Oleh : Kyai M. Hamdan Suhaemi
Kesetiaan Abadi
Kita terlahir, hidup dan mati di tanah air ini. Tanah air Indonesia, negeri yang bangsanya bersuku-suku, beraneka adat istiadat, beribu-ribu bahasa dan dialeknya. Memeluk agama yang berbeda-beda, bermacam-macam kepercayaan dan keyakinan. Dari Aceh hingga Merauke, dari Miangas hingga Pulo Rote. Daratan, lautan, gunung dan ngarai seperti taman-taman surgawi yang tertata begitu indah memukau, sejuk dipandang, damai dirasa. Negeri Darussalam, loh jenawi toto titi tenteram Kerto raharjo dan baldatun toyyibatun wa robbun ghofur. Negeri Nusantara yang kaya raya, yang banyak memiliki kebajikan lokal, kearifan dan keindahan seni budayanya.
Disinilah, awal nafas kita hembuskan dari rahim sang ibu, terlahir menjadi manusia Indonesia, manusia yang terlahir memilliki jiwa, fikiran dan tekad menjadi anak kandung negeri Nusantara ini. Suatu anugerah, suatu kebanggaan, suatu kehormatan sebagai manusia yang terlahir di bumi Nusantara ini.
Ibu kandung bernama tanah air Nusantara ini, baginya harga diri, baginya keistimewaan, baginya kemuliaan dan baginya jiwa raga kita.
Bukan sekedar pijakan jengkal demi jengkal tanah yang kita diami, bukan hanya tumbuh-tumbuhan yang kita tanami, bukan hanya ikan-ikan yang kita kail,kita ambil dan kita nikmati. Tapi pijakan kita sebagai manusia Indonesia adalah kesatuan jiwa raga, satu kesempurnaan penyatuan roh dan raganya kita dengan negeri ini. Suatu ikatan batin yang abadi dengan negeri ini, karena ia adalah ibu kandung yang melahirkan kita.
Pantas, jika membelanya dengan air mata, harta dan nyawa kita. Sebab negeri ini adalah hadiah istimewa dari Tuhan yang maha kasih sayang. Syukur kita panjatkan kehadiratnya. Kitapun disini bersumpah setia pada Nusantara, ibu kandung kita. Selama nyawa di kandung badan selama itu pula menjaga dan membelanya.
Pembelaan Abadi
Suatu kepantasan dan kewajibannya sebagai anak negeri ini, adalah pembelaan terhadapnya. Bila itu diharuskan maka darah pun dipertaruhkan tanpa beban dan tanpa ragu.
Ali bin Muhammad bin Ali Al-Jurjani telah mendefinisikan hal ini dengan istilah al-wathan al-ashli yaitu tempat kelahiran seseorang dan negeri di mana ia tinggal di dalamnya. Al-Jurjani mengatakan, “Al-wathan al-ashli adalah tempat kelahiran seseorang dan negeri di mana ia tinggal di dalamnya “. Ini dimaksudkan bahwa al-Jurjani tengah memberi pesan ke kita bahwa membela tanah air adalah pengejawantahan dari naluri kelahiran.
Dalam Tafsir al-Kabir, al-Imam Fakhr Al-Din al-Razi menafsirkan suatu ayat bahwa, “Allah menjadikan meninggalkan kampung halaman setara dengan bunuh diri.” Pernyataan al-Razi ini menjelaskan bahwa meninggalkan tanah air bagi orang-orang yang berakal adalah perkara yang sangat sulit dan berat, sama sebagaimana sakitnya bunuh diri. Jadi, cinta tanah air merupakan fitrah yang terhunjam sangat dalam pada jiwa manusia.
Dalam kitab Hilyat al-Awliya’, Abu Nu’aim meriwayatkan dengan sanadnya kepada pimpinan kaum zuhud dan ahli ibadah, Ibrahim bin Adham, ia berkata, “Saya tidak pernah merasakan penderitaan yang lebih berat daripada meninggalkan tanah air.”
