Oleh: Kyai M. Hamdan Suhaemi
Umumnya terjadi pergolakan sosial dan perang itu selalu dipicu oleh benturan ideologis, disamping kehendak berkuasa dari individu untuk kemudian menghendaki kekuasaan mutlak digenggamnya. Kekuatan untuk berkuasa selalu menjadi dasar bagi para pemuja kekuasaan, sebagai sikap menghadirkan dirinya sebagai wakil Tuhan di bumi, meskipun harus dengan cara perang, dan mengorbankan nyawa manusia.
Ideologi tentu menjadi pijakan awal dalam kecenderungannya berkuasa, memaksa, bahkan menjajah manusia lainnya. Hampir semua ide dasar penjajahan itu pun berasal dari ideologi. Tesis terkait ini bahwa prinsip gospel, globe dan glory telah banyak menjiwai para penakluk dunia, seperti Marcopolo, Tom Pires, Vasco da Gamma, Amerigo Vespuci, Maghelain, Alfonso d’alburqueque dan Christoper Columbus. Generasi pertama murni penakluk wilayah. Kemudian disusul generasi saudagar importir dan eksportir yang tergabung dalam Kamar Dagang Belanda seperti VOC dan Kamar Dagang Inggris seperti EIC.
Menjauh dari pembicaraan tentang ide dasar penjajahan, tentu maksud tulisan ini adalah mau mengurai kesejarahan tokoh perempuan pejuang yang tidak tecatat dalam buku sejarah manapun, sebab perannya penghubung dalam upaya melawan pemberontakan DI/TII di wilayah Banten bagian Timur (Serang Timur dan Utara), pemberontakan DI/ TII itu terjadi didasari suatu keinginan diterapkannya hukum Islam atas negeri Indonesia ini, yang kebetulan negeri ini ditakdirkan Tuhan sebagai negeri yang majmuk, baik majmuk agamanya, adat istiadatnya, Budaya dan bahasanya.
Gerakan DI/TII di wilayah hukum Jawa Barat, dan Karesidenan Banten di era 1948-1962 menjadi jejak sejarah yang sangat kontras, Mohammad Natsir menyebut pemberontakan itu imbas dari keputusan Perjanjian Renville 17 Januari 1948, yang mengharuskan tentara Indonesia meninggalkan daerah-daerah yang dikuasai tentara Belanda secara de facto. Kartosoewirjo, seorang murid H.O.S. Cokroaminoto, pemimpin Sarekat Islam (SI) yang punya milisi bersenjata menolak perjanjian tersebut. Baru kemudian pada 7 Agustus 1949 Darul Islam baru diproklamasikan secara resmi di Cisampak, Tasikmalaya. Bunyi proklamasinya “Kami umat Islam Indonesia menyatakan berdirinya Negara Islam Indonesia. Maka hukum yang berlaku atas Negara Islam Indonesia adalah hukum Islam”.
Selama 13 tahun, Kartosoewirjo bersama keluarga dan pengikutnya bergerilya di hutan melawan pemerintah Indonesia. Tanggal 4 Juni 1962, dia tertangkap bersama sejumlah pengawalnya di sebuah lembah antara Gunung Sangkar dan Gunung Geber, sekitar Bandung Selatan. sebelum dieksekusi mati pada 5 September 1962, Kartosoewirjo mengeluarkan wasiat. Salah satunya dia meyakini bahwa suatu waktu cita-citya negara Islam bakal terlaksana walaupun lawan menentangnya.
Berkaca pada era 1958 dimana situasi Banten Selatan dan Timur yang menjadi basis pergerakan orang-orang DI/TII tidak serta merta negara dan bangsa Indonesia tidak merasakan kondisi normal pasca keluarnya NICA dan setelah pengakuan kedaulatan atas Republik Indonesia, hasil keputusan Konferensi Meja Bundar ( KMB ) di Den Haag Belanda. Gejolak dalam negeri masih sering ditemukan di wilayah-wilayah terpencil dan terkucil yang sering dijadikan sebagai basis gerilya.
