Oleh: Kiai Hamdan Suhaemi
Latar Belakang
Ada oknum Habib dalam ceramahnya menyinggung soal sikap Hadrotusyaikh KH. Hasyim Asy’ari yang melarang rakyat pribumi untuk memberontak penjajah Belanda dan Jepang di masanya, oknum Habib juga menyamakan sikap melarang pemberontakan atas penjajah yang dilakukan oleh Sayyid Usman bin Yahya.
Mari kita lihat alur sejarahnya, kondisi situasinya, pola pikirnya, sikap dan idealismenya dari kedua tokoh itu. Perlu obyektif melihat kesejarahan dari dua tokoh tersebut. Tentu yang kita pahami ada perbedaan yang tajam. Dalam hal tempat kehidupannya yang satu di Batavia ( sebelum nama Jakarta) satunya lagi di Jombang, perbedaan pun ada pada peranan keduanya.
Sayid Usman bin Yahya
Sayid Usman dilahirkan di Pekojan, Betawi pada tanggal 17 Rabiul Awal 1238 (1822 M) dari Ayah yang bernama Abdullah atau kemudian masyhur dengan Yahya, maka tercatat Sayid Usman bin Yahya, sementara kakeknya bernama ‘Aqil, dilahirkan di Makkah. Sedangkan kakek ayahnya yaitu Umar, dilahirkan di Hadramaut tepatnya di desa Qarah al-Syaikh. Dua kakeknya ini termasuk yang terpandang sebagai pimpinan para sadah baik di Mekkah maupun di Hadramaut Yaman.
Fakta Sikap dan Tindakan
Dalam catatan Snouck Hurgronje yang diarsipkan dalam ” Nasihat-Nasihat Snouck Hurgronje Semasa Kepegawaiannya Kepada Pemerintah Hindia Belanda Jilid IX ” dikisahkan bahwa Sayid Usman bin Yahya mendoakan Ratu Belanda pada 2 September 1898 M saat hari ulang tahun Sang Ratu, isi doa tersebut memohon ” semoga Ratu Wilhelmina panjang umur, sejahtera, dan sehat senantiasa “. Sayid Usman juga mendoakan ” agar Kerajaan Belanda bersinar terang dan rakyat Hindia Belanda dikaruniai hasil bumi, perkebunan, dan tambang “.
Doa Sayid Usman bin Yahya, Mufti Batavia untuk Ratu Belanda yang diucapkan di masjid Pekojan Batavia tersebut kemudian memicu kecaman dari ulama dan berbagai pihak yang anti penjajahan Belanda. Sementara tulisan doa itu dirilis dan diarsipkan pada Agustus 1912 oleh Nico J.G. Kaptein, Arnoud Vrolijk, dan Liesbeth Ouwehand dalam judul arsip ” Sayyid ‘Uthman of Batavia [1822- 1914] A Life in the Service of Islam and the Colonial Administration “.
Kemudian Habib Usman bin Yahya meminta pemerintah Hindia Belanda turut menyebarluaskan doa ini ke luar Batavia, Ke seantero Jawa, dan menurut Java-Bode yang menurunkan berita tentang doa ini sehari setelahnya, juga sampai ke Madura, ungkap Nico J.G. Kaptein dalam “ The Sayyid and The Queen: Sayyid Uthman on Queen Wilhelmina’s Inauguration on the Throne of the Netherlands in 1898”.
Doa untuk Ratu pun sebenarnya bukan inisiatif Habib Usman bin Yahya. Permintaan atas doa tersebut datang dari F.W.M Hoogenstraaten, Residen Batavia. Sikap Sayid Usman bin Yahya ini tercatat dalam beberapa arsip sejarah tampil terdepan membela pemerintah Hindia Belanda. Dari sikap pembelaannya itu Sayid Usman lalu menghadapi cercaan dan serangan yang bertubi-tubi karena dianggap sebagai antek penjajah. Pada posisi itu Sayid Usman menjawab cercaan dengan argumentasi yang berlandaskan ilmu agama, tidak semua orang menerimanya tetapi juga tidak sedikit pula yang membelanya.
Lalu, Aqib Suminto dalam karyanya ” Politik Islam Hindia Belanda ” menulis terkait sikap pembelaannya Sayid Usman bin Yahya pada pemerintah kolonial Belanda bahwa saat itu dari berbagai kalangan pribumi telah menyebut bahwa doa Sayid Usman bin Yahya sebagai “ Khutbah penjilat ”.
Sejak kepulangannya ke Batavia pada 1862, Sayid Usman bin Yahya membuka pengajaran keagamaan kepada masyarakat. Namanya mulai kesohor. Berkat keluasan dan kedalaman ilmu fikihnya, Sayid Usman mendapat gelar Mufti Betawi yang ditunjuk oleh pemerintah kolonial Belanda, meski Sayid Usman agak berat menerimanya lantaran merasa belum cukup mempunyai ilmu.
Disamping itu peran Sayid Usman begitu signifikan dalam membantu kerja-kerja kolonialisme yang dilakukan oleh seorang intelektual, seorang orientalis pilihan Belanda yaitu Snouck Hurgronje. Bisa dilihat pada catatan tentang ” Nasihat-Nasihat C. Snouck Hurgronje Semasa Kepegawaiannya Kepada Pemerintah Hindia Belanda 1889-1936 M “. Atau dalam naskah berbahasa Belanda yaitu ” Ambtelijke Adviezen van C. Snouck Hurgronje ” yang tertuang di halaman LXI ( 61 ).
