Oleh : Hamdan Suhaemi
Latar Belakang
Almarhum ayah saya termasuk kiai kampung yang sering didatangi oknum habib yang dengan statusnya sebagai dzuriyat Rosulullah S.a.w merasa wajib dihormati dan muliakan, kiai sebagai orang yang dituakan oleh masyarakat adalah sasaran utama untuk mengajak ke masyarakat agar mahabbah pada habaib. Lalu dilengkapi ancaman-ancaman kuwalat dan dilaknat oleh Allah S.w.t jika sampai tidak mahabbah kepada mereka ini.
Tahun 2016 silam, awal saya lihat gejala mencurigakan dari oknum habib yang datang untuk silaturahmi ke Abah saya KH. Suhaemi, ucapan oknum habib begitu memuji setinggi langit seolah ingin membius dan melalaikan Abah, kebetulan saya mendampingi Abah.
Ketika pamitan, oknum habib itu menyodorkan minyak wangi, tasbih dan secarik kertas berisi sholawat dan meminta mahar ke Abah, oleh Abah dikasih hanya alakadarnya, sebab baru pertama datang, dan sama sekali belum kenal habib tersebut. Saya mengamati tutur kata, mimik muka layaknya habib yang pernah dilihat sebelumnya, namun kecurigaan itu terletak pada memuji Abah setinggi langit, ini ada apa?baru kenal tapi sudah memuji-muji.
Terus terang saya menyesalkan sikap dan perbuatan oknum habib tersebut berkali-kalinya datang ke Abah saya hanya minta duit, duit dan duit lagi. Sungguh yang paling saya sesalkan tidak mendampingi Abah ketika sakit menjelang wafatnya, ada perbuatan oknum habib tersebut merampas duit senilai 2 juta di kantong baju yang dicantolkan di kamar pribadi Abah, yang harusnya duit tersebut untuk biaya berobat. Inilah titik dasar sikap saya terhadap Habib.
Korban Oknum Habib
Saya kira hanya Abah yang jadi korban para oknum habib tersebut, ternyata di beberapa tetangga kampung dimana ada kiai-kiai kampung dan ustadz-ustadznya juga diperlakukan sama oleh oknum habib yang tentu berbeda dengan habib yang datang ke rumah Abah. Mereka berpencar nyari korbannya untuk dimintai duit, bahkan untuk diperas dan dipaksanya.
Adalah Ustadz Mamat, tokoh kiai kampung di Desa Singatair Lebak Wangi Kabupaten Serang yang didatangi habib dari Jakarta membawa minyak wangi dan tasbih yang dihargai 5 juta, oleh Ustadz Mamat sesuai kemampuannya hanya memberinya untuk sekedar transport, meski rada marah oknum tersebut berjanji akan datang lagi untuk mengambil pelunasan, intinya harus dibayar 5 juta.
Beberapa pekan kemudian oknum habib itu datang lagi dengan alasan mau menjenguk saudaranya yang tengah sakit di Palembang, tentu dengan harapan agar ustadz membayar lunas. Sungguh mengagetkan ketika ustadz Mamat yang memang tidak punya uang dipaksa paksa agar melunasinya dengan ancaman-ancaman kuwalat dan dilaknat oleh datuknya yakni Kanjeng Nabi.
Sungguh di luar dugaan, ancaman itu berakhir dengan kata-kata yang mencengangkan ustadz Mamat yaitu ucapan habib ” kalau ente tidak mampu bayar, istri ente yang jadi jaminan “. Seperti petir di siang bolong, kaget bukan kepalang, ustadz Mamat justeru melawannya dan mengusirnya.
Lain ustadz Mamat, lain pula pada kiai-kiai kampung lainnya, tentu beda oknum habib yang datang. Semuanya motifnya sama yaitu memeras dengan memanfaatkan dzuriyat Rosul, darah nabi sekaligus mengancam kuwalat dan hilang barokah jika tidak dituruti.
Tinjauan Ilmiah
Tahun lalu 2022, adalah KH. Imaduddin Usman, kiai yang masih muda pengasuh Pesantren Nahdlatul Ulum di Kresek Tangerang telah menulis buku tentang menakar keabsahan nasab Habib di Indonesia. Tulisan yang awalnya kurang direspon, karena memang bentuknya tulisan, rerata di kita agak malas untuk membaca, karena minat baca umumnya orang Indonesia sangat rendah.
Beberapa bulan kemudian, tulisan ilmiah kiai Imad itu direspon oleh Bahar Smith dengan sentimentil dan emosional, akibat pula setalah mendengar ceramah kiai Imad di Tigaraksa Tangerang yang membuat panas telinga mereka. Bahar Smith melontarkan sebutan ” iblis bersorban” yang dialamatkan kepada kiai Imad sang penulis buku nasab tersebut.
