Salah satu kitab andalan para pengasong taklid dari para pembela nasab palsu Ba’alwi adalah kitab Addaw’ullami’ karya Imam al Sakhawi (w.902 H.). Menurut mereka, karena nasab Ba’alwi sudah ditulis dalam kitab tersebut, maka nasab Ba’alwi sahih karena pengarangnya adalah ulama besar. Wajar mereka berfikir demikian, mereka, mungkin, belum mengenal apa itu study teks dan konteks. Kurtubi dan Ahmad Baso hendaknya mencerna narasi penulis selanjutnya.
Study teks merupakan analisis data yang mengkaji teks secara mendalam baik mengenai isi dan maknanya, maupun struktur dan wacana. Para pengasong taklid hanya membaca teks tanpa meneliti bagaimana teks itu di kontruksi? Bagaimana makna diproduksi? Dan apa hakikat makna yang diinginkan dari teks itu sebenarnya? Apakah ketika ada urutan silsilah yang ditulis seorang pengarang, itu menunjukan pengarang itu mengitsbat silsilah itu, atau ia hanya menulis sesuai pengakuan narasumbernya? Sebuah ungkapan memilik sifat polisemik yaitu bisa mempunyai relasi makna dengan ungkapan lainnya dan tidak dapat berdiri sendiri.
Oleh karena itu, untuk dapat memahami apakah Al Sakhawi mengitsbat nasab Ba’alwi atau ia hanya menulis sesuai pengakuan narasumbernya, harus dilakukan analisis gaya teks, analisis naratif, analisis wacana, analisis struktur, dan analisis pos struktur. Interkoneksi antara narasi Al Sakhawi dan narasi yang senada dari pengarang lainnya harus dilakukan. Begitu pula harus difahami interkoneksi makna yang ada di dalam teks dengan makna di luar teks dengan memahami beberapa point di bawah ini:
- Siapa yang menulisnya?
- Apa intensi atau maksud penulisan?
- Apa klaim yang dibuat?
- Apakah ada bukti atau dalil yang mendukung klaim itu?
- Apa hakikat bukti itu?
- Bagaimana kaitan teks tersebut dengan teks lain dengan gaya dan format yang sama?
Dari sini kemudian pengkaji melakukan apa yang disebut intertekstualitas, yaitu makna sebuah teks dapat ditelusuri dengan membaca teks lain. Teks tidak pernah muncul tiba-tiba dan hadir sendirian. Karena itu, co-teks (hubungan satu kata dengan kata lain) dan intertekstualitas senantiasa ada. Maka penulis pernah mengatakan jika pembela nasab Ba’alwi akan membuat kitab palsu pada abad enam atau tujuh, maka akan dapat ditelusuri kepalsuannya dari struktur teks itu sendiri sebelum kepada instrument yang digunakan seperti kertas. Pencatutan nama fiktif untuk diasosiasikan sebagai penulis sebuah manuskrip di masa lalu untuk menjadi sanad palsu ketersambungan sosok asli di masa kini pun akan dapat dengan mudah ditelusuri.
Contohnya adalah bangunan narasi kitab-kitab awal karya Ba’alwi seperti Al Burqoh (895 H.) dan kitab Al Gurar (960 H.). Setelah ditelusuri isi kedua kitab itu terjadi kontradiksi dengan bangunan sejarah abad-abad sebelumnya yang telah mapan. Kedua kitab itu berjalan sendirian tanpa ada konektifitas historis dengan titimangsa di mana historiografi itu dialamatkan. Sehingga kemudian kita dengan mudah mengatakan bahwa kontruksi sejarah ketersambungan nasab Ba’alwi dengan Ahmad bin Isa itu betul-betul baru diciptakan pada abad kesembilan dan kontradiksi dengan sejarah sebelumnya.
