Penulis : Nurul Azizah
Sebenarnya penulis enggan menulis tentang nasab, apalagi nasab dari Yaman yang menyangkut sebagai dzuriyahe Kanjeng Nabi, takut keliru, karena penulis bukan ahli dalam sejarah pernasaban.
Tulisan ini sebagai pengalaman pribadi saja, karena penulis juga dekat dengan Habib.
Mengapa di Indonesia, kalau ada yang keturunan ke Arab-araban terus dipanggil Habib. Yang belum tentu kita cintai itu mencintai kita. Istilah Habib berarti yang dicintai sedangkan Muhibbin (yang mencintai).
Kalau dari segi arti bahasa, mengapa kita panggil orang Habib sementara belum tahu nasabnya dari mana? Kan lucu mencintai seseorang tapi belum tahu asal usulnya.
Apakah orang tua kita, guru-guru kita tak lebih dari seorang Habib? Karena begitu cintanya kita pada mereka. Cuma orang tua dan guru-guru kita bukan keturunan dzuriyahe kanjeng Nabi. Kalau kita tidak mencintai orang tua kita, guru-guru kita, bisa-bisa kita kualat. Merekalah yang seharusnya kita cintai dan kita muliakan.
Mengapa setiap orang kearab-araban yang belum faham benar asal usulnya, belum jelas nasabnya, apakah ada keturunan Nabi atau bukan, lalu kita gandrungi sampai cinta mati? Kita cium tangannya berkali-kali. Kita dengarkan petuahnya, kita laksanakan perintahnya. Kita manjakan dia, diidolakan, seakan-akan kita bertemu Kanjeng Nabi, cinta mati kelewat batas.
Cuci otak ini yang perlu kita perhatikan. Masak kita harus patuh dan hormat kepada Habib yang belum jelas nasab dan keturunannya.
Di pondok-pondok pesantren ahlussunah wal jamaah Nahdlatul Ulama kebiasaan memuliakan Habib itu seakan-akan hukumnya wajib. Sampai segitunya kalau ketemu orang yang bergelar Habib, dielu-elukan dan digandrungi. Coba orang tua kita, apakah pernah kita perlakukan layaknya seorang Habib? Orang tua apabila kita mencintainya, so pasti orang tua akan membalas dengan cinta lebih dari yang kita berikan.
Bahkan ada yang beranggapan seorang yang bergelar Habib sebagai Al-quran berjalan. Ya itu Habib yang benar-benar ada Deoxyribo Nucleic Acid (DNA) atau keturunan genetik dari Kanjeng Nabi, kalau tidak ada keturunan sama sekali, berarti kita selama ini salah orang. Kita bisa-bisa salah menilai orang.
Dari tafsir yang pernah penulis baca menyebutkan bahwa ahlul bait Kanjeng Nabi Muhammad saw adalah orang-orang yang membersamai Nabi. Diantaranya adalah istri-istri beliau. Putra-putri beliau, dua cucu Nabi (Hasan dan Husain), satu menantu Nabi, yaitu Sayyidina Ali bin Abi Thalib. Kemudian mereka yang membersamai beliau sebagai sanak kerabat Nabi. Atau orang-orang yang berada di lingkungan terdekat dan tentu sezaman dengan Nabi. Para mufassir tak menyebut anak keturunan Nabi yang hidup belakangan ini sebagai ahlul bait Nabi. Zaman serba modern saat ini, siapa saja yang mengaku keturunan Nabi bisa melakukan tes DNA, sebelum koar-koar di atas mimbar dakwah sebagai cucu Nabi.
Setelah tes DNA hasilnya diumumkan di kalayak ramai, apakah yang bersangkutan keturunan Nabi, atau bukan. Jangan terus membodohi masyarakat dengan menjual nasab untuk memperbaiki nasib. Untuk mengumpulkan pundi-pundi rupiah dan kaya raya.
