Oleh : Hamdan Suhaemi
Belakangan yayasan pendidikan dan sekolah-sekolah ketika di akhir semester, atau lulusan menggelar penglepasan atau wisuda purna belajar. Itu sudah sering kita lihat saban tahun, biasanya di bulan Juni. Dalam acara tersebut ada tampilan siswa atau santri, apa itu ceramah, baca Qur’an, hafalan Qur’an, hadits dan do’a-do’a pendek. Berbagai jenjang pendidikan menggelar acara tersebut, seperti sudah jadi agenda tetap.
Tampilan siswa tersebut selalu dibarengi dengan saweran dari orang tua, sebagai bentuk ungkapan rasa syukur atas anaknya yang tengah tampil di panggung acara dan telah membuktikan kemampuan dan penguasaan atas pelajaran yang ia tempuh selama sekian tahun di lembaga pendidikan. Paling tidak ada penghargaan atas guru-guru anaknya hingga mereka menyawer duit recehan ke anaknya untuk kemudian di hadiahkan kepada mereka. Meski terhitung sedikit para orang tua punya rasa empati atas dedikasi guru yang telah mendidik anaknya. Ini saya kira baik-baik saja, sepanjang itu tidak dimaksudkan sebagai sogokan, atau gratifikasi.
Nyawer berasal dari kata awer yang diibaratkan seember benda cair yang bisa diuwar-awer (diciprat-cipratkan atau ditebar-tebar). Namun ada pendapat lain yang ditulis dalam buku Bagbagan Puisi Sawer Sunda yang menjelaskan bahwa nyawer berasal dari kata penyaweran, yakni tempat yang kerap terkena air hujan yang terbawa hembusan angin. dari pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa tempat yang dimaksud untuk melangsungkan nyawer adalah di halaman rumah. Sementara itu, cipatran air merupakan benda-benda sawerannya.
Jika diperhatikan nyawer itu mengandung kebajikan lokal yang tumbuh lahir dari keseharian penduduk Nusantara. Maka ini kemudian disebut produk budaya yang tidak mesti dilarang-larang atau dicegah. Sebab budaya tersebut tidak sama sekali bertentangan dengan ajaran agama. Akan berbeda jika saweran itu tidak didepan banyak orang tetapi dilakukan banyak orang secara tersembunyi untuk tujuan suap. Tentu kalau tujuannya suap, saweran bisa jadi adalah praktik yang diharamkan.
Bagaimana, melihat saweran itu untuk biduan di panggung dangdut, yang asli dangdut atau yang koplo, itu juga terlihat sudah menjadi adatnya kita. Setiap ada biduan atau penyanyi (apalagi cantik) yang sudah di panggung bawaan orang inginnya joged, dan kebiasaan sambil joged jari tangannya menyelipkan kertas uang untuk di kasihkan ke biduan tersebut, atau terkadang kertas duit disawerkan di atas kepala penyanyi. Begitu selesai mereka yang nyawer seoalah puas dan senang, meskipun taruhannya ketika pulang istrinya jadi sewot, marah dan bisa bisa pintu kamar dikunci rapat-rapat. Bisa jadi cemburu bisa pula duit jatahnya tidak terbagi. Ini sudah jadi kebiasaan orang-orang kita yang hobi saweran, biasanya di acara pernikahan, sunatan atau panen sawah.
Ketika jatah nafkah digunakan untuk nyawer dangdut, kemudian menjadi habis atau kurang, maka ini tidak dibolehkan karena menzalimi istri dan keluarganya. Nyawer juga menjadi dilarang jika dilandasi oleh hawa nafsu, misalnya nyawer karena kecantikan penyanyi yang membuka aurat dan berpakaian seksi adalah dilarang. Menikmati aurat orang lain yang bukan suami atau istrinya adalah dilarang, oleh karena itu pemberian sesuatu yang dilandaskan pada larangan tersebut adalah haram.
Melihat ini (saweran) perlu bijak, tidak semua perkara yang belum ditetapkan hukum Syara’nya menjadi keharaman, atau kemakruhan, akan tetapi adalah kebolehan. Sebelum terdapat illat yang menunjukkan keharaman atas perkara tersebut, jika pun ada perilaku yang tidak baik, tidak benar, berpotensi maksiat atau perbuatan dosa di seputarnya, maka tidak lantas haram secara muthlaq. Sebab inti perkara berasal dari kebolehan. Tetapi kalau perkara itu adalah jelas larangan baik yang sudah dhahir di ayat Qur’an, atau yang masih dhon di ayat, akan berlaku pula larangan pada keseluruhan atau pada sebagiannya.
Sekali lagi, saweran di acara haflah akhir sanah (akhir tahun) yang digelar oleh lembaga pendidikan itu hal yang masih baik, karena diniati nyumbang dan sedekah untuk gurunya dan almamaternya. Selama itu adalah kebolehan. Sebab tidak ada unsur mafsadat, mungkarat atau yang bersifat khobaits. Tetapi jika sebaliknya, maka akan mengarah pada yang haram.
Cimentul 18-6-2022
RESIKO PERNIKAHAN SEDARAH DARI KLAN HABIB BA’ALWI DITINJAU DARI SISI GENETIKA
"Saya seorang Muslim dan agama saya membuat saya menentang segala bentuk rasisme. Itu membuat saya tidak menilai pria mana pun...
Read more