Gus Rumail Abbas (sebagai pembela Ba Alwi, selanjutnya disebut pembela), telah mengirimkan sebuah buku setebal limapuluhtiga halaman kepada penulis. Buku itu berjudul “Menakar Kesahihan Pembatalan Ba Alawi”. Penulis saat ini berada di luar provinsi dalam rangka menghadiri undangan sebuah PCNU di Jawa (orang Banten jika menyebut Jawa, maksudnya bukan Banten, DKI dan Jabar. Ia menunjukan sebuah daerah di Jateng dan DIY atau Jatim). Karena itu, penulis belum melihat buku itu dalam versi cetak yang terkonfirmasi telah sampai di kantor kelurahan Pondok Pesantren NU Cempaka, Kresek, Tangerang, Banten.
Rupanya, selain versi cetak, Gus Rumail pun mengirim buku tersebut dalam versi PDF via seorang kiai di Jatim. Dalam kendaran, penulis mencoba membuka versi PDF itu, dan Agaknya, buku ini bukanlah buku jawaban sepesifik terhadap duabelas pertanyaan yang penulis ajukan. Didalamnya diawali oleh masih adanya narasi apologetic tentang gugatan teori kitab sezaman, yang dari situ penulis pesimis akan apakah buku Gus Rumail ini mewakili bagi jawaban seharusnya dari tesis pembatalan penulis terhadap nasab Ba Alwi.
Tulisan yang penulis tulis di atas kendaraan ini, merupakan tulisan awal dari masalah-masalah yang menurut penulis laik ditanggapi pertamakali berdasar lompatan-lompatan bacaan penulis terhadap buku pembela itu.
Ketika abad ke enam hijriah telah terverifikasi membatalkan nasab Ba Alwi, baik versi Abdullah mauapun versi Ubaidillah, pembela perlu menghadirkan antithesis abad ke enam tersebut. Kitab-kitab nasab dan sejarah abad itu, juga diperkuat oleh kitab nasab abad selanjutnya sampa abad ke sepuluh, menganulir pengakuan ketersambungan nasab Ba Alwi di abad ke sembilan Hijriah. Cara baca penulis dengan melompat, dilakukan untuk mencari dalil peruntuh benteng tesis abad ke enam itu, karena perdebatan tentang kaidah-kaidah disaratkan atau tidaknya kitab sezaman biarlah menjadi domain para pemuja taklid yang berbasis husnuzon saja. Anak-anak gen-Z kita yang kehidupannya telah berbasik tehnologi AI (Artificial Intellegence), akan mentertawakan orangtuanya yang ketika melihat kabel listrik bertegangan tinggi lalu menyuruhnya untuk memegangnya dengan berbasis husnuzon bahwa listrik itu tidak akan menyengatnya karena ia hanya benda mati; atau ketika kita melihat kertas putih lalu kita menyuruhnya berhusnuzon bahwa warna kertas itu sebenarnya adalah merah. Kaidah-kaidah yang tidak logic akan ditinggalkan zaman dan ditertawakan peradaban.
Setelah penulis melompat kepada tulisan pembela tentang manuskrip, penulis melihat bahwa pembela telah berusaha mendapatkan rudal penghancur kuatnya benteng pertahanan abad enam hijriyah yang membatalkan nasab Ba Alwi sebagai keturunan Nabi Muhammad Saw.
Di halaman enambelas, pembela menyuguhkan sebuah narasi yang katanya terjemahan dari sebuah naskah yang ia temukan:
“(Naskah ini) milik Abi al-khair Muhammad ibn Ali al-Mawazini (w.tt), didapatkan secara qiro’at pada tahun 655 H. di Masjidilharam dari al-faqih al-Abid Umar Abu al-Qasim ibn Said al-Din ibn Ali Dzafari (w.667 H.)”.
Narasi itu katanya didapat dari sebuah manuskrip yang menyebut nama Faqih Muqoddam dengan judul :
“kitab al-Arba’in al-Musnad li al-Imam al-Faqih Muhammad ibn Ali al-Alawi, dikeluarkan oleh Umar al-Abid ibn Sa’d al-Din ibn Ali al-Dzafari (w.667 H.)”.
Di halaman kedua, kata pembela, ia menemukan narasi yang menyebut Faqih Muqoddam beserta silsilah nasabnya sampai Ahmad bin Isa.
Lalu, apa yang ingin pembela jadikan dalil dari dua proposisi itu? Ia mungkin ingin mengatakan, bahwa naskah itu ditulis pada tahun yang tertera disana, yaitu tahun 655 H. walaupun tahun ini tetap tidak bisa menghancurkan benteng abad ke enam (tahun 597 H. yaitu tahun rampung ditulisnya kitab al-Syajarah al-Mubarokah), lebih dari itu, tahun itu tidak serta merta dapat dikatakan sebagai tahun penulisan manuskrip itu.
Siapapun, hari ini bisa menulis angka tahun yang diinginkannya, tetapi tetaplah angka tahun yang dihitung sebagai titimangsa penulisan adalah dari mulai penulisan itu, yaitu hari ini, bukan tahun berita yang dituliskan. Logika awam saja akan faham, jika hari ini kita tulis kalimat seperti ini:
“ini adalah wasiat Prabu Siliwangi Untuk anak cucunya di Banten agar jangan biarkan tanahnya direbut para pendusta. wasiat ini ditulis oleh anaknya yang bernama Pangeran Cakrabuana tahun 1445 Masehi”.
Tulisan itu, walau berangka tahun 1445 Masehi, tetap saja tulisan itu adalah tulisan tahun 2024 Masehi, bukan tahun 1445 Masehi, karena memang baru ditulis hari ini. mengenai apakah benar bahwa Prabu Siliwangi berwasiat seperti itu, atau apakah benar anaknya, Pangeran Cakrabuana, menulis kalimat itu, yang demikian itu hal lain yang juga dapat ditelusuri, diverifikasi dan dikonfirmasi kebenarannya.
Apalagi dicatatan kaki, pembela mengatakan bahwa naskah itu ditulis tanpa tahun penulisan. Ya rungkad. Bagaimana sebuah perdebatan titimangsa sejarah didalili oleh sebuah manuskrip bodong.
Dari limapuluhtiga halaman buku tersebut, nampaknya, temuan itulah yang paling menjadi andalan pembela untuk menyambungkan paksa nasab Ba Alwi kepada baginda Nabi. Dan itupun tertolak karena, seperti sanad hadits yang telah terbukti palsu itu, nampaknya manuskrip inipun sengaja diciptakan untuk kepentingan yang sama, yaitu ditenagai oleh melulu menyambungkan paksa nasab Ba Alwi.
Hal-hal lain yang perlu penulis tanggapi, akan penulis sampaikan pada tulisan berikutnya. Tentu, penulisan di tengah perjalanan ini tdak sefokus ketika menulis dalam indahnya keheningan dan nikmatnya kesendirian.
Penulis: Imaduddin Utsman al-Bantani
Dr. Sugeng Sugiharto di-Demosi oleh BRIN karena Bicara Nasab Klan Habib Baalwi?
Penulis: Kgm. Rifky ZulkarnaenPenulis memperoleh informasi bahwa Dr. Sugeng Sugiharto di-demosi (penurunan jabatan dan tunjangan kinerja) oleh kantor tempat beliau...
Read more