Ya bolehlah seorang Habib kita hormati, asalkan semua yang mengaku sebagai Habib mau tes DNA. Berani ndak? Hasilnya diumumkan di masyarakat, itu baru adil.
Kita kadang cinta mati sama Habib, dan mengucilkan orang tua dan guru-guru kita. Padahal merekalah yang mengukir jiwa raga, mendidik dan merawat ketika sakit dan saat butuh pertolongan.
Kalau para Habib tidak berani tes DNA, jangan disanjung-sanjung, apalagi ajaran Islam yang disampaikannya, penuh dengan kata-kata kotor dan sebagai ujaran kebencian. Wah bisa jadi ini Habib atau cucu Nabi palsu.
Penulis punya beberapa guru, ada kiai-kiai yang santrinya Gus Dur, ada pula guru seorang Habib,tapi semua rukun dan saling mencintai. Cinta ini tumbuh karena beliau memiliki ilmu agama yang luar biasa, alim dan dermawan, tidak pelit dalam memberikan ilmu dan pertolongan kepada masyarakat. Ilmunya luas dan luwes, selalu mencerahkan dan tidak pandang bulu dalam memberikan bantuan kepada orang yang datang kepadanya. Guru-guru yang seperti ini, yang ada keturunan Arab biasanya tidak mau dipanggil Habib. Hal ini dilakukan agar tidak ada perbedaan kasta antara sesama umatnya Kanjeng Nabi Muhammad saw.
Jangan sampai kita mencintai Habib melebihi cinta kita kepada bapak ibu, saudara dan guru-guru kita.
Mengapa sampai sekarang masih banyak orang mencintai Habib tanpa melihat asal usulnya. Padahal keturunan Arab tidak hanya berprofesi sebagai ulama. Banyak diantara para pendatang ini jadi pedagang, Guru, TNI, Polisi, pejabat di pemeritahan atau bahkan ada yang jadi penganguran.
Yang penulis amati di lapangan pecinta Habib itu sudah tidak bisa berfikir rasional. Mosok orang yang mengaku sebagai Habib ketika menjadi gila, pezina, tetap kita ciumi tangannya sebagai bukti kecintaannya pada dzuriyah Nabi Muhammad saw.
Ada lagi menurut pengamatan penulis, ada grup WA dari kalangan kiai dan Habib, dalam grup tersebut terdapat kejanggalan. Masak yang boleh komen yang punya gelar Habib saja, para kiai dan anggota WAG cukup membaca dan mendengarkan petuah dari postingan sang Habib. Tidak ada komunikasi dua arah, tidak ada diskusi dan tidak boleh menyalahkan dari perkataan Habib. Padahal seorang Habib itu juga kategori manusia. Manusia tidak ada yang sempurna, tempat salah dan lupa.
Perlu diluruskan lagi,
Aswaja NU sepakat mencintai dzuriyat Rasullullah saw itu wajib dan sama wajibnya membenci atau memerangi orang-orang yang mengaku sebagai keturunan Nabi saw tapi palsu.
Penulis sering mengamati, kalau ada orang yang mengaku Habib tanpa jelas nasabnya. Terus langsung dipuja dan dimanja. Apa yang menjadi keinginannya dituruti. Dari sini kita mengambil sikap jangan berlebihan dalam memuja Habib. Jangan terlalu menyanjung seorang Habib melebihi sanjungan kita ke orang tua dan guru-guru kita.
Siapapun orangnya mau Habib, mau kiai, bu nyai, mau gus, mau neng, mau pejabat, mau guru, TNI, Polisi, mau rakyat biasa atau siapapun dia, kalau ngajari untuk membenci orang lain jangan diikuti.
Siapapun orangnya, setinggi apapun jabatannya, kok ngajari untuk membenci orang lain jangan diikuti. Kenapa karena membenci orang lain bukan ajaran dari Rosulullah saw.
Nurul Azizah, penulis buku “Muslimat NU Di Sarang Wahabi dan Muslimat NU Militan Untuk NKRI”