Oleh: Dr. Yasser Arafat
Bahwa sejak beberapa lama ini telah sering terjadi klaim dan pencangkokan identitas makam serta sejarah para leluhur peradaban Mataram Islam. Ada banyak makam dan sejarah tokoh tertentu dibuat dan disebarkan melalui media sosial dan forum-forum majelis keagamaan. Ada pula yang disebarkan melalui platform digital maupun langsung di lapangan. Sayangnya, sering kali ditemukan bahwa sejarah yang “dibuat” itu tidak sesuai dengan data-data utama (primer). Mulai data primer berupa manuskrip berisi silsilah dan babad yang menjelaskan sejarah serta pernasaban keluarga besar anak-keturunan Mataram Islam, hingga data primer berupa “Layang Kekancingan” atau dokumen resmi silsilah anak-keturunan tokoh Mataram Islam.
Sebagai langkah untuk menjaga, melestarikan, dan melindungi sejarah dan budaya peradaban Mataram Islam, terutama terkait keberadaan makam-makam mereka semua, dengan ini kami menghimbau kepada seluruh masyarakat di mana saja, terutama yang tinggal di area mataraman seperti di Yogyakarta dan sekitarnya, agar:
(1) Bila ada orang dari luar wilayah sebuah desa yang menyatakan bahwa di desa tersebut terdapat makam sepuh dan/atau menyatakan bahwa makam sepuh di desa tersebut beridentitas A, B, atau C, maka wajib diminta “bukti tertulis”. Baik berupa manuskrip atau sumber kepustakaan lain yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah, logis, dan argumentatif;
(2) Jika ternyata orang dari luar wilayah desa tersebut memang benar dapat menghadirkan “bukti tertulis”, maka terhadap “bukti tertulis” tersebut harus ditelaah dengan menghadirkan ahli manuskrip/ahli sejarah/ahli arkeologi/ahli kebudayaan dari berbagai Perguruan Tinggi atau lembaga penelitian ilmiah. Ditambah pula dengan menghadirkan otoritas yang mengeluarkan bukti tertulis itu jika ada, Dinas Kebudayaan setempat, para tokoh masyarakat, tokoh pemerintahan, untuk kemudian diadakan KAJIAN ILMIAH;
(3) Terkait ”pemberian nama” atas satu makam di satu wilayah, agar masyarakat secara keseluruhan jangan pernah mau menuruti pemberian nama tersebut kecuali jika telah dibuktikan melalui mekanisme point ke-2 di atas;
(4) Sebagai tindak lanjut point ke-2 di atas, “pemberian nama” mutlak harus DITOLAK bila bukan merupakan hasil kajian sebagaimana point ke-2 di atas. Misalnya “pemberian nama” yang merupakan hasil dari “dhawuh/perintah” tokoh tertentu tanpa mekanisme point ke-2, atau berdasar mimpi, atau maupun jika hanya berdasar terawangan gaib sekalipun dari tokoh yang dikenal sebagai ahli agama/ulama;
(5) Jika “pemberian nama” ditemukan melalui mekanisme point ke-2, lalu ternyata nama itu terkait dengan sejarah Kraton, maka semua pihak di desa itu HARUS berkoordinasi, memberi tahu, dan meminta arahan terlebih dahulu dengan Kraton terkait. Terutama untuk memeriksa ”nama” yang ditemukan tersebut berdasarkan data dan sejarah sahih yang tertera di Kraton;
(6) Untuk di Kraton Ngayogyakarta, silsilah tokoh tertentu dapat diperiksa kebenarannya melalui Dinas “Tepas Darah Dalem Kraton Ngayogyakarta”, bukan dinas lainnya. Jika ada silsilah tokoh yang dikatakan merupakan “orang Kraton Yogyakarta”, namun, silsilah itu tidak merujuk pada data ”Tepas Darah Dalem Karaton Ngayogyakarta”, maka dipastikan itu silsilah palsu. Sementara untuk Kraton lainnya, bisa diperiksa kepada dinas yang berwenang terkait silsilah pada masing-masing Kraton terkait;
(7) Kebenaran data suatu makam tokoh yang disebut sebagai istri, putra-putri, dan menantu Sri Sultan Hamengkubuwana I – IX, dapat dirujuk ke dalam “Serat Raja Putra” yang ditulis oleh KPH Mandoyokusumo dan diterbitkan oleh Museum Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat. Naskah inilah yang menjadi rujukan utama perihal nama-nama anak-turun Sri Sultan Hamengkubuwana I – IX;
(8) Di lapangan sering ditemukan klaim bahwa makam tokoh yang telah disebut sebagai anak, menantu, hingga istri Sultan Karaton Ngayogyakarta, ternyata justru tidak ditemukan datanya di “Tepas Darah Dalem Karaton Yogyakarta” dan tidak ditemukan pula di ”Serat Raja Putra”;
(9) Sering pula terjadi kelompok atau oknum tertentu telah mengklaim satu makam dengan mengaku bahwa mereka telah melihat data asli di Karaton. Ternyata setelah diperiksa dan dikonfirmasi langsung ke Karaton, yang “disebut data asli” tersebut justru tidak ada. Bahkan sering terjadi pula kelompok atau oknum tersebut, atas perintah atasannya, “memaksa” pihak Karaton untuk mengesahkan makam dan sejarah tokoh yang mereka klaim itu;
(10) Ditambah lagi, banyak makam telah disebut sebagai “tokoh Karaton” atau ”tokoh dengan nama tertentu” oleh satu kelompok berdasarkan “data yang mereka punya”. Sayangnya, ketika diminta agar datanya dipublikasikan atau dibuka ke publik, jawabannya adalah: “belum saatnya dibuka”. Tentu saja ini jawaban rancu. Makamnya telah diklaim dan disebar-luaskan atas dasar klaim itu, namun, mengapa masih bilang “datanya belum saatnya dibuka”?;
(11) Dalam hal akhirnya telah ditemukan nama tokoh untuk sebuah makam berdasarkan penelaahan atas “bukti tertulis” dan hasil kajian sebagaimana point ke-2 di atas, lalu akan dilaksanakan “pemugaran makam” atau pembangunan lokasi, hendaknya semua pihak berkoordinasi/meminta arahan terlebih dahulu kepada Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) yang sekarang berganti nama menjadi Balai Pelestarian Kebudayaan (BPK). Mengapa? Sebab di lapangan ada banyak makam-makam tua yang hilang nilai sejarah kunonya karena terjadi pemugaran tanpa mengindahkan ilmu kecagar-budayaan.
Demikian himbauan ini dibuat untuk menjadi maklumat dan perhatian kita semua. Sejarah Desa kita merupakan bagian dari bangunan besar sejarah bangsa Indonesia. Oleh karena itu jangan pernah kita menganggap remeh dan menelantarkannya. Terlebih lagi, jangan sampai ada akuisisi sejarah dan pencangkokan identitas makam tokoh sejarah di desa kita masing-masing. Amin.
Yogyakarta, 28 Oktober 2023
Kempalan Parta Budaya Mataram Islam (Kertabumi)