Oleh : Hamdan Suhaemi
Pendahuluan
Kesejarahan Banten dari periode awal masih sulit dinarasikan secara utuh, mengingat sumber sejarahnya yang masih terkesan berbaur dengan mitos, atau mengarah pada legenda. Ini hal yang tertolak bagi kalangan generasi kini (warga Banten) yang berbasis rasional dan tingginya rasa penasaran. Betapa serpihan sejarah Banten sulit dikristalisasi pada bentuk ensiklopedia sejarah Banten, berikut fakta-fakta arkeologisnya.
Banten, ini adalah peradaban pesisir yang kecenderungannya egaliter, terbuka dan progresif. Pusat peradaban itu adalah Surosowan (diambil dari nama Panembahan Surosowan). Adalah lanskap keraton, alun-alun, masjid agung, dan benteng. Menjadi daya tarik yang tak berkesudahan.
Para sejarawan masih berminat hingga kini untuk meneliti Banten dari berbagai aspeknya. Kekayaan khazanah sejarah Banten yang tercecer ini adalah juga sisi keistimewaan Banten sebagai bekas kesultanan, satu diantara kesultanan yang menolak kompromi dengan VOC Belanda.
Pada riwayat pendek ini, ingin sekali mengambil bagian ikut serta dalam menyampaikan hal yang tak tertulis dalam buku sejarah, baik sejarah Banten atau sejarah nasional. Untuk kemudian menjadi penanda bahwa memang betul kepingan sejarah itu sedikit demi sedikit dikumpulkan dengan maksud menyajikan hingga utuh, meski bukan berarti ini tugas saya satu-satunya dalam menghimpun rentang kesejarahan Banten secara komprehensif. Anggaplah serpihan yang tak dilirik sama sekali.
Maulana Muhammad
Dalam bait Pupuh Dudukwuluh, Sajarah Banten ada petunjuk terkait pribadi Maulana Muhammad, yang rakyatnya memanggilnya “Ratu ing Banten”. Pribadi yang istimewa jika dinilai secara agamis. Putera bungsu dari Kanjeng Sultan Maulana Yusuf ini ditabalkan menggantikan mendiang ayahnya yang wafat di tahun 1580 M di saat masih berumur 6 bulan. Kemudian Maulana Muhammad dinobatkan sebagai sultan menggantikan Maulana Yusuf saat itu masih usia 9 tahun, akan tetapi karena Maulana Muhammad masih anak-anak, sehingga jalannya pemerintahan kerajaan diatur oleh Mangkubumi Jayanegara selama kurun waktu tahun 1580 hingga 1596 sembari menunggu Maulana Muhammad dewasa.
Setelah enam belas tahun berlalu, Ketika sudah dewasa Maulana Muhammad mulai menduduki jabatan sebagai penguasa Kesultanan Banten. Saat masa kepemimpinannya Sultan Maulana Muhammad melakukan perluasan wilayah.
Pupuh itu tertulis “Molana yen pinarek ing jeng Sultan majeng mangidul pasti kitab kang sinandhing, kang pedek paselir iku wonten Dening kang ing Wuri” (kalau Maulana Muhammad sudah duduk ke arah selatan pasti kitablah yang disampingnya, sedangkan para pelayan dan selir ada di belakangnya).
Lembaran bait dari Pupuh (Sinom, 9) juga tertulis “kang tingkah Kanjeng Gusti diamumule ing guru ten kela kedatengan atilar langgeng dipati tinedaken Pangeran ing Kasunyatan” (Maulana Muhammad langsung meninggalkan kesibukannya sebagai sultan ketika gurunya datang).
Masyhur dalam benak pikiran rakyat Banten kala itu (1596 M) bahwa Maulana Muhammad, Pangeran Ratu ing Banten adalah pribadi yang soleh dan alim. Ia santri kesayangan Kiai Dukuh (Syaikh Muhammad Madani Syah) asal Madinah. Menurut Husein Djajadiningrat (Doktor Sejarah yang pertama dari Indonesia) dalam salah satu bukunya Serat Banten Rante-Rante, Sang Syaikh yang datang dari Madinah Arab tersebut kemudian bermukim di Kasunyatan setelah mukim terlebih dahulu di Minangkabau, Swarnadwipa.
