Diskursus nasab Ba Alawi telah sampailah pada titik terang. Yaitu, bahwa nasab Ba Alawi terputus selama 550 tahun, sampai nama Ubaidillah disebutkan oleh Habib Ali al-Sakran (w.895 H) sebagai anak Ahmad bin Isa. Yaitu, dalam kitabnya al-Burqat al-Musyiqoh (kemudian disebut al-Burqoh).
Dalam kitab itu, Habib ali al-Sakran menyebutkan sebuah kosidah (terdiri dari bait-bait syair) tentang nasab Ubaid bin Ahmad bin Isa sampai ke Nabi Muhammad SAW. Kosidah itu ditulis oleh Syekh Jamaluddin Muhammad bin Muhammad bin Ahmad Gosyir al-Hadrami, ulama yang semasa dengan Habib Ali al-Sakran. Dalam kosidah itu ia memuji kakak (atau adik) dari Habib Ali al-Sakran yang bernama Habib Abdullah bin Abu Bakar (al-Sakran).
Kesimpulan dari kitab al-Burqoh ini, pertama bahwa untuk pertama kali, nasab ubaidillah sebagai datuk para habaib disebut sebagai keturunan Nabi Muhammad SAW adalah dikitab al-burqoh ini, yaitu maksimal ditulis tahun 895 H.
Kesimpulan kedua, bahwa Habib Ali al-Sakran lah orang yang pertama kali berkesimpulan bahwa Ubaidillah ini tidak lain adalah Abdullah. Di mana, nama Abdullah ini disebut dalam kitab al-Suluk karya al-Jundi (w. 730 H). penulis telah buktikan dalam artikel penulis “Rangginang dari Banten untuk Hanif Alatas”, bahwa Abdullah ini bukan orang yang sama dengan Ubaid atau Ubaidillah.
Nama Abdullah sendiri, yang disebut al-Jundi sebagai anak Ahmad bin Isa, tidak disebutkan oleh ulama nasab sebagai anak Ahmad bin Isa. Kitab al-Syajarah al-Mubarokah karya Fakhruddin al-Razi menyebutkan bahwa anak Ahmad bin Isa hanya tiga yaitu: Muhammad, Ali dan Husain.
Kesimpulan nasab para habib Ba Alawi ini, terputus selama 550 tahun, terhitung sejak wafatnya Ahmad bin Isa tahun 345 H. sampai nama Ubaid atau Ubaidillah disebutkan Habib Ali al-Sakran tahun 895 H.
Walau demikian, seperti yang penulis sebutkan dalam beberapa kesempatan, bahwa kesimpulan kajian ini bersifat ilmu pengetahuan atau ijtihad. Jadi, bisa saja seseorang mengabaikan dalil-dalil kajian ini walau dianggap rajih (kuat) dan memilih untuk meyakininya secara husnudzon sebagaimana sebelumnya walau dianggap marjuh (lemah).
Imam al-Qalyubi berkata:
وَيَجُوزُ الْعَمَلُ بِالْمَرْجُوحِ فِي حَقِّ نَفْسِهِ لَا فِي الْإِفْتَاءِ وَالْقَضَاءِ إذَا لَمْ يَجْمَعْ بَيْنَ مُتَنَاقِضَيْنِ كَحِلٍّ وَحُرْمَةٍ فِي مَسْأَلَةٍ وَاحِدَةٍ (حاشية قليوبي وعميرة: المكتبة الشاملة: 1/13)
“Dan boleh menggunakan pendapat yang lemah untuk pribadi, tidak untuk fatwa dan menghukumi, (boleh itu) ketika tidak berkumpul antara dua pendapat yang bertentangan itu halal dan haram dalam satu masalah” (Hasyiyah qalyubu wa umairaoh: al-Maktabah al-Syamilah: 1/13)