Contoh lain adalah usaha yang dilakukan Ahmad Baso: ia mengumpulkan manuskrip-manuskrip nusantara yang menyebut nama-nama Ba’alwi seperti adanya manuskrip yang menulis sanad Syekh Yusuf Makasar dengan seorang Ba’alwi di abad 11-12 Hijriah lalu dengan itu ia interpretasi sebagai kesahihan nasab Walisongo kepada Ba’alwi kemudian, lebih jauh, ia katakan nasab Ba’alwi sahih berdasar manuskrip nusantara tersebut. Wah, kacau kalau cara kerja peneliti seperti itu. Ahmad Baso seperti orang yang sibuk mencari dan menyambungkan kabel kabel listrik di dalam rumah, lalu ketika semua kabel itu tersambung ia berharap rumah akan menyala walau instalasi listrik rumah itu sebenarnya tidak tersambung ke tiang listrik. Mustahil bos.
Usaha Ahmad Baso itu menurut penulis, daripada usaha peneliti, lebih mirip usaha intelejen, yang ketika nasab Ba’alwi terbukti tidak tersambung kepada Nabi Muhammad SAW, ia membuat fetakompli bahwa nasab Walisongo juga Ba’alwi, jadi ketika memutuskan nasab Ba’alwi sama saja memutuskan nasab Walisongo. Dari sana Ahmad Baso bisa dimaknai sebagai agen yang diinfiltrasikan ke dalam barisan walisongo untuk mencari kekuatan melawan tesis batalnya nasab Ba’alwi dengan kekuatan prajurit-prajurit dari Walisongo itu sendiri, tanpa menyertakan studi pustaka tentang bagaimana nasab keturunan Walisongo itu selama ini dianggap majhul dan terputus oleh Ba’alwi sendiri.
Kita bisa uji, manuskrip-manuskrip nusantara yang menyatakan Walisongo itu Ba’alwi adalah manuskrip palsu yang tercipta dari skandal ilmiyah. ia bertentangan dengan manuskrip nusantara asli yang orisinal berangka tahun lebih tua yang menyatakan bahwa Walisongo bukan Ba’alwi. Jika Ahmad Baso berani mempertanggungjawabkan kesimpulannya bahwa Walisongo adalah Ba’alwi, dan bahwa Ba’alwi adalah keturunan Nabi Muhammad SAW, penulis menantang Pak Pahrur Malang untuk dapat membuat forum resmi adu data dan mansukrip walisongo dan nasab Ba’alwi antara penulis dan Ahmad Baso.
Kita lanjutkan materi sebelumnya.
Untuk memahami secara mendalam sebuah teks pula, para pembaca perlu memahami sebuah kaidah yang disebut dengan studi linguistic pragmatic. Yaitu kajian tentang hubungan antara bahasa dan konteks yang menjadi pertimbangan untuk memahami bahasa. Toko yang menjual papan nama yang bertulis “KASIR” yang dipajang ditembok berbeda maknanya dengan papan yang sama yang diletakan di meja seorang kasir. Tulisannya sama, bentuk papannya sama tetapi konteksnya berbeda.
Yang pertama adalah sebuah iklan papan yang dijual agar dapat dilihat pembeli, sedangkan yang kedua adalah papan informasi bahwa para pembeli ketika membayar harus di meja di mana papan itu ada. Para pembela nasab Ba’alwi yang taklid buta kepada sebuah teks, ia akan membayar belanjaanya di tembok yang tergantung di sana papan bertuliskan “KASIR”. Ia akan serahkan uangnya kepada tembok itu, di jamin, sampai kapanpun uangnya tidak akan diterima oleh tembok itu. lalu sang kasir akan memanggilnya: “Pak, bayarnya di sini!, itu hanya papan jualan”, pembela nasab Ba’alwi itu akan tetap membayarnya di tembok itu dengan alasan sama sama bertuliskan “KASIR”.
