KH. Imaduddin Utsman al Bantaniy, dalam menjelaskan kepalsuan/batalnya nasab Ba Alwiy, sama sekali bukan propaganda. Karena tidak pernah ditemukan sebuah karya ilmiyah dalam menunjukkan kebenaran dianggap mengganggu kepentingan umum, walau terkadang dapat menyinggung seseorang atau suatu golongan. Namun yang pasti, kebenaran tetap saja adalah fakta yang harus diakui oleh hukum negara sekalipun.
Berdasarkan kabar yang beredar dari media : INDONESIA TODAY ONLINE, dimunculkanlah sebuah narasi : “SOAL NASAB BERUJUNG DELIK” dan narasi “PARA PEMBATAL NASAB BA ALWIY MENGGANGGU KETERTIBAN UMUM, K.H. IMADUDDIN TERANCAM PIDANA”
Mengancam/menjerat para pembatal nasab ba alwiy (seperti KH. Imaduddin, penulis dan ratusan orang lainnya yang sepaham) dengan pasal 184 ayat (2) KUHAP, merupakan KEBOHONGAN atau KEBODOHAN yang dilontarkan oleh DR. Abdul Chair Ramadhan, S.H., M.H. dalam media tersebut.
Sejatinya, andai DR. abdul chair menjadi pelapor tapi tidak dapat membuktikan dalam sidang pengadilan, maka dia bisa saja berbalik menjadi tersangka.
PASAL 184 AYAT (2) KUHAP HANYA UNTUK MENILAI DAN TIDAK DAPAT DIJADIKAN SEBAGAI BUKTI.
Pasal 184 ayat (2) KUHAP, yang apabila kita telaah adalah pelengkap dari ketentuan dari Pasal 184 ayat (1) KUHAP.
Konstruksi atau bagunan dari Pasal 184 ayat (1) KUHAP adalah bersifat limitatif, yakni menjelaskan dengan tegas mengenai apa saja alat bukti, sedangkan Pasal 184 ayat (2) KUHAP mempunyai fungsi untuk melengkapi hal apa saja yang mungkin perlu didukung untuk menebalkan keyakinan hakim dalam memutus perkara pidana
Hal yang secara umum diketahui tidak perlu dibuktikan yang diatur pada Pasal 184 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana lazimnya disebut dengan istilah notoire feiten notorious (generally known).
ALAT BUKTI DALAM HUKUM ACARA PIDANA
Mengenai alat bukti dalam Hukum Acara Pidana, diatur di Pasal 184 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (“KUHAP”), bunyinya:
Alat bukti yang sah ialah:
- keterangan saksi;
- keterangan ahli;
- surat;
- petunjuk;
- keterangan terdakwa.
Dalam sistem pembuktian hukum acara pidana yang menganut stelsel negatief wettelijk, hanya alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang yang dapat dipergunakan untuk pembuktian.
Hal ini berarti bahwa di luar dari ketentuan tersebut tidak dapat dipergunakan sebagai alat bukti yang sah.
Mengenai pengertian “hal yang secara umum sudah diketahui” ditinjau dari segi hukum, tiada lain daripada “perihal” atau “keadaan” atau omstandigheiden atau circumstance, yakni hal ikhwal atau peristiwa yang diketahui umum bahwa hal tersebut memang sudah demikian hal yang sebenaranya. Atau “sudah semestinya demikian”.
CONTOH“Hal yang Secara Umum Sudah Diketahui Tidak Perlu Dibuktikan”
Banyak contoh sederhana dalam masalah ini. Umpamanya :
a. API PANAS, adalah suatu kedaan yang secara umum diketahui oleh setiap orang, dan lazimnya, umum sudah mengetahui,
b. TAKARAN MINUMAN KERAS TERTENTU DAPAT MEMABUKKAN. Jika terjadi suatu persitiwa di mana seseorang meniminum minuman keras dalam takaran tertentu, resultannya peminum akan mabuk.
Dalam hal-hal seperti ini persidangan pengadilan tidak perlu lagi membuktikan, karena keadaan itu dianggap merupakan hal yang secara umum sudah diketahui.
DALAM PENERAPAN NOTOIRE FEITEN HARUS MEMPERHATIKAN HAL BERIKUT:
(1). Majelis hakim dapat menarik dan mengambilnya sebagai suatu “kenyataan” yang dapat dijadikan sebagai “fakta” tanpa membuktikan lagi;
(2). akan tetapi kenyataan yang diambil hakim dari notoire feiten, “tidak bisa berdiri sendiri” membuktikan kesalahan terdakwa. Tanpa dikuatkan oleh alat bukti yang lain, kenyataan yang ditarik dan diambil hakim dari notoire feiten “tidak cukup” membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa. Bukankah pada hakikatnya notoire feiten tidak tergolong alat-alat bukti yang diakui oleh Pasal 184 ayat (1) KUHAP.
Hal ini yang secara umum sudah diketahui hanyalah merupakan penilaian terhadap sesuatu pengalaman dan kenyataan “tertentu saja”. Bukan sesuatu yang dapat membuktikan kesalahan terdakwa secara menyeluruh.
Jadi secara sederhana, hal yang secara umum diketahui (notoire feiten) tidak perlu dibuktikan dalam Pasal 184 ayat (2) KUHAP hanya digunakan sebagai penilaian terhadap hal yang secara umum saja dan tidak dapat dijadikan sebagai bukti untuk membuktikan kesalahan terdakwa karena notoire feiten tidak tergolong sebagai alat bukti.
Yang terpenting seorang hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.
Penulis menanyakan, berdasarkan pemaparan di atas, apa kaitannya dengan membatalkan sebuah nasab???!!!.
Hanya karena Nasab Ba’alawi sudah menjadi pengetahuan umum masyarakat, padahal pengetahuan masyarakat terbukti salah, lalu dengan se enaknya, seorang yang katanya pakar hukum, mengaitkan hal tersebut dengan Pasal 184 ayat (2).
KESIMPULAN :
PASAL 184 AYAT (2) KUHAP, SAMA SEKALI TIDAK ADA HUBUNGANNYA DENGAN SEBUAH KAJIAN ILMIYAH MANAPUN.
PASAL INI (ayat 1 dan 2) MENGATUR HAL-HAL APA SAJA YANG BISA DIJADIKAN ALAT BUKTI DALAM HUKUM ACARA PIDANA.
Oleh: Mohammad Yasin al Branangiy al Liqo’iy