Karena jasa dan pengabdiannya dalam pengajaran ilmu agama Islam, serta telah membentuk karakter Maulana Muhammad sebagai pribadi yang alim dan soleh, maka kemudian Sang Maulana menganugerahi gelar terhadap gurunya itu Kiai Dukuh atau Pangeran Kasunyatan.
Sultan Sekaligus Santri
Masih dalam bait Pupuh Sinom, Sajarah Banten tertulis “mula-mula Surosowan, Carita ana wong alim kang alunggeng Kasunyatan, ginuron saking bupati, sampuning tutug Singgih, jeng Molana dadia ratu, mulyaning kang nagara, ponggawa amukti sari miwah wong cilik sami magatra kang winarna” (itulah awal Surosowan, ada cerita tentang orang alim yang bertahta di Kasunyatan, digurui oleh para bupati, sesudah selesai kanjeng Maulana menjadi sultan yang memuliakan negara dan mensejahterakan punggawa dan rakyat kecil).
Perilaku dan kegiatan keseharian Maulana Muhammad, masih memegang tradisi yang letakkan oleh pendahulunya yaitu Kanjeng Syaikh Maulana Hasanudin, yakni kehidupan agama dan penyiaran Islam dengan pendekatan yang moderat dan inklusif.
Putaran hidupnya tidak jauh dari kebiasaan sang Ayah, Syaikh Maulana Yusuf (Panembahan Pekalangan Gede), pagi berkumpul dengan penyampaian aturan kesultanan, persoalan kehidupan dan soal agama, hingga menjelang dzuhur. Kemudian jalan kaki dari keraton ke masjid agung, setelah pulang dari solat berjamaah, kanjeng Maulana Muhammad menerima tamu kenegaraan, bahkan dikisahkan ada serombongan tamu pedagang dari Holland ( Belanda ) yang dipimpin oleh Cornelis De Haoutman, saat itu tahun 1596.
Malamnya, masih mengurusi rakyat, sehingga terkadang keluar keraton sampai menemui hingga dusun-dusun terpencil di wilayah kesultanan Banten. Pulang dini hari, sang Pangeran Ratu Ing Banten ini mengambil posisi “khalwat” dan tak mau diganggu siapapun. Kesalehannya dalam beragama adalah cermin dari penguasaannya atas ilmu agama, terutama tasawuf. Ia sultan Banten yang meneruskan jejaknya menjadi murid sufi, dan Istiqomah bertarekat.
Wafat
Sultan Banten yang ketiga ini dikisahkan wafat saat dalam posisi berdzikir, di saat perang tengah berkecamuk melawan pemberontak Palembang (Vasal Kesultanan Banten termasuk Kedatuan Tulang Bawang). Di atas geladak Kapal Indrajaladri, sesaat jeda untuk solat berjamaah. Peluru yang tak meletup yang ditembakkan oleh para pemberontak mengenai tubuh sang Maulana, dalam kondisi dzikir setelah solat, tubuh mulia itu terkulai lemas, diiringi tangis pilu prajurit Surosowan yang masih tegak di Medan perang dalam posisi gagah perkasa. Kesedihan, terutama sang Mangkubhumi yang merangkulnya sejak tubuh sang Maulana roboh.
Dalam buku Tinjauan Kritis tentang Sajarah Banten, Husein Djajadiningrat menceritakan tentang ungkapan perasaan seorang saudagar dari Belanda, Jacob Van Neck pada peristiwa kembalinya kapal Indrajaladri yang baru mendarat di Teluk Banten, yang membawa jenazah Kanjeng Maulana Muhammad dari Medan perang (perairan Palembang).
Van Neck di tahun 1598, di Loji pedagang Belanda dekat Teluk Banten, arah Barat dari Karangantu, telah menceritakan bahwa rakyat Banten sangat bersedih hati ketika Sultan muda itu mangkat, dan banyak orang-orang ingin memburu siapa yang telah membunuhnya, kecintaan rakyat Banten padanya sungguh luar biasa, mencerminkan kesalehan dan kepeduliannya atas nasib rakyat Banten.
Penutup
Mengenali serpihan-serpihan sejarah masa lalu, tentu tidak secara langsung bermanfaat. Namun ini menunjukan sikap kepedulian untuk belajar pada sejarah, bahwa sejarah adalah makna, bahwa sejarah adalah peringatan, dan bahwa sejarah adalah mata rantai suatu peradaban, dari sana itulah kita meneruskan peradaban menjadi lebih baik.
Kasunyatan, 21-10-2021
Ketua PW Rijalul Ansor Banten