Kembali kepada Imam al Sakhawi. Dalam kitabnya Al Daw’ullami, ia mencatat silsilah nasab seorang tokoh bernama Abdullah bin Muhammad Ba’alwi lengkap sampai Ahmad bin Isa. mari kita perhatikan secara studi teks dan konteks, apakah Al Sakhawi ketika menyebutkan silsilah itu berdasar referensi kitab nasab atau hanya berdasar pengakuan tokoh yang ditulis. Adapun teks yang ditulis oleh Al Sakhawi adalah sebgai berikut:
عبد الله بن مُحَمَّد بن عَليّ بن مُحَمَّد بن أَحْمد بن مُحَمَّد بن عَليّ بن مُحَمَّد بن عَليّ بن علوي بن مُحَمَّد بن علوي بن عبيد الله بن أَحْمد بن عِيسَى بن مُحَمَّد بن عَليّ بن جَعْفَر الصَّادِق بن مُحَمَّد الباقر بن زيد العابدين عَليّ بن الْحُسَيْن بن عَليّ ابْن أبي طَالب الْحُسَيْنِي الْحَضْرَمِيّ ثمَّ الْمَكِّيّ نزيل الشبيكة مِنْهَا وَيعرف بالشريف باعلوى قَالَ أَنه رَحل فِي الطّلب فَقَرَأَ التَّنْبِيه والمنهاج وَالْحَاوِي كَانَ يحفظه بِخُصُوصِهِ وَغَيرهَا، واشتغل فِي الْفِقْه والنحو وَالصرْف والْحَدِيث بِبَلَدِهِ وبالشحر وَكتب بأسئلة إِلَى ابْن كبن قَاضِي عدن فَأَجَابَهُ عَنْهَا ثمَّ اجْتمع بِهِ فِي بَلَده وَهُوَ مُتَوَجّه لِلْحَجِّ وَبعد انْقِضَاء غَرَضه من الرحلة عَاد إِلَى وَطنه وَقد مَاتَ من بِهِ الْعلمَاء فتصدى للأشغال، وَكَانَ يمِيل إِلَى الِانْقِطَاع وَالْخلْوَة وَالنَّظَر فِي كَلَام الصُّوفِيَّة، ثمَّ توجه لِلْحَجِّ فِي سنة إِحْدَى وَعشْرين بعد رُؤْيَته النَّبِي صلى الله عَلَيْهِ وَسلم فِي الْمَنَام وَحج وجاور ثمَّ زار فِي الَّتِي تَلِيهَا وَرجع إِلَى مَكَّة ثمَّ زار فِي سنة سِتّ وَأَرْبَعين فَرَأى النَّبِي صلى الله عَلَيْهِ وَسلم أَيْضا وَهُوَ بِالْمَدِينَةِ ثمَّ عَاد إِلَى مَكَّة وسكنها حَتَّى مَاتَ لم يخرج مِنْهَا إِلَّا للزيارة، وَكَانَ يحفظ الْقُرْآن جيدا وَيقوم بِهِ فِي اللَّيْل مَعَ تدبر وتخشع وَأكْثر الطّواف والسكون بِحَيْثُ تزايد اعْتِقَاد النَّاس فِيهِ وَكثر الثَّنَاء عَلَيْهِ ثمَّ تعلل بوجع فِي رجلَيْهِ إِلَى أَن مَاتَ فِي ربيع الثَّانِي سنة سِتّ وَثَمَانِينَ وَدفن بالشبيكة فِي تربة صهره الْعِرَاقِيّ رَحمَه الله وإيانا. (الضوء 5:59)
Perhatikan, pertama ia menyebutkan nama Abdullah bin Muhammad Ba’alwi lengkap sampai nama Ahmad bin Isa. dari mana Al Sakhawi mendapatkannya? Rupanya ia mendapatkannya dari Abdullah bin Muhammad Ba’alwi sendiri. Al Sakhawi dan Abdullah sama-sama tinggal di Makkah. Al Sakhawi pindah dari Mesir ke Makkah pada tahun 885 Hijriah (lihat Wikipedia). Abdullah bin Muhammad Ba’alwi wafat di Makkah tahun 886 Hijriah. Ada satu tahun Al Sakhawi hidup bersama Abdullah bin Muhammad Ba’alwi sebelum Abdullah meninggal dan dimakamkan di Subaikah Makkah.
