Oleh: Kyai M. Hamdan Suhaemi
Harinya kaum proletar adalah hari kesusahan, kesedihan dan kemiskinan. Miskin tanpa aset, tanpa kapital dan juga miskin secara struktur sosial. Yang terasa, keterpinggiran dari pengakuan sosial, keterasingan dari sistem nilai sosial. Kondisi sosial kaum ini dalam pandangan pengamat sosial Boy Raja Marpaung, bahwa strata kasta kehidupan sosial atau kelas-kelas masyarakat yang ada, proletar merupakan kelas yang paling bawah.
Jika kita mengingat di buku pelajaran sosiologi maka akan ada gambaran kelas-kelas masyarakat. Gambaran yang berbentuk piramida dan di bagi menjadi tiga bagian yakni, kelas di bagian teratas, kelas menengah dan kelas bawah. Proletar menempati bagian terbawah dari bagian kelas terbawah tersebut. Proletar atau kelas yang terbawah dari strata kehidupan sosial dan sisanya merupakan kaum borjuis dan kaum pemilik modal.
Proletar atau proletariat ini berasal dari kata latin proles yang artiannya kelas sosial rendah. Maka kaum proletar ini sering disamakan dengan para buruh, buruh tani, petani, gelandangan dan kaum miskin kota, karena merekalah yang menempati bagian terbawah dari segitiga piramida tadi. Namun dalam sejatinya kaum proletar ini merupakan kelas terbawah yakni mereka yang hanya mengandalkan otot nya atau sering kita sebut buruh.
Kemerdekaan yang ke-76 tentu kita melihatnya tidak parsial adalah terbebaskannya dari ketertindasan dan belenggu kekejaman sistem penjajahan. Patut disyukuri, hari ini kita menjadi manusia merdeka. Meski masih kita dapati ketersingkiran beberapa anak negeri ini dari limpahan kemerdekaan, di saat negara tengah memasuki situasi liberalisme ekonomi dan demokrasi liberal.
Kita tengok di pojok-pojok keterasingan kaum proletar tanpa kapital, tanpa kerja, tanpa penghasilan tengah meratapi nasib dan harapan hidup. Mang Becak, Bibi pembantu rumah tangga, mang petukang, mang buruh, abang bakso, mang pedagang sate, jompo-jompo yang masih terserak di sudut-sudut kehidupannya. Mereka tegar, tanpa keluh meski bercucur peluh. Hidup memang terus diperjuangan tapi tidak untuk nilai. Mereka hanya untuk menyambung nafas.
Terjangan virus ini semakin meluruskan kegetiran hidup mereka. Sudahlah susah untuk makan, susah untuk kebutuhan sandang dan papan, mereka juga tengah menghadapi bayang-bayang hitam kematian. Kita melihatnya dengan menggigit jari kuat-kuat.
Serang 7-9-21