Hadratussyaikh KH. Hasyim Asy’ari, Rois Akbar PBNU telah menyatakan bahwa hukum membela keutuhan tanah air adalah fardhu ‘ain, yakni wajib bagi setiap umat Islam. Ungkapan Kiai Hasyim bahwa “man maata Li ajli wathonihi maata syahidan” artinya barang siapa mati demi tanah airnya, maka ia mati syahid.” Ini kita lihatnya sebagai ungkapan ideologis.
Syaikh Mahmoud Ashour, mantan wakil Al-Azhar dan anggota Akademi Riset Islam Mesir menjelaskan tentang konsep al-wathan (tanah air) dalam ajaran Islam, yaitu sebidang tanah yang dihuni sekelompok orang yang menjadi tempat mata pencaharian mereka dan tempat tinggal tetap bagi keluarga dan keturunannya setelah mereka. Menjadi tugas mereka semua untuk membangun dan melindunginya. Islam telah mengangkat status tanah air sebagai nilai sangat penting keberadaannya. Cinta dan kesetiaan kepada tanah air adalah kewajiban.
Kemuliaan dan Kehormatan
Syaikh Muhammad Mahmud al-Hijazi dalam Tafsir al-Wadlih menjelaskan ayat dari surat at-taubah, ayat 122. Sang Syaikh menjelaskan.
وتُشِيرُ الآيةُ إلى أنَّ تَعَلُّمَ العلمِ أَمْرٌ واجِبٌ على الأمَّةِ جَميعًا وُجُوبًا لا يَقِلُّ عَن وُجوبِ الجِهادِ والدِّفاعُ عَنِ الوَطَنِ وَاجِبٌ مُقَدَّسٌ، فَإِنَّ الوَطَنَ يَحْتاجُ إلى مَنْ يُناضِلُ عَنْهُ بِالسَّيفِ وَإِلَى مَنْ يُنَاضِلُ عَنْهُ بِالْحُجَّةِ وَالبُرْهَانِ، بَلْ إِنَّ تَقْوِيَةَ الرُّوحِ المَعْنَوِيَّةِ، وغَرْسَ الوَطَنِيَّةِ وَحُبِّ التَّضْحِيَةِ، وَخَلْقَ جِيْلٍ يَرَى أَنَّ حُبَّ الوَطَنِ مِنَ الإِيمَانِ، وَأَنَّ الدِّفَاعَ عَنْهُ وَاجِبٌ مُقَدَّسٌ. هَذَا أَسَاسُ بِنَاءِ الأُمَّةِ، ودَعَامَةُ اسْتِقْلَالِهَا.
KH. Nawawi Imron mengatakan secara indah dalam puisi bertajuk “Indonesia Tanah Sajadah”
Kita minum air Indonesia menjadi darah kita,
kita makan buah-buahan dan beras Indonesia menjadi daging kita,
kita menghirup udara Indonesia menjadi napas kita,
kita bersujud di atas bumi Indonesia.
Bumi Indonesia menjadi sajadah kita,
suatu saat nanti kita mati,
kita akan tidur pulas dalam pelukan bumi Indonesia,
daging kita yang hancur akan menyatu dengan harumnya bumi Indonesia.
Tanah air adalah ibunda kita,
siapa mencintainya,
harus menanaminya dengan benih-benih kebaikan dan kemajuan,
agar Indonesia yang indah semakin damai dan indah.
Tanah air adalah sajadah,
siapa mencintainya jangan menciprati dengan darah,
jangan mengisinya dengan fitnah, maksiat dan permusuhan. Tanah air Indonesia adalah sajadah
Dari lirik puisi di atas, dapat kita artikan bahwa kita adalah anak kandung dari ibu bernama Nusantara. Disinilah lahir, hidup dan mati. Menjaga kemuliaan, harga diri, tekad dan kemakmuran Indonesia adalah perjuangan abadi kita.
Serang 16-8-21
Wakil Ketua PW GP Ansor Banten
Ketua PW Rijalul Ansor Banten