Kisah hidup Abdullah bin Muhammad Ba’alwi yang ditulis oleh Al Sakhawi ini, dituturkan langsung oleh Abdullah sendiri kepada Al Sakhawi, tentu dengan silsilah nasab yang telah terlebih dahulu disebut di muka. Perhatikan kalimat “Qola annahu rahila dst…” (ia [Abdullah] berkata bahwa ia berjalan dst…). Jadi, penulisan Al Sakhawi terhadap kisah hidup Abdullah dan nasab Ba’alwi-nya itu, ia dapatkan secara pengakuan dari Abdullah sendiri. Kemudian tanpa sempat meneliti, Al Sakhawi mencatatnya dalam kitabnya.
Semudah itukah tokoh Al Sakhawi mempercayai sebuah pengakuan nasab hanya berdasar riwayat seseorang yang ia kenal. Tidak. Al Sakhawi bukan hanya kenal dengan seorang dari klan Ba’alwi. di Makkah ia bertemu juga dengan Ba’alwi lainnya yang keduanya saling menguatkan pengakuan itu. sosok itu adalah Umar bin Abdurrahman Sahibul Hamra. Ia bertemu dengan Al Sakhawi dan meminta pngesahan tentang tulisannya tentang keramat Abdullah bin Abu bakar al Idrus. Perhatikan kalimat Al Sakhawi tentang Umar Sahibul Hamra di bawah ini:
عمر بن عبد الرَّحْمَن بن مُحَمَّد السراج أَبُو حَفْص بن الْوَجِيه الْحَضْرَمِيّ التريمي الشَّافِعِي. شرِيف علوي يعرف كأسلافه أَبَا علوي. أَخذ عَن عبد الله بن أبي بكر أَبَا علوي وَجمع جُزْءا فِي كراماته واستدعى بالْقَوْل البديع وَطلب مني الْإِجَازَة بِهِ وَبِغَيْرِهِ فَكتب لَهُ وَأَنا بِمَكَّة مِنْهُ نُسْخَة وَأثبت عَلَيْهَا خطي بِالْإِجَازَةِ ووصفته بِمَا فِي تاريخي الْكَبِير. مَاتَ فِي لَيْلَة السبت سادس عشري رَمَضَان سنة تسع وَثَمَانِينَ بتعز عَن نَحْو خمس وَأَرْبَعين سنة، كتب إِلَيّ بذلك الْكَمَال الذوالي قَالَ وَهُوَ رجل كَبِير الْقدر مَقْبُول عِنْد الْعَوام وَأكْثر الْخَواص وَله بسُلْطَان الْيمن عبد الْوَهَّاب بن طَاهِر زِيَادَة اخْتِصَاص وَسَمَاع قَول وَكَانَ مُقيما بقرية الْحَمْرَاء من وَادي لحج من سنة ثَمَان وَسِتِّينَ وَإِلَى أَن مَاتَ وَحصل لأهل هَذِه الْجِهَة بِهِ نفع عَظِيم واندفع بِسَبَب إِقَامَته فيهم شرور كَثِيرَة من البدو المفسدين لاحترامهم لَهُ وقبولهم لكَلَامه ولهذه الْعلَّة عظمه ابْن طَاهِر. 6:91
Dalam kalimat di atas, walaupun Al Sakhawi tidak menyebut silsilahnya secara lengkap tetapi ia mengatakan bahwa Umar bin Abdurrahman ini adalah Ba’alwi. kenapa di juz 6 ini ia tidak melengkapi silsilah Umar? Karena itu sudah dianggap cukup. Di juz 5 Al Sakhawi telah menyebutkan silsilah Ba’alwi secara lengkap. Tentu sebenarnya, Umar juga menyebutkan silsilahnya itu kepada Al Sakhawi.
Antara Umar dan Al Sakhawi, rupanya terjalin hubungan yang lebih akrab dibanding antara dirinya dan Abdullah bin Muhammad Ba Alwi. itu nampak dari permintaan Umar kepada Al Sakhawi untuk mengesahkan kitabnya yang berisi tentang keramat-keramat Abdullah al Idrus (guru Umar di Tarim). Dari situ jelas, apa yang ditulis oleh Al Sakhawi dalam kitabnya Al Daw’ullami’ adalah berdasar pengakuan dari narasumber bukan berdasar bahwa Al Sakhawi mengitsbat silsilah itu.
