya-untuk-warga-nu-dan-muhammadiyah/
[2] https://rminubanten.or.id/habib-baalwis-doctrine-psycho-linguistic-model-pattern-and-its-impact-to-nusantara/