Hadrotusyaikh KH. Hasyim Asy’ari
Hasyim Asy’ari lahir pada Selasa Kliwon, 24 Zulkaidah 1287 Hijriah, bertepatan dengaan tanggal 14 Februari 1871 Masehi, di pesantren Gedang, Tambakrejo, Kabupaten Jombang. Beliau merupakan anak ketiga dari 11 bersaudara, putra dari pasangan Kiai Asy’ari dan Nyai Halimah. Dari jalur sang ayah nasab Hadrotusyaikh Hasyim Asy’ari bersambung kepada Maulana Ishak hingga Imam Ja’far Shadiq bin Muhammad Al-Bagir.
Sedangkan dari jalur ibu, nasabnya bersambung kepada penguasa Kerajaan Majapahit yakni Raja Brawijaya V melalui jalur anak bernama Lembu Peteng, yang berputra Karebet atau Jaka Tingkir.
Sikap atas Penjajah
Hadrotusyaikh KH. Hasyim Asy’ari dikenal memiliki sikap yang tegas dan tanpa kompromi. Sikap tegas itu juga ditunjukkan ketika Belanda mengalami kesulitan dalam Perang Dunia II. Pada waktu itu, Belanda ingin mengambil simpati dengan mengajak rakyat Indonesia mempertakankan negara dari penjajahan Jepang. Belanda meminta agar rakyat Indonesia mau masuk ke dalam barisan militer Belanda dan bersama-sama melakukan perlawanan terhadap Jepang. Melihat kondisi dan situasi ini, KH. Hasyim Asy’ari dengan lantang dan tegas mengeluarkan fatwa yang sangat terkenal, yaitu umat Islam diharamkan masuk menjadi tentara Belanda atau bekerjasama dengan Belanda dalam bentuk apa pun.
Dalam buku “99 Kiai Kharismatik Indonesia”, dijelaskan bahwa sepanjang sejarah perjalanan kehidupannya KH. Hasyim Asy’ari dikenal dengan sikapnya yang tidak mau bersahabat dengan Belanda. Hal ini merupakan manifestasi dari sikap orang-orang pesantren yang menjalankan politik non-kooperatif terhadap Belanda. Setiap negosiasi Belanda yang dilakukan terhadap KH. Hasyim Asy’ari guna mendukung Belanda senantiasa mengalami kegagalan.
Bahkan, sampai tawaran penganugerahan bintang jasa yang terbuat dari perak dan emas yang diberikan Belanda pada tahun 1937 dengan tegas ditolaknya. Penolakan yang dilakukan oleh KH. Hasyim Asy’ari berdampak pada pengawasan yang ketat terhadap aktivitas Pondok Pesantren Tebuireng yang beliau dirikan th. 1899 M.
Bahkan di kemudian hari direncanakan pembunuhan oleh pihak kolonial Belanda terhadap KH. Hasyim Asy’ari dan membakar habis Pondok Pesantren Tebuireng. Ketegasan sikap KH. Hasyim Asy’ari ini tidak berasal dari ruang yang hampa. Ia menjelaskan kepada para santrinya terkait prinsip-prinsip perjuangan di dalam Islam setelah berjama’ah shalat magrib.
Kita baca karya Syaikh Muhammad Asad Syihab dalam judul ” Hadlratussyaikh Muhammad Hasyim Asy’arie: Perintis Kemerdekaan Indonesia ” yang diterjemahkan oleh KH. A. Mustofa Bisri di th. 1998.
Dalam buku tersebut Asad Syihab menjelaskan bahwa bukan hanya untuk tujuan memperkuat ilmu agama, tetapi pendirian wadah pesantren itu juga untuk melawan tindakan ketidakperikemanusiaan penjajah Belanda dan juga Nippon (Jepang).
Sejarah mencatat, hanya kalangan pesantren yang tidak mudah tunduk begitu saja di tangan penjajah. Dengan perlawanan kulturalnya, Hadrotusyaikh KH. Hasyim dan pesantrennya tidak pernah luput dari spionase Belanda.
Martin van Bruinessen dalam karyanya “NU: Tradisi, Relasi-Relasi Kuasa, Pencarian Wacana Baru” menjelaskan bahwa pada 21 dan 22 Oktober 1945, wakil-wakil cabang NU di seluruh Jawa dan Madura berkumpul di Surabaya dan menyatakan perjuangan kemerdekaan sebagai jihad (perang suci) melawan penjajah.
Beberapa tokoh yang dikumpulkan oleh Hadrotusyaikh K.H. Hasyim Asyari di dua hari itu adalah Kiai Wahab Hasbullah, Kiai Bisri Syamsuri, dan para kiai lainnya. Mereka berkumpul di kantor PBNU, Bubutan, Surabaya. Dalam pertemuan itu, lahirlah Resolusi Jihad NU 22 Oktober.
Dalam buku ” Jihad Membela Nusantara: Nahdlatul Ulama Menghadapi Islam Radikal dan Neo-Liberalisme (2007)” telah diterangkan bahwa KH. Hasyim Asy’ari menganggap keberadaan penjajah akan menyulitkan penegakan syariat Islam. Menurutnya, perjuangan mempertahankan kemerdekaan kedaulatan negara merupakan kewajiban agama. Maka dari itu, ia menggelorakan perjuangan melawan penjajah.
Kesimpulan
Kedua tokoh ulama ini jika dilihat dalam catatan sejarah ternyata berbeda tajam, dengan begitu tidak benar Hadrotusyaikh KH. Hasyim Asy’ari dalam hidupnya melarang larang pemberontakan atau mencegah bentuk bentuk perlawanan atas penjajah baik penjajah Belanda maupun penjajah Jepang yang dilakukan oleh Rakyat Indonesia terutama kalangan santri NU. Karena penjajahan atas nama apapun selalu merusak kemanusiaan, selalu terjadi ketidakadilan dan penindasan.
Serang 5 Juni 2023
Wakil Ketua PW GP Ansor Banten
Ketua PW Rijalul Ansor Banten