Dalam bentangan situasi tegang yang dipicu oleh massifikasi indoktrinasi Darul Islam atau doktrin tegaknya syariat Islam di hampir semua rakyat kecil yang awam atas itu. Dengan cara sembunyi-sembunyi itu terus terjadi dari 1948 hingga 1962, dan di tahun 1962 menjadi penanda berakhirnya DI/TII ketika Soekarmaji Marijan Kartosoewirjo dihukum tembak di tangan regu tembak TNI Kodam Siliwangi.
Pada masa dimana indoktrinasi Darul Islam yang digalakkan oleh kader dan simpatisan DI/TII di hampir wilayah terpencil di Jawa Barat dan wilayah terpencil karesidenan Banten sedikitnya tercapai. Banyak penduduk kampung yang ikut bergabung dalam gerakan DI/TII tersebut. Tidak kurang tokoh agama pun sering terkecoh oleh kampanye masif anggota dan simpatisan DI/ TII.
Adalah KH. TB. Achmad Khatib yang diawal kemerdekaan Indonesia 1945 diangkat oleh Presiden Soekarno sebagai Residen Banten, punya ketajaman firasat dan kepekaan atas kondisi negara saat pergolakan DI/TII, sang residen pun telah memanggil perempuan cantik, Bunga Desa kampung Onjong, Ragas Masigit Carenang, meski statusnya janda muda. Perempuan ini bernama Nyai Saunah yang masih famili dengan KH. Fayumi Thowil, ulama besar yang tinggal di Astana Agung Carenang Serang putera dari KH. Arsyad Thowil, pahlawan Geger Cilegon 1888 M.
Nyai Saunah ini adalah tipikal perempuan yang cantik, cerdas, gesit, dan lincah hingga KH. TB Achmad Khatib begitu percayanya untuk menugaskan kepadanya melawan dan memberantas gerombolan DI/TII di wilayah Serang Utara dan Timur.
Perempuan pemberani ini oleh KH. TB Achmad Khatib diberi seekor kuda jantan, yang tenar diberi nama Si Kobok, merujuk pada warna putih dan hitamnya kuda tersebut. Dengan fungsi alat transportasi yang cepat dalam memberikan informasi yang akurat terkait pergerakan DI/TII di wilayahnya. Dalam upaya pengiriman berita rahasia ( informasi intelejen ) dari Onjong ke Banten Lama di kediaman Kiai Achmad Khatib hampir selalu mengendarai kuda pemberian sang residen Banten tersebut.
Kemampuan inteljennya Nyai Saunah ini rupanya difungsikan oleh Kiai Tb. Achmad Khatib dalam upaya meredam dan memberangus pergerakan DI TII yang di tahun 1949 telah memproklamirkan berdirinya negara Islam atau darul Islam.
Jasanya cukup besar dalam upaya memberangus DI/TI yang dinyatakan sudah bertindak bughot atau memberontak terhadap negara Kesatuan Republik Indonesia. Jiwa patriot dan nasionalisme-nya tertanam kuat. Suatu yang aneh dan jarang ditemukan di perempuan lainnya dan ketika perempuan cantik bernama Nyai Saunah memiliki kapasitas akan itu.
Keikutsertaan dirinya dalam medan peperangan, dengan kontra atas pengakuan darul Islam yang dilakukan oleh anggota dan pimpinan DI/TII saat itu. Menarik perhatian kita bahwa perempuan yang hidup di kampung terpojok ini justru tampil sebagai manusia menyejarah.
Setelah usai dan memasuki masa normal di tahun 1960-an, Nyai Saunah menghembuskan nafas terakhirnya dan dimakamkan di kampung Onjong, Ragas Masigit Carenang dengan status janda kembang yang parasnya sangat cantik.
Serang 6-8-21
Wakil Ketua PW GP Ansor Banten
Ketua PW Rijalul Ansor Banten
Referensi :
- Mimpi Darul Islam yang Tak Padam oleh P. Liberti Mapappa
- Wawancara dengan Abah Saram, di Rumah Miftahudin, pukul 21.00 s.d 22.30 WIB