Tulisan KH. Imadudin Usman itu saya pahami sebagai ijtihad beliau untuk menjaga kemuliaan dzuriyat Rosulullah dari perilaku-perilaku, tindakan-tindakan oknum habib yang mengklaim sebagai dzuriyat Rosul atau darahnya rosul tetapi berbanding terbalik dengan akhlak Rosulillah yang sangat mulia itu. Terutama oknum habib yang tampil di panggung-panggung ceramah dan tabligh akbar, yang isinya hanya caci maki, uraiannya hanya kebencian pada pemerintah Republik Indonesia yang sah dan konstitusional itu.
Dalam tulisan itu disimpulkan ada keterputusan nasab Ubaidillah yang sudah baku disebut moyangnya Bani Alawi atau Alawiyin, karena berdasarkan kitab-kitab nasab yang mu’tamad dan mutawatir tidak kedapatan Ubaidillah putera dari Sayid Ahmad al-Muhajir bin Sayyid Isa al-Rumi yang tersambung hingga Sayidina Hussein bin Sayyidah Fatimah Az-Zahra binti Nabi Muhammad S.a.w.
Kitab-kitab nasab yang ditulis itu abad 5, abad 6, abad 7 hijriah tidak ada catatan nama Ubaidillah puteranya Sayid Ahmad al-Muhajir, tetapi baru ada nama Sayid Ubaidillah bin Sayid Ahmad al-Muhajir di abad 11 dan 12 hijriah.
Saya pahami dari tulisan nasab tersebut adalah tinjauan ilmiah yang berbasis epistemologis, bukan sekedar asal catut, asal jiplak. Tapi kajian ilmiah tentang nasab yang betul-betul ilmiah karena dikuatkan oleh beberapa pendekatan penelitian yang akurat, detil dan valid. Hingga hipotesa dari tulisan itu bisa dipertanggungjawabkan.
Ini saya kira para Habib tidak perlu menanggapi tesis ” terputusnya nasab habib dengan Rosulullah S.a.w itu terletak pada Ubaidillah yang tidak terkonfirmasi sebagai anak Sayid Ahmad al-Muhajir dan Ubaidillah ini adalah moyangnya Ba’Alawi yaitu moyangnya para habib di Yaman dan Indonesia ” dengan tanggapan emosional, membabi buta, mencemooh dan melecehkan kiai Imad sebagai penulisnya. Tulisan ditanggapi tulisan, dalil ditanggapi dengan dalil, catatan ditanggapi catatan, penelitian ditanggapi penelitian. Ini saya kira lebih baik, daripada ditanggapi dengan ancaman dan cemoohan.
Semakin orang Banten diinjak-injak semakin tegak melawan, dan semakin orang Banten ditekan-tekan akan semakin keras melawan. Sejarah orang Banten adalah sejarahnya perlawanan atas penjajahan dan satu-satunya wilayah di Nusantara yang tak pernah padam untuk melawan penjajah Belanda dan Jepang.
Masih ingat ucapan Maulana Habib Lutfi Pekalongan ” jangan ganggu ulama Banten ” ( ucapan ini ditirukan oleh Abi KH. Hafis Gunawan pengasuh Pesantren Miftahul Khaer Curug Tangerang).
Sikap Kita
Dengan merebaknya polemik nasab habaib ini tentu kita perlu punya sikap.
- Sikap menghargai dan menghormati tulisan KH. Imadudin Usman sebagai bentuk tulisan ilmiah dengan dasar kuat, dalil kuat, sumber rujukan kuat karena syuhroh wal istifadloh.
- Perlu berterima kasih yang sebesar-besarnya kepada KH. Imadudin Usman karena sudah mencerahkan umat dari belenggu-belenggu feodalisme dan penjajahan gaya baru yang dilakukan oleh para oknum habaib. Karena ternyata secara nasab terkonfirmasi terputus dari jalur turunan Syaid Ahmad al-Muhajir.
- Kepada habib-habib yang merasa terganggu atas tulisan KH. Imadudin Usman tentu tidak harus dengan tanggapan emosional dan berperilaku membabi buta. Jikapun tidak setuju atas tulisan itu maka tulis pula dengan kuatnya dalil yang berbasis filologis.
- Kita pastikan masih menghormati dan memuliakan Habib jika perilaku dan prihidupnya istiqomah mengikuti akhlak mulia Rosulullah S.a.w, dan kita pun pastikan memuliakan habib karena keluhuran ilmu dan kesalehannya. Tinggal kita bisa lihat habib yang seperti itu, maka itulah anutan.
Penutup
Tulisan cukup panjang ini sebagai sikap tawazun dan ta’adul dari saya yang termasuk hamba dloif dan faqir ketika melihat polemik nasab ini sebagai kebajikan dan kebijaksanaan, maka kita ambil hikmahnya.
Jangan ada yang merasa paling tinggi derajatnya lalu merendahkan pada yang lainnya, jangan pula lupa menghormati kepada orang yang pantas dihormati. Semua sama di mata negara, semua sama dalam kemanusiaan.
Tidak ada yang mulia di hadapan Gusti Allah S.w.t kecuali yang paling bertakwa kepada-nya
Serang 12 Juni 2023
Pengajar Pesantren Ashhabul Maimanah Sampang Susukan Tirtayasa Serang