Ulama lain yang disebutkan oleh Al Sakhawi dari klan Ba’alwi adalah Abdullah al Idrus yang wafat 865 Hijriah. Al Sakhawi tidak bertemu dengannya. Ia mendapatkan berita tentang Abdullah al Idrus adalah dari dua Ba’alwi yang dikenalnya di Makkah yaitu Umar Sahibul Hamra dan Abdullah bin Muhammad Ba’alwi. perhatikan kalimat Al Sakhawi tentang sosok Abdullah bin Abu Bakar alidrus:
عبد الله بن أبي بكر بن عبد الرَّحْمَن أَبَا علوي الشريف الحسني عفيف الدّين شيخ حَضرمَوْت وركنها توفّي أَبوهُ وَهُوَ صَغِير فَنَشَأَ فِي حجر عَمه الشريف عمر بن عبد الرَّحْمَن أَبَا علوي على قدم نَفِيس ثمَّ اسْتمرّ يترقى بِصُحْبَة سَادَات الشُّيُوخ والتأدب بآدابهم والتخرج بهم حَتَّى بلغ مرتبَة الأكابر وأكب على مطالعة الْأَحْيَاء حَتَّى كَاد أَن يحفظه وَكَذَا أَكثر من مطالعة الرسَالَة وَغَيرهَا من تصانيف الْغَزالِيّ وَغَيره، كل ذَلِك مَعَ لطفه ومعرفته وَحسن محاضرته ولطف محاورته ومخالطته للفقهاء والفقراء بِمَا يناسبهم وَكَانَ أَولا يُنكر السماع ثمَّ صَار السماع غَالب أوقاته واشتهرت عَنهُ كرامات جمة بِحَيْثُ أفردها بعض أَصْحَابه فِي جُزْء وَصَحبه جمَاعَة كَثِيرُونَ فانتفعوا بِهِ وقصدوه من الْأَمَاكِن الْبَعِيدَة وَصَارَ فِي وقته فَردا حَتَّى فِي ضحوة الْأَحَد ثَالِث عشر رَمَضَان خمس وَسِتِّينَ أَفَادَهُ لي بعض الآخذين عني فِي صلحاء الْيمن مطولا وَقَالَ لي فِي مَوضِع أَنه أحد الْأَوْلِيَاء الْكِبَار مِمَّن أَخذ عَنهُ السَّيِّد السراج عمر بن عبد الرَّحْمَن أَبُو علوي الْحَضْرَمِيّ الْآتِي وَأَنه جمع من مناقبه جُزْءا لطيفا فِيهِ جملَة من كراماته. 5: 16
Dari studi teks tentang nasab Ba’alwi yang dicatat oleh Al Sakhawi dalam kitab Addaw’ullami’, terbukti bahwa Al Sakhawi mencatat nasab Ba’alwi itu hanya dengan referensi wawancara dari narasumber. Nampaknya Al Sakhawi tidak mempunyai waktu untuk menguji berita tentang nasab itu dari kitab-kitab nasab. ia menulis apa adanya sesuai pengakuan nara sumber.
Tentu apa yang dilakukan Al Sakhawi itu wajar, karena kitab yang sedang ia tulis itu bukanlah kitab nasab tetapi kitab tentang biografi nama ulama-ulama yang ada di abad ke-9 Hijriah. Untuk memvalidasi setiap pengakuan nasab yang terdapat dalam kitab Addaw’ullami’ itu tentu harus dirujuk kepada kitab-kitab nasab. dan, telah terbukti bahwa pengakuan nasab dari klan Ba’alwi itu tidak terkonfirmasi kitab-kitab nasab dari abad 4-9 Hijriah. Nasab Ba’alwi yang mengaku keturunan Ahmad bin Isa itu adalah nasab yang berjalan sendirian di tengah-tengah belantara sejarah yang telah mapan yang saling berkaitan. Nasab dan sejarah Ba’alwi adalah nasab dan sejarah yang diciptakan yang tidak terkait dengan masa lalu apapun.
Penulis: Imaduddin Utsman Al Bantani