Apakah Tuhan pasca Ramadhan/bulan syawal berkualitas sama dengan Tuhan Ramadhan dalam membagi rizki, rahmat dan memberikan ampunan pada hamba-Nya? Pertanyaan ini logis diungkapkan sebagai gugatan terhadap Tuhan Ramadhan yang kerap mendiskriminasi terhadap bulan lain dan mengunggulkan Ramadhan sebagai bulan mulia. Sikap Tuhan yang hegemonis terhadap bulan tertentu ini perlu diekplorasi dengan meletakan posisi Tuhan di bulan lain, khususnya kelekatan empatinya di bulan syawal yang kini tengah kita lalui.
Makna syawal sendiri terlanjur dilegendakan banyak orang sebagai bulan peningkatan. Pemahaman ini lagi-lagi terkesan anekdotis dan terasa ganjil karena berupaya mencobakan syawal sebagai bulan yang kelak lebih tinggi implikasinya dengan bulan Ramadhan. Padahal Tuhan entitas netral yang menempati segala ruang. Hata dari langitpun Ia mengizinkan diri-Nya super sibuk dan wajib turun merahmati seluruh makhluk pemilik kediaman bumi (Q.S. 55: 29). Di ruang dan lokus manapun Tuhan bergerak melintasi segenap fokus. Ia anti terjerat pada satu fokus yang menyebabkan diri-Nya tertuduh sebagai Zat minus kuasa (nirkuasa). Tentu saja sebagai Zat Yang Maha Kuasa, Tuhan tidak layak dikerdilkan umat manusia hanya sebatas menongkrongi dan merahmati bulan Ramadhan yang terlanjur dipandang bulan sakral.
Tidak benar Tuhan memanjakan Ramadhan secara mutlak sebagai bulan agung/suci. Keagungan Ramadhan sebatas deklarasi monumental Tuhan lewat Nabi-Nya yang didisain guna menguji dan menstimulasi kadar kesiapan umat manusia dalam menegakkan prestasi kehidupan. Ibarat ujian akhir semester yang digalang perguruan tinggi untuk megetes kegemilangan prestasi kelulusan para mahasiswanya. Dari situ para mahasiwa membekali dirinya dengan segala kesiapan dan keseriusannya belajar dan belajar guna mencapai sukses dalam ujian.
Namun tidak berarti bulan semesteran dilokuskan sebagai curahan total belajar para mahasiswa dengan menganulir bulan lain sebagai pusat belajar. Sikap demikian jelas tidak konektif dengan daya kreativitas dan kontinuitas pembelajaran karena mahasiswa disudutkan pada pembelajaran sempit hanya di bulan semesteran. Sementara bulan dan hari lain tidak diagungkan untuk belajar. Sikap ini jelas merupakan sikap syirik paedagogis yang amat berbahaya dan sama sekali tidak menguntungkan wawasan dan pendalaman pembelajaran .
Islam mengajarkan semua hari maupun bulan berkualitas sama. Keduanya tidak mengenal garis demarkasi bahwa hari dan bulan ini baik atau suci sedangkan hari dan bulan lain buruk dan kotor. Keliru besar manakala Ramadhan dipandang bulan suci dan bulan aktivitas spesial Tuhan memakbulkan segala dosa umat manusia. Sementara bulan lain Tuhan tidak lagi bersifat spesial memakbulkan do’a manusia. Akibatnya ramadhan terlanjur dipandang bulan penebus segala dosa dan angkara murka manusia. Tanpa kecuali apakah dosa yang bersangkutan adalah dosa pembunuh, perampok atau koruptor negara.
Ramadhan kemudian menjadi paling suci daripada Tuhan itu sendiri. Ini jelas merupakan perbuatan syirik yang amat membahayakan umat. Faktanya karena ramadhan kerap kali menjadi langganan para pelaku maksiat untuk menyuap Tuhan atas dosa-dosa yang telah diperbuatanya. Para pelanggan dosa ini melakukan penebusan dosa secara berulang -ulang di setiap kali bulan ramadhan tiba. Sementara di bulan lain/syawal mereka tidak lagi menunjukan kontinuitas amaliahnya dengan konsisten (ajeg).
Perilaku demikian sangat bertentangan dengan misi ramadhan yang bertujuan menghadirkan Tuhan ke dalam kalbu umat manusia secara istiqamah/berketetapan. Dengan begitu Tuhan tidak hanya diletakan secara kerdil dan sempit di ruang ramadhan (terbatas) Tetapi Tuhan telah hadir di segala ruang dan tempat. Termasuk di bulan syawal. Tuhan ramadhan dan Tuhan syawal adalah satu yang berkualitas sama. Meletakkan Tuhan hanya di ruang ramadhan tak bedanya dengan perilaku primitif yang memposisikan ramadhan sebagai bulan magis. Bulan penebus dosa yang kental dengan aktifitas penyuapan para pemanggul dosa. Ironisnya tidak sedikit para pejabat yang konon telah menyadari perilaku korupnya . lalu melakukan pensucian dosa di setiap Ramadhan tiba. Pasca ramadhan (di bulan syawal) kembali ke habitat korupsinya dan melakukan pensucian dosa lagi di bulan ramadhan. Demikian selanjutnya dilakukan secara berulang-berulang dan nyaris ramadhan diperlakukan sebagai alat permainan penebus dosa.
Oleh karena itu, untuk menjaga keajegan amaliah ramadhan, tidak ada cara lain kecuali posisikanlah Tuhan di segala ruang secara proporsional. Tidak boleh mendemarkasi Tuhan antara Tuhan ramadhan dan Tuhan sawal. Ramadhan maupun syawal Tuhan tetap hadir dengan Kemahabesaran-Nya. Ia selalu tidak membedakan dirinya dalam memberikan rahmat, ampunan dan kasih sayang-Nya di segala ruang dan tempat. Nabi SAW dalam hadits berikut ini mengisyaratkan proporsionalitas Tuhan dalam merahmati umat manusia di segala zaman, “Bagi siapa yang berpuasa di bulan ramadhan dan diringi dengan puasa syawal selama enam hari, maka ia telah melakukan ibadah puasa sepanjang masa” (HR. Muslim). Wallahua’lam.
Dr. Sugeng Sugiharto di-Demosi oleh BRIN karena Bicara Nasab Klan Habib Baalwi?
Penulis: Kgm. Rifky ZulkarnaenPenulis memperoleh informasi bahwa Dr. Sugeng Sugiharto di-demosi (penurunan jabatan dan tunjangan kinerja) oleh kantor tempat beliau...
Read more