Habib Rumail Assegaf (HRA) mengatakan: “Kitab itu berjudul Al-Jauhar Al-Syafaf yang ditulis oleh Al-Khatib yang wafat pada tahun 724 H…”
HRA, sebagai seorang historian, Penulis yakin, telah mempunyai kesimpulan yang sama dengan penulis tentang nasab Ba Alawi ini. Tetapi, nampaknya, ia ingin berselancar terlebih dahulu dalam diskursus yang menantang ini. Ditambah, Ia tidak ingin kokohnya nasab Ba Alawi selama ini, begitu saja bisa “rungkad” terlalu cepat. Maka, irama optimisme harus terus dijaga sampai waktunya yang bersangkutan beradaptasi. Ini bab husnudzhon penulis untuk HRA.
Kisah tentang memotong jarak sunyi 550 tahun yang tidak terbukti; tentang restorasi manuskrip yang bertitimangsa 589 H, yang tanpa restorasi pun ternyata mudah patah; tentang menelusuri pantulan-pantulan historis, mungkin seperti mencari sinar dari kuburan Ahmad bin Isa itu, atau seperti Habib Ali Al Sakran yang memungut pantulan Al-Suluk; tentang nama Al-Syarif Al-Husaini dari lembaran privat seseorang dalam lemari yang katanya syuhroh dan istifadhoh; tentang syuhrah berlapis tetapi beda masa, yang mengeroyok Al-syajarah Al-Mubarokah dalam waktu yang berlainan, dimana dalam sejarah linguistic public, tidak ditemukan istilah keroyokan bagi waktu yang berlainan, lebih bisa disebut “duel” setelah satu kalah yang lain tampil, atau “ijen” dalam bahasa Banten;
tentang pancingannya terhadap “Indunus”; tentang pancing lainnya lagi, yaitu makam Nabi Hud; tentang memotong jadi 150 tahun dengan Abu Marwan, yang akhirnya dikoreksi dengan “saya sepakat jika Abu Marwan BUKANLAH Ba Alawi.”; tentang kesarjanaan historis, yang menyebut ada sumur di bawah masjid yang dibangun Alawi bin Ubaidillah, yang di dindingnya ada nama Ubaidillah, yang akan didatangkan pakar arkeologi dari US untuk mengetahui secara saintifik kapan masjid itu didirikan, yang penulis kasih bocoran, nama ubaidillah yang terukir di dinding sumur itu baru ditulis di atas abad 9 H.
semua yang disebutkan itu, adalah “niat baik” HRA bagi pendukung nasab Ba Alawi, agar harapan selalu hadir di dalam jiwa. Seperti dokter yang mengetahui pasiennya sudah berada dalam penyakit kanker stadium 4, tapi ia dengan sabar dan kasih-sayang, selalu memberi harapan kepadanya akan kesembuhannya, walau ia tahu ajal pasiennya, secara medis, mungkin, hanya tinggal beberapa hari saja. Untuk inilah penulis menghormati seorang HRA sebagai seorang “Historian Humanis”.
Terakhir, HRA memberi harapan baru, bahwa nama Ubaidillah sudah terlebih dahulu ditulis oleh Abdurrahman bin Muhammad Al-Khatib yang wafat, kata HRA, tahun 724 H. ini angka tahun “PHP”. Kebetulan, memang, ada penulis yang salah tulis demikian.
Perlu diketahui, Abdurrahman Al-Khatib, selain menulis Al-Jauhar Al-Syafaf, menulis kitab berjudul Al-Barahin Al-Musyriqoh, yang didalamnya menerangkan tentang manaqib Al-Habib Abdullah Al-Idrus yang lahir tahun 811 H, bagaimana seseorang yang sudah wafat tahun 724 H, bisa menulis biografi tokoh yang baru lahir tahun 811 H? ajaib. Lalu kapan Al-Khatib wafat?
Abdurrahman Al-Khatib wafat tahun 855 H. bukan 724 H. kitab Al-Jauhar Al-Syafaf itu manuskripnya terdapat di Kota Haridah, diperpustakaan seorang habib Ba Alawi yang bernama Ahmad bin Hasan Al-Athos, dengan nomor 442, sama dengan nomor yang HRA tulis, tapi dalam tulisan HRA, nomor itu bukan untuk di kota Haridah, tapi untuk yang di Kota Madinah. Penulis kira, HRA salah baca.
Kode: jangan terlalu berharap dengan kitab Al-jauhar Al-Syafaf, dan jangan berani menyebar PDF kitab tersebut, karena akan menambah banyak masalah untuk Ba Alawi, terutama tentang kisah-kisah halu, misal tentang mi’rajnya tokoh Ba Alawi, yang sekarang banyak beredar di youtube itu, diantaranya, berasal dari kitab tersebut. Nuhun.
Penulis: Imaduddin Utsman Al-Bantani
(Editor: Didin Syahbudin)