Dalam halaman komunitas Youtubenya, Profesor Said Aqil Husin al-Munawar, membuat tulisan yang menyebut nama penulis. Dalam tulisan itu, selain ia mengakui bahwa ia bukan pakar nasab, ia juga mengaku mengikuti perdebatan nasab yang ramai dalam beberapa waktu terakhir ini. Menurutnya, isu nasab ini adalah isu lama yang telah banyak dipermasalahkan ulama, diantaranya Syekh Murad Syukri, Syekh Tantawi dan Syekh al-Muhibbi. Menurutnya pula, bahwa hal-hal yang dipermasalahkan kurang lebih sama. Artinya, menurut Sang Profesor, jika dulu masalah itu sudah muncul dan permasalahannya sama, sementara dulu juga sudah di jawab, maka ia berharap keadaan akan seperti dulu, yaitu nasab Ba Alwi akan tetap diakui sebagai keturunan Nabi. Itu harapan Sang Profesor Ba Alwi.
Dalam tulisan ini, penulis sampaikan, keadaan telah berubah, usaha-usaha penyadaran oleh ulama dulu belum mencapai hasil yang maksimal, tetapi hari ini berbeda, pertanyaannya berbeda, masalahnya berbeda, dan dalil-dalilnya berbeda. Penulis akan menjawab pertanyaan: kenapa ulama dulu yang membatalkan nasab Ba Alwi mudah dipatahkan, sedangkan sekarang nasab Ba Alwi batal secara permanen?
Syekh Ali al-Tantawi (w. 1420 H./1999 M.)
Pertama yang akan penulis sampaikan tentang Syekh Ali Tantawi, kelahiran Damaskus dan wafat di Makkah; seorang ulama yang menulis banyak kitab dalam berbagai disiplin ilmu, di antara kitabnya adalah “Fatawa al-Tantawi”; kenapa ia mudah dipatahkan? Menurut hemat penulis, Syekh Ali Tantawi sebenarnya tidak pernah terpatahkan, karena ia tidak pernah menyampaikan dalil keterputusan nasab Ba Alwi secara khusus, bahkan tidak meyebut Ba Alwi sedikitpun, ia hanya menyampaikan bahwa di antara orang-orang yang mengaku sebagai “alawiyyun” di Hadramaut itu tidak mempunyai dalil yang menetapkan dan menguatkannya. Kata “Alawiyyun” itu bukan Ba Alwi. “alawiyyun” itu kalimat yang biasa digunakan untuk keturunan Sayyidina Ali, namun rupanya Ba Alwi “baper”, sehingga ketika Syekh Ali Tantawi mengatakannya, langsung merasa bahwa kalimat itu untuk mereka. Untuk itu, mereka kemudian membuat kitab-kitab untuk menjawab Syekh Ali Tantawi. Sementara marga lainnya yang mengaku keturunan Nabi di Hadramaut, seperti marga Al-Ahdal, Al-Qudaimi dan yang lainnya tidak ada yang “baper”, biasa-biasa saja, dan tidak membuat kitab-kitab sebagai sanggahan. Mungkin, bagi klan yang lain, nasab kami mau diakui silahkan, tidakpun tidak masalah. Tetapi rupanya, bagi klan Ba Alwi pengakuan itu sangat diperlukan.
Untuk lebih jelas mari kita lihat ucapan Syekh Ali Tantawi yang dimuat di Koran “Al-Sharq al-Awsat” nomor 2473 Tanggal 5 September 1985:
والحضارمة طبقات منهم العلويون الذين يقولون انهم سادة اشراف ومنهم من ليس له مثل هذه الدعوى مع ان قيمة الانسان في دين الاسلام بعلمه وتقواه لا بآبائه واجداده والكريم هو التقي والشريف هو الذي يكون شريفا في معاملته وفي سلوكه ثم ان هذه الانساب التي يدعي فيها الانتساب الى رسول الله صلى الله عليه وسلم ليس لها ما يثبتها ويؤكدها الا قول اصحابها وانا لا اتهم احدا في نسبه ولكن اقرر حقيقة ثابتة
“Orang-orang hadramaut bertingkat-tingkat. Sebagain dari mereka para ‘alawiyyun’, yang mengatakan bahwa mereka adalah para sadat dan syarif. Sebagian diantara mereka, ia yang tidak seperti pengakuannya. Ditambah, bahwa sesungguhnya nilai manusia dalam agama Islam, adalah dengan ilmu dan takwanya, bukan dengan ayah-ayah mereka dan kakek-kakek mereka. Orang yang mulia adalah orang yang bertakwa. Seorang “syarif” (yang mulia), adalah orang yang mulia dalam mu’amalah dan perilakunya. Kemudian, nasab-nasab yang dikatakan tersambung dengan Rasulullah ini, tidak mempunyai apapun yang menetapkan dan menguatkannya, kecuali hanya pendapat dari klannya saja. Aku tidak menuduh seseorang tentang nasabnya, tetapi yang aku ikrarkan ini adalah kebenaran yang sabitah (kokoh dan bisa diuji).”
