Oleh: Muhammad Ulinnuha
Keharuman namanya sudah lama terdengar sebelum aku berangkat ke Mesir untuk studi di Al-Azhar. Di antara karya beliau yang kubaca adalah Pengantar Perbandingan Madzhab. Banyak hal yang didapat dari buku itu, antara lain adalah tentang keragaman pendapat ulama fikih dan metodologi istinbat hukumnya. Apa yang dikemukakan dalam buku tersebut berhasil membuka cakrawala pemikiranku, santri kampung(an) yang baru menginjakkan kaki di Ibu Kota Jakarta.
Saat di Kairo, saya kerap mendengar nama dan kiprahnya dituturkan oleh senior-senior PCINU (di masanya masih bernama KMNU). Beliau disebut sebagai perempuan pertama yang meraih gelar doktor bidang fiqh al-muqâran (fikih perbandingan) dari Universitas Al-Azhar. Keharuman namanya tentu membuatku semakin penasaran dan ingin bertemu langsung. Sempat bergumam dalam hati, semoga kelak aku dipertemukan dengan beliau.
Sepulang dari Kairo tahun 2006, saya melanjutkan studi S-2 di Pascasarjana Institut Ilmu Al-Qur’an (IIQ) Jakarta. Disinilah perjumpaan pertama kali saya dengan Ibu Huzaemah (demikian kami memanggilnya). Sejak 2006 itu perjumpaan kami sangat intens, baik di kelas maupun di luar kelas, karena beliau waktu itu menjabat sebagai Direktur Pasca. Banyak sekali kenangan akademik dan non akademik saat kuliah bersama beliau. Tapi setidaknya ada dua peristiwa yang paling berkesan.
Pertama, saat mengajar di kelas (saya lupa tanggal persisnya), Ibu menerangkan tafsir QS. An-Nisa’ ayat 9. Kurang lebih, beliau mengatakan begini: “Jika kalian nanti berkeluarga, punya anak keturunan, tolong diurus dengan baik ya, agar kelak ketika kalian wafat tidak meninggalkan keturunan yang lemah; baik lemah agama, fisik, pendidikan, maupun ekonominya.” Saya pun bertanya, “Bagaimana dengan praktek poligami yang meninggalkan banyak keturunan, dan.…? Pertanyaan belum selesai, beliau langsung menimpali; “Mengurus satu istri saja tidak bisa, kok sudah mikir poligami. Jangan-jangan yang bertanya belum punya istri ya.” Akupun tersenyum menunduk malu tak berani melanjutkan pertanyaan. Sejak saat itu, aku tak pernah berani bertanya masalah ini lagi kepada beliau.
Kedua, saat mengajukan proposal tesis tentang I’jaz ‘Adadi dalam Surat Al-Fatihah. Beliau langsung menolak karena spektrum kajiannya sangat sempit; hanya pada kasus rahasia angka tujuh dalam surat Al-Fatihah. “Kamu kan mahasiswa kelas internasional, beasiswa Depag. Tesisnya harus keren dan bagus ya.” Demikian kira-kira pesan beliau. Saat ditolak itu sempat galau, tapi akhirnya saya menyadari bahwa ini adalah bagian dari cara seorang guru mendidik muridnya. Akhirnya akupun mengajukan proposal yang kedua tentang Kritik ad-Dakhil dalam at-Tafsir as-Shaghir karya Basyiruddin Mahmud. Alhamdulillah diterima dan beliau bersedia menjadi pembimbing bersama Ust. Dr. Muchlis Hanafi.
Terlampau banyak kenangan indah dan kebaikan yang diberikan Ibu Huzaemah, sehingga tak mungkin diceritakan dalam status singkat ini. Engkau adalah seorang pemimpin yang bijaksana. Sejak 2014 hingga akhir hayat engkau memimpin IIQ Jakarta. Engkau adalah guru yang ilmunya menyegara; tak hanya fikih muqaranah, tapi engkau juga mengajari kami tentang arti istiqamah, pentingnya mendidik dan memuliakan kaum hawa, dan juga pentingnya hidup jenaka (kejenakaan beliau insyaAllah akan diceritakan di lain waktu).
Innalilahi wa Inna Ilaihi Raji’un, pagi ini sekitar jam 06.10 WIB di RSUD Banten, engkau telah dipanggil untuk kembali keharibaan-Nya. Kesedihan dan airmata pun membuncah. Seakan tak percaya, baru kemaren panjenegan memimpin rapat dan mengarahkan kami semua. Tapi kami harus ikhlas menerima takdir-Nya. Tugas-tugas muliamu di dunia fana ini telah paripurna. Engkau dipanggil di hari yang mulia, hari Jumat pertama setelah Idul Adha. Engkau berjuang untuk bebas dari pandemi ujian-Nya. InsyaAllah engkau wafat dalam keadaan syahidah. Selamat jalan Ibunda, sang guru mulia. Ulama perempuan pertama yang menjadi Muftiyah di Indonesia.
Irji’î ilâ rabbiki râdhiyatan mardhiyah fad-khulî fî ‘ibâdî wad-khulî jannatî. Ghafarallah dzunûbaki, wa satara ‘uyûbaki, wa adkhalaki fasîha jannatih. Al-Fatihah.
Ciputat, 23 Juli 2021
Muridmu,
Muhammad Ulinnuha
RESIKO PERNIKAHAN SEDARAH DARI KLAN HABIB BA’ALWI DITINJAU DARI SISI GENETIKA
"Saya seorang Muslim dan agama saya membuat saya menentang segala bentuk rasisme. Itu membuat saya tidak menilai pria mana pun...
Read more