مَتَى أعْطاكَ أَشْهدََكَ برَّهُ. وَمَتَى مَنَعَكَ أَشْهدََكَ قهَرَهُ. فهَوُ فِي كلِّ ذَلِكَ مُتَعَرِّفٌّ إِلَيْكَ وَمُقْبِلٌ بوِجُودِ لُطْفِهِِ علَيْكَ.
Saat kamu berada dalam keluasan dan kemudahan pada satu urusan, itu menandakan bahwa kebaikan dan belas kasih Tuhan sungguh sangat terasa.
Sebaliknya, jikalau kamu merasakan kegagalan atau ditimpa kemalangan dalam rencana hidup, itu berarti Kekuasaan Allah telah benar-benar nyata.
Situasi dua macam itu pada dasarnya, Allah ingin mendekati dirimu, lalu menampakkan kelembutan-Nya hanya untukmu saja. Agar sedianya engkau layak menjadi kekasih-Nya.
Demikianlah untaian Hikam Ibnu Atho’ilah, yang saya terjemahkan menurut sebatas kemampuan saja.
Sejalan dengan dua kondisi tersebut, agaknya posisi yang kedua ini: yakni المنع (tercegah), relevan dengan situasi saat ini: Pandemic Virus Corona. Dimana semua pakar kesehatan di dunia sampai peramal ternama, akhirnya tidak mampu memastikan kapan wabah ini berakhir. Sialnya, seluruh sektor sumber kehidupan mengalami kelesuan, bahkan gagal total.
Dan, meskipun segala daya upaya dikerahkan untuk meredam keganasan covid-19 ini. Tetapi, namanya usaha tetaplah usaha. Tinggal bagaimana kedepannya, apakah manusia menyadari kelemahannya dan mau mengakui bahwa kesombongannya tidak akan abadi.
Dalam posisi itu, ruang gerak manusia pun dibatasi. Disinilah sifat memaksanya Sang Khalik, yang mesti dipahami sebagai otokritik. Bukankah Asma’ Al-Qohar (القهر) itu artinya otoriter, memaksa, kekuasaan absolut, kesewenangan, dan kesombongan. Oleh karena itu, sudah seharusnya sifat itu hanya dimiliki Tuhan Yang Maha Kuasa. Kita jangan sekali-kali mencomot hingga menampilkan karakter itu untuk kepentingan sesaat. Apalagi, buat menakut-nakuti kaum lemah.