Dengan kalimat yang tiga baris dari Syekh Ali Tantawi itu, Klan Ba Alwi geger. Padahal, Syekh Ali Tantawi tidak menyebut nama Ba Alwi, hanya saja mereka menganggap ucapan itu ditujukan untuk mereka. Sementara, klan-klan lain di Hadramaut yang juga mengaku sebagai keturunan Nabi tenang-tenang saja. Ditulislah beberapa buku sanggahan untuk menjawab Syekh Ali Tantawi. Sagaf bin Ali bin Umar al-Kaf menulis buku “Al-Jawab al-Hawi Ala Maqalat al- Tantawi”; Al-Syatiri membuat tulisan “Tazwid al-Rawi bi al-Jawab Ala al-Shaykh al-Tantawi”.
Dengan dua buku itu, mereka menganggap sudah dapat menjawab Syekh Tantawi. Bagaimana bisa dikatakan menjawab, sementara, walau Syekh Tantawi yakin mereka bukan keturunan Nabi, ia tidak menyampaikan dalil dimana keterputusan nasab mereka itu. Syekh tantawi hanya mengatakan, bahwa yang ia katakan itu adalah kebenaran. Rupanya, Syekh Tantawi hanya memberikan kode-kode saja, ia ingin berbagi pahala dengan orang-orang setelahnya untuk membongkarnya. Dan hari ini, Kode-kode itu telah terbuka lebar, terang bersinar bagai matahari di siang hari. Tidak ada celah sedikitpun bagi Ba Alwi untuk berlari meninggalkan hujjah yang mengepung, kecuali kesadaran, bahwa semua pengakuan itu mungkin memang sudah waktunya berakhir.
Syekh Murad Syukri Suwaidan
Ia adalah ulama madhab Hambali di Kementerian Wakaf Negara Yordania. Ia banyak menulis kitab dalam ilmu fikih. Di antara kitabnya adalah “Raf’ul Haraj Wa al-Asor An al-Muslimin Fi Hadzihi al-A’sor”. Ia juga menulis sebuah kitab yang membatalkan nasab Ba Alwi dengan judul “Al-Ithaf Fi Ibtal Nasabi al-Hashimiy Li Bani Alwi Wa al-Saqqaf”.
Dalam kitab itu, Syekh Murad menggugat nasab Ba Alwi sebagai nasab yang batil, karena tidak disebut dalam kitab Umdat al-Tolib karya Ibnu Inabah (w. 828 H.). Menurut Syekh Murad, Ibnu Inabah dalam kitabnya mengatakan, bahwa kitabnya ini adalah kitab yang mencatat seluruh keturunan Nabi Muhammad SAW., tapi kenapa, ketika menyebut anak-anak Ahmad bin Isa, Ibnu Inabah tidak menyebut Ubaidillah sebagai anak Ahmad bin Isa.
Sebenarnya, dengan gugatan ini nasab Ba Alwi sudah runtuh. Murad syukri memang tidak seperti penulis, yang menyebutkan seluruh kitab-kitab nasab dan sejarah yang menyebut Ahmad bin Isa yang ada di abad kedelapan, ketujuh, keenam dan kelima. Tetapi, dengan satu kitab saja Syekh Murad sudah membatalkan nasab Ba Alwi secara presisi, kenapa? Karena Ibnu Inabah hidup satu masa dengan Syekh Abdurrahman al-Sagaf, seharusnya, Ibnu Inabah sudah mencatat Ubaidillah sebagai anak Ahmad dalam kitabnya itu, jika ia yakin bahwa Abdurrahman al-Sagaf keturunan Nabi Muhammad SAW. Ketika Ibnu Inabah tidak mencatatnya, ini adalah bukti bahwa Ubaidillah, leluhur Abdurrahman, bukan keturunan Nabi.
Tetapi, bukan Ba Alwi kalau tidak punya cara menjawab. Dan sayangnya setelah dijawab, Syekh Murad tidak menanggapi lagi. Inilah yang kemudian orang menyangka bahwa Syekh Murad kalah dalil. Padahal, hanya dengan dalil itu saja, Syekh murad Syukri sudah cukup membuat nasab Ba Alwi batal, karena kitab itu walaupun di abad sembilan tetapi lebih tua dari awal pengakuan Ba Alwi sebagai keturunan Nabi. Pengakuan Ba Alwi baru di tahun 895 Hijriah, sedangkan kitab Umdatuttalib itu tahun 828 Hijriah. Dan, jika Syekh Murad mau membantah jawaban dari Ba Alwi, maka akan terbongkar bahwa jawaban Ba Alwi itu penuh kedustaan. Namun sayang, kita tidak mendengar lagi Syekh Murad menyanggah jawaban Ba Alwi itu. Jawaban dari Ba Alwi untuk pertanyaan Syekh Murad yang berkaitan dengan data dan sumber adalah kedustaan ilmiah saja. Tidak percaya? Mari kita buktikan.
Setidaknya, ada dua kitab ditulis oleh Ba Alwi dan pendukungnya untuk menjawab gugatan Syekh Murad: pertama kitab “Al-Radd al-Mufhim al-Mubin” yang ditulis oleh Hasan bin Ali al-Sagaf. Yang kedua, adalah kitab “Al-Summ al-Za’af” karya Abi Laith al-Idrisi al-Kattani.
Hasan al-Segaf menjawab gugatan Syekh Murad itu dengan beberapa narasi: pertama, bahwa Ubaidillah tidak disebut oleh Ibnu Inabah, sementara anak lain disebut, itu karena Ibnu Inabah hanya menyebut anak-anak Ahmad bin Isa yang ia ketahui saja, sedangkan Ubaidillah tidak ia ketahui. Yang kedua, Ibnu Inabah punya kitab lain berjudul “bahrul Ansab” yang disebut juga “Umdat al-Talib al-Kubro”, di sana ia menyebut nasab Abdurrahman al-Sagaf sampai Ali bin Abi Talib. Ketiga, ibnu Inabah mempunyai kitab khusus yang menerangkan nasab Ba Alwi sebagaimana disebut dalam kitab “Al-A’lam” karya Al-Zirikli (w. 1976 M.). Keempat, walau seandainya-pun Ibnu Inabah tidak menyebutnya, tetapi disebut oleh ulama abad sembilan lain semacam Al-sakhawi (w. 902 H.) dalam kitab Al-Daw al-Lami¡¯.
Jawaban Hasan al-Sagaf nampak sangat meyakinkan. Jika yang membacanya ahli taklid buta, ia akan langsung manggut-manggut dan percaya. Sayang, zaman ini zaman kecerdasan. Orang yang taklid buta akan berada dipojok kehidupan; orang yang mudah husnudzon dengan kedustaan di depannya, rohaninya akan terjajah dan gampang dijadikan budak oleh manusia lainnya. Ia dan anak cucunya, hanya akan jadi pengikut hina, yang tervonis takdirnya tidak akan bisa lebih mulia dari orang-orang yang berani berdusta yang dihusnuzoninya itu.
Dalam suasana jiwa lain, orang yang sengaja berdusta itu, merasa masih “penuh barokah” dengan kedustaannya, ia tidak lagi punya rasa takut kepada Tuhan, karena ia tahu kedustaan besarpun, ternyata masih didukung Tuhan dengan “istidraj”-nya, apalagi akhirat itu urusan nanti, yang penting hari ini mulia, siapa tahu Tuhan akan mengampuni segala dosa. Sampai kiamat anak cucu jadi mulia, itu yang terpenting, maka semuanya harus diperjuangkan dengan segala sisa kekuatan yang ada, walau harus terus menerus berdusta.
