Oleh: Ahmad Suhadi
Teori pengenalan suatu ide gagasan masih relevankah ketika diskursus nasab sedang berlangsung?
Pertanyaan di atas tentu saling keterkaitan sesuai kemampuan dan kapasitas para penggerak untuk disampaikan kepada publik. Memang beberapa tahun ke belakang yang sering disorot terjadinya gunjang-ganjing hingga hampir terjadi polarisasi sesama anak bangsa adalah dari prilaku sekelompok orang dan individu tertentu yang notabene merupakan imigran Yaman yang mengklaim dirinya sebagai cucu Nabi Muhammad SAW.
Pengakuan sebagai cucu Nabi tidak berbanding lurus dengan akhlak dan prilaku sebagai bentuk pola dakwah yang menjunjung tinggi nilai-nilai akhlak dalam membangun kerukunan. Namun sebaliknya ajaran yang disampaikan para oknum habib sebagai bentuk memecah belah umat Islam di Indonesia karena syarat dakwah yang bermuatan politik. Walaupun tidak semua habib dalam dakwahnya bermuatan caci-maki tapi yang baik dalam berdakwah terkesan ada pembiaran sehingga oknum habib yang senang caci-maki makin menjadi-jadi arogansinya.
Indonesia sebagai negara besar yang memiliki kekayaan alam dan suku bangsa serta bahasa yang beraneka warna, menjadi potensi terjadi perpecahan, bisa juga berpotensi majunya peradaban dan kemajuan jika dikelola secara baik dengan management konplik yang tepat dan terukur.
Menyoal polemik nasab akhir-akhir ini yang menyedot perhatian publik, sehingga apapun pemberitaan baik politik, kriminal, sosial keagamaan hingga serba-serbi infotainment, rasanya kurang menarik untuk disimak dan menjadi bahasan diruang media.
Media FB, WhatsApp, IG dan YouTube kesehariannya selalu menayangkan berita tentang kasus nasab klan Ba’Alwi, yang saat ini mungkin sudah rungkad karena bantahan yang mereka lakukan hanya praming dan ancaman semata-mata. Apalagi klaim sepihak yang dilakukan habib telah dibongkar habis oleh penelitian Kyai Imadudin Utsman al-Bantani dan kawan-kawan, yang diperkuat dengan ilmu pilologi, ilmu sejarah, ilmu genetik melalui pendekatan studi kasus. Tak bisa kita pungkiri dengan diskursus nasab ini pasti mendapat reaksi keras dari klan Ba’Alwi sendiri maupun dari para pendukungnya. Walaupun sampai saat ini Robithoh Alawiyah atau yang mewakilinya belum mampu membuat bantahan atas penelitian Kyai Imadudin Utsman tersebut.
Mengenai diskusi-diskusi publik terkait konsesi tambang, kampanye toleransi, dan lain-lain, rasanya kurang menarik untuk dibahas. Kurang menariknya diskusi konsesi tambang, kasus kriminal, dan lain-lain semuanya sudah terserap dan bersenyawa oleh gerakan pemikiran, sekaligus aksi mencaounter munculnya kelompok-kelompok intoleran, yang selama ini bukan rahasia umum. Bahwa para aktor pembuat kerusuhan di negeri ini adalah orang-orang yang menisbatkan dirinya mengklaim sebagai cucu Nabi Muhammad SAW.
Misalnya saja Rizik Shihab dan Bahar Smith, mereka adalah aktor pelaku ramainya opini publik atas gunjang-ganjingnya negeri di era saat ini. Terlebih lagi mereka berdua adalah representasi para pembangkang dalam dakwah mengenalkan Islam yang ramah, malahan ajaran yang mereka gaungkan adalah mengajak untuk membenci pemerintah, mencaci maki NU dan kyai NU, menghina orang yang tidak sependapat dengannya.
Dengan penghinaan terhadap Gusdur yang dikatakan “Gusdur Buta Mata Buta Hati” juga penghinaan terhadap presiden RI yang sah yaitu Jokowi Dodo yang disebutnya “Presiden banci, Jokowi Jokodok” bahkan penghinaan tesebut menyasar kepada Kiai Ma’ruf Amin, dibilangnya “Mar’uf Amin Ba….i”.
Sikap dan ucapan mereka yang membuat muak masyarakat waras, dan adanya semangat membangun karakter bangsa yang beradab. Rasanya ucapan dan sikap para habib untuk tidak diikuti menjadi perlawanan seluruh anak bangsa yang masih sehat dan waras.
Dengan munculnya Kiai Imadudin dalam meneliti nasab habib Ba’Alwi, adalah sebagai pemantik gerakan moral sekaligus gerakan kebangsaan, agar bangsa dan negara lebih punya harga diri dimata dunia Islam khususnya, dan sebagai pembangkit gerakan peradaban di masa depan.
Kita sudah maklumi bersama, setiap ide gagasan untuk pembangunan baik yang dilakukan pemerintah, maupun gerakan pemikiran ormas Keagamaan seperti NU, Muhammadiyah atau stakeholder lainnya yang menjadi penghambat, tak lain adalah dari kelompok habib klan Ba’Alwi, karena mereka tidak bisa membedakan mana kritik dan mana caci-maki.
Kita tidak perlu risau dan aneh, kalau mereka para pengacau selalu membuat narasi preming playvictim, dan bahkan mereka mampu membuat bias sesuatu yang sudah pasti dan matang. Definisi selalu dibuat oleh mereka sendiri, dan sangat wajar jika menurut mereka benar padahal salah, menurut mereka batil padahal hak, menurut mereka haq padahal bathil. Itulah Dajjal! yang mana semua nabi pasti mengingatkan bahayanya dajjal, karena Dajjal mengajak kepada kepalsuan.