Kembali kepada jawaban Hasan al-segaf. Pertama ia menjawab, Ubaidillah tidak disebut oleh Ibnu Inabah, sementara anak lain disebut itu, karena Ibnu Inabah hanya menyebut anak-anak Ahmad bin Isa yang ia ketahui saja, sedangkan Ubaidillah tidak ia ketahui. Penulis menjawab singkat, lalu mana kitab yang menyebut nama Ubaidillah sebagai anak Ahmad bin Isa sebelum Ali al-Sakran? Bawa sini. Tidak akan pernah bisa kau bawa. Engkau mencari, tidak akan pernah engkau temui, Kenapa? Karena memang Ubaidillah bukan anak Ahmad bin Isa.
Jawaban Hasan al-Sagaf yang kedua, Ibnu Inabah punya kitab lain berjudul “Bahrul Ansab”, ia disebut juga “Umdat al-Talib al-Kubro”, di sana ia menyebut nasab Abdurrahman al-Sagaf sampai Ali bin Abi Talib. Penulis menjawab, tidak ada nama Abdurrahman al-Saqaf disebut dalam kitab “Bahr al-Ansab” atau “Umdat al-Talib al-Kubro” karya Ibnu Inabah. Yang ada adalah nasab ba Alwi disebut dalam kitab “Bahr al-Ansab” karya Amididdin al-najafi (w. abad 10 H.), itupun hasil interpolasi penyalin pada tahun 1213 Hijriah (abad 13 H.) yang merujuk salinan Murtado al-Zabidi. Dalam salinan tahun 1213 Hijriah itu, tulisan yang merujuk salinan al-Zabidi ditulis dengan tinta merah, termasuk nama Abdullah yang ditulis sebagai anak Ahmad ditulis dengan tinta merah, sebagai tanda bahwa nama Abdullah sebagai anak Ahmad ini, dalam naskah asli kitab “Bahr al-Ansab” tidak ada.
Jawaban ketiga Hasan al-saqaf, ibnu Inabah mengarang satu kitab khusus yang menerangkan nasab Ba Alwi, sebagaimana disebut dalam kitab “Al-A’lam” karya Al-Zirikli (w. 1976 M.). penulis menjawab, Ibnu Inabah tidak mempunyai kitab yang membahas khusus keluarga Ba Alwi. Kitab Ibnu Inabah dalam nasab itu selain kitab “umdat al-Talib” adalah: Kitab “Umdat al-Talib al-Kubro”, kitab “Umdat al-Talib al-Wusto”, kitab “Al-Fusus al-Fakhriyah”, kitab “Al-Tuhfat al-jamaliyah” dan “Tuhfat al-Talib”. Tidak ada kitab Ibnu Inabah yang ditulis khusus untuk Ba Alwi.
Logika saja tidak akan menerima, masa iya, Ubaidillah yang tidak disebut sebagai anak Ahmad bin Isa dalam kitab Umdat al-Talib, akan disebut khusus dalam kitab khusus. Sedangkan nama anak lain telah disebut dalam kitab Umdat itu. Tidak masuk akal. Seharusnya, apa sih susahnya menyebut nama Ubadillah sebagai anak Ahmad di kitab Umdat, hanya tujuh hurup saja kok, kemudian, kalau mau disebut anak keturunannya yang banyak itu, baru membuat kitab khusus. Jadi, ada benang merah antara kitab khusus itu dengan kitab sebelumnya.
Hari ini, kalau umpama tiba-tiba muncul dari antah berantah, kitab karya Ibnu Inabah yang memuat khusus nasab Ba Alwi, jelas orang tidak percaya, kenapa? Karena tidak ada benang merah dengan kitab yang ia karang sebelumnya. Pasti orang akan menyangka kitab itu palsu belaka.
Lalu bagaimana tentang Al-Zirikli, yang telah menyebut di dalam kitabnya tahun 1976 M. bahwa Ibnu Inabah mengarang kitab khusus untuk Ba Alwi? jelas itu hanya mengutip dari sumber yang salah. Dari mana penulis bisa mengetahui bahwa Al-Zirikli mengutip dari sumber yang salah? Lihat sendiri dalam kitabnya Al-A’lam itu, ia mengatakan, jika kitab Ibnu Inabah yang berisi keluarga Ba Alwi itu terdapat di sebuah perpustakaan di Tarim. Apa artinya? Artinya, ia mendapatkan berita dari orang Tarim bahwa ada manuskrip karya Ibnu Inabah di Tarim yang khusus menulis tentang keluarga Ba Alwi. lalu ditulis oleh Al-Zirikli dalam kitabnya. Mengenai benar atau tidak berita itu, itu hal lain. Yang jelas, kalau manuskrip itu ada, Alwi bin Tahir akan menyebutkannya dalam kitabnya Uqud al Almas. Nyatanya tidak.
Kasusnya mirip dengan kasus Imam Ubaidili yang tidak menyebut nama Ubaidillah dalam kitab terkenalnya, Tahdzibul ansab. Lalu, Ba Alwi mengatakan nama Ubaidillah disebut dalam kitab Al-Ubaidili yang lain yang belum ditemukan.
Pola pertahanan nasab Ba Alwi selalu mirip: mencari dalil “orang yang tidak ditemukan” dengan dalil “kitab yang belum ditemukan”. Jadinya hujjah mereka seperti labirin yang tidak diketahui pintunya mana, berharap orang akan lelah, lalu melupakan.
Dengan semua itu di atas, anehnya mereka “PD” banget sebagai nasab yang paling sahih. Sementara nasab ulama di Yaman dari kaum Zaidiyah, yang terbukti kesahihannya dan terkonfirmasi dalam kitab-kitab nasab, mereka biasa-biasa saja dalam mensikapi kedudukan mereka sebagai keturunan Nabi. Tidak terlalu tampak mengeksploitasi nasab mereka. Ciri genetik alawiyyin mereka, hari ini tampak dalam perjuangan mereka mengahadapi perang melawan Israel, Inggris dan Amerika. Mereka menjadi pemimpin di Yaman, bukan karena mengeksploitasi nasab mereka dan menjual cerita keperkasaan leluhur mereka di masa lalu, tetapi dengan kepemimpinan dan keberanian yang mereka tunjukan di hari ini. Begitu juga para sadah di saudi Arabia dari marga Al-abdali, Al-Aoni, Al-Hasyimi, Al-Idrisi al-Syarif, Al-Abdul Aziz, Al-Muhanna, Al-Jammaz, Al-Syihah, Al-Ayasa, Al-Banu Rajih dan sebagainya, biasa-biasa saja dalam mensikapi nasab mereka.
Jawaban keempat Hasan al-Segaf adalah walau seandainya-pun Ibnu Inabah tidak menyebutnya, tetapi sudah disebut oleh ulama abad sembilan lain semacam Al-Sakhawi (w. 902 H.) dalam kitab Al-Daw’u al-Lami’.
Penulis menjawab, Al-Sakahwi meninggal tahun 902 Hijriah, ketika ia menyebut nasab Ba Alwi itu ia mengutip dari kitab Al-Burqoh karya Ali al-Sakran, jadi memang Al-Sakhawi menulis kitab itu setelah ada pengakuan dari Ba Alwi. Jadi Al-Sakhawi mencatat dalam kitabnya itu karena ia menerima informasi yang salah seperti Imam Ibnu Hajar, dan ulama -ulama setelahnya yang menghusnudzoni sebuah berita tanpa memverifikasinya.
Dari empat jawaban Hasan al-Sagaf itu, telah nyata bahwa sebenarnya, jawaban-jawaban yang nampak kokoh itu, rapuh dan dibangun berdasar kedustaan. Sayang, Murad Syukri tidak menjawab lagi setelah disanggah itu. Jika ia menjawab sebagaimana jawaban penulis itu, nasab Ba Alwi sudah lama selesai. Apalagi, kini penulis dapat menghadirkan dalil-dalil yang komprehensif di setiap abad, baik kitab nasab maupun kitab sejarah yang menyatakan bahwa Ahmad bin Isa tidak hijrah ke Yaman dan tidak mempunyai anak bernama Ubaidillah.
Penulis: Imaduddin Utsman al-Bantani
Publikasi 500 Muslim Paling Berpengaruh Di Dunia Tahun 2025, Proyek Klan Ba’Alwi?
Setiap tahun kita disuguhkan publikasi “The Muslim 500: The World's 500 Most Influential Muslims” (500 tokoh muslim paling